Dampak bagi Korban Pelanggaran HAM dan Perdamaian Aceh Kalau Qanun KKR Dicabut
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Jika dicabut, hal ini berpotensi menghalangi akses keadilan bagi korban, menimbulkan ketidakpuasan sosial, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Rekomendasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mencabut Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menjadi topik hangat dibicarakan oleh kalangan aktivis di Aceh terutama dalam konteks penguatan hak asasi manusia (HAM) dan perdamaian di Aceh.
Qanun KKR Aceh, yang disahkan pada tahun 2013, dirancang untuk mengatasi pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik berkepanjangan di Aceh.
Dengan pencabutan Qanun ini, muncul berbagai implikasi yang dapat mempengaruhi korban pelanggaran HAM serta proses perdamaian yang telah dibangun.
Pertama-tama, pencabutan Qanun KKR berpotensi menghalangi akses ke keadilan bagi para korban pelanggaran HAM.
Selama ini, Qanun KKR memungkinkan adanya pengakuan dan pemulihan bagi mereka yang terkena dampak konflik, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran di masa lalu.
Tanpa adanya mekanisme formal yang disediakan oleh Qanun ini, banyak korban mungkin akan kehilangan harapan untuk mendapatkan pengakuan dan reparasi yang seharusnya menjadi hak mereka.
Hal ini tentunya akan menambah beban psikologis bagi para korban dan keluarganya, yang mungkin merasa dikhianati oleh pemerintah.
Selanjutnya, pencabutan Qanun KKR menunjukkan sikap pemerintah yang mungkin dianggap tidak mendukung upaya rekonsiliasi dan pemulihan masyarakat Aceh.
Proses rekonsiliasi tidak hanya bergantung pada penguatan hukum, tetapi juga pada kesepakatan sosial dan politis yang perlu dijaga.
Jika pemerintah pusat dianggap tidak konsisten dalam komitmennya terhadap hak-hak korban, bukan tidak mungkin akan muncul kembali ketidakpuasan dan konflik yang berkepanjangan di masyarakat.
Di titik ini, kesenjangan antara pemulihan ekonomi dan keadilan sosial dapat menciptakan ketidakstabilan yang berlanjut.
Dampak lebih luas dari pencabutan ini juga dapat terlihat dalam konteks membangun kepercayaan antara masyarakat Aceh dan pemerintah.
Keberadaan KKR merupakan simbol dari upaya untuk memahami dan mengatasi pelanggaran masa lalu.
Dengan mencabut qanun ini, ada kekhawatiran bahwa pemerintah tidak berusaha untuk memahami dan menyelesaikan dampak dari konflik tersebut.
Ini berpotensi menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat yang telah berjuang untuk pengakuan hak-hak mereka.
Di sisi lain, mungkin ada pandangan bahwa pencabutan Qanun KKR dapat memfasilitasi pendekatan baru dalam penyelesaian konflik dan penegakan hukum.
Namun, agar hal ini berdampak positif, harus ada kerangka kerja yang jelas dan berkomitmen untuk menggantikan mekanisme KKR sebelumnya.
Tanpa adanya jaminan ini, tanpa Qanun KKR, Aceh mungkin akan kehilangan landasan hukum yang penting dalam proses mencari keadilan dan mempromosikan dialog.
Secara keseluruhan, rekomendasi Kemendagri untuk mencabut Qanun KKR Aceh dapat menimbulkan dampak yang kompleks bagi korban pelanggaran HAM dan proses perdamaian di Aceh.
Sebagai wilayah yang telah mengalami trauma mendalam akibat konflik, pemulihan dan keadilan seharusnya ditempatkan sebagai prioritas utama.
Mengabaikan komitmen ini sama dengan memperparah luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Oleh karena itu, diperlukan dialog yang konstruktif antara semua pihak untuk memastikan bahwa hak-hak korban tidak terabaikan dan proses perdamaian tetap berjalan sesuai harapan.
Dalam sebuah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 7 November 2024, Pemerintah Aceh diminta mempertimbangkan pencabutan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 terkait Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Menurut Kemendagri, keberadaan KKR Aceh dianggap bertentangan dengan regulasi nasional karena Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang menjadi landasan hukumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006.
Tidak ada komentar