Memorial Living Park & Korban Pelanggaran HAM di Aceh
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Memorial Living Park bukan hanya sekedar monumen, tetapi juga panggilan untuk keadilan yang belum ditegakkan.
koranaceh.net | Guna mengatasi luka yang ditinggalkan oleh konflik berkepanjangan di Aceh, Pemerintah Indonesia membangun Memorial Living Park di Kabupaten Pidie dengan anggaran sebesar Rp13 miliar.
Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Diana Kusumastuti mengatakan, ini upaya memulihkan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi selama masa konflik.
Monumen ini untuk mengenang tiga pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Aceh, yaitu peristiwa Rumah Geudong, Jambu Kepuk, dan Simpang KKA, kata Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Diana Kusumastuti, usai menemui Wakil Menteri HAM Mugiyanto, seperti dikutip Tempo, Selasa, 14 Januari 2025.
Pembangunan memorial ini diharapkan dapat menjadi simbol kehadiran pemerintah dalam menanggapi dan mengakui penderitaan korban, serta bagian dari proses pemulihan yang lebih luas.
Baca Juga:
Dampak bagi Korban Pelanggaran HAM dan Perdamaian Aceh Kalau Qanun KKR
Dicabut
Memorial Living Park tidak hanya berfungsi sebagai tempat peringatan, tetapi juga berpotensi menjadi ruang untuk refleksi dan pendidikan bagi masyarakat.
Dengan menyediakan informasi mengenai sejarah pelanggaran HAM di Aceh, memorial ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menghargai hak asasi manusia dan menegakkan keadilan bagi mereka yang pernah menderita.
Kepada media, Diana menyatakan, “Kami tidak diam saja. Ada buktinya bahwa kami sudah melakukan beberapa hal,” yang menegaskan komitmen pemerintah tidak hanya mengakui pelanggaran masa lalu tetapi juga bertindak untuk memperbaiki situasi.
Namun, pertanyaan yang mendasar adalah apakah pembangunan memorial ini benar-benar memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarga mereka.
Baca Juga:
Ketum SPKP Aceh Kecam Rekomendasi Kemendagri Cabut Qanun KKR Aceh
Banyak di antara mereka yang telah lama menunggu penegakan hukum yang adil terhadap pelaku pelanggaran HAM.
Di satu sisi, keberadaan memorial bisa dilihat sebagai langkah positif, tetapi di sisi lain, tanpa adanya proses hukum yang jelas terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut, inisiatif ini bisa saja dianggap sebagai langkah simbolis belaka.
Masyarakat, terutama para korban dan keluarga yang terdampak, sering kali mendambakan keadilan melalui pengadilan yang transparan dan objektif.
Mereka ingin melihat pelaku kejahatan dihukum dan diselesaikannya masalah yang ditumpuk selama bertahun-tahun.
Baca Juga:
Jejak Menuju Perdamaian: Kisah Dibalik Lahirnya MoU Helsinki
Dalam konteks ini, pembangunan memorial harus dipandang tidak hanya sebagai tindakan restoratif, tetapi juga sebagai satu bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya berhenti pada tahap pembangunan memorial, tetapi juga melanjutkan dengan mekanisme hukum yang efektif.
Keberadaan Memorial Living Park memiliki potensi untuk menjadi tempat healing bagi korban, di mana mereka dapat merasakan pengakuan dan penghormatan terhadap tragedi yang dialami.
Namun, untuk benar-benar memenuhi rasa keadilan, harus ada integrasi antara pengakuan simbolis melalui memorial dan upaya konkret menuju penegakan hukum yang tangguh.
Baca Juga:
Komnas HAM Rilis Kajian Dampak PSN: Tata Kelola dan Pelanggaran HAM Masih
Jadi PR Besar
Hanya dengan cara ini, pemerintah dapat meyakinkan warga, terutama korban, bahwa mereka serius dalam komitmen untuk memperbaiki masa lalu dan mencegah terulangnya pelanggaran yang sama di masa depan.
Singkatnya, pembangunan Memorial Living Park adalah langkah penting dalam proses pemulihan korban pelanggaran HAM di Aceh.
Namun, untuk menjadikannya sebagai simbol keadilan yang sesungguhnya, pemerintah perlu melengkapi inisiatif tersebut dengan penegakan hukum yang adil dan transparan bagi para pelaku pelanggaran.
Dengan demikian, memorial tidak hanya akan menjadi sekadar bangunan fisik, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya keadilan dan hak asasi manusia di Indonesia.[]
Tidak ada komentar