Aceh Tanah Koloni

Pengamat Sosial Ekonomi Aceh, Dr. Taufiq A. Rahim. (Foto: Ist).

Dr. Taufiq A. Rahim
*Pengamat Sosial Ekonomi Aceh 

Aceh terus kehilangan hak dan martabatnya. Empat pulau hanyalah simbol dari panjangnya riwayat perampasan yang belum selesai.

koranaceh.netPada dasarnya, posisi dan kondisi geografis Aceh yang berada di ujung barat Pulau Sumatera menjadikannya sebagai pintu gerbang utama bagi suatu wilayah kekuasaan negara yang berdaulat.

Berdasarkan catatan sejarah, konflik antara Aceh dan Belanda berlangsung sejak tahun 1599 hingga 1942. Perang ini merupakan bagian dari rangkaian konflik di akhir abad ke-19 yang sangat populer, dan menjadi upaya Belanda untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya atas wilayah Indonesia modern.

Perang tersebut dikenal sebagai Perang Belanda atau Perang Kafir (1873–1904), yaitu konflik militer bersenjata antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda. Perang ini dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di Singapura pada awal tahun 1873. Konflik berdarah yang berlangsung secara sporadis terus berlanjut hingga akhir tahun 1914.

Aceh turut berkontribusi dalam proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Salah satu momen penting adalah pengakuan dari utusan Aceh dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949.

Baca Juga :
Menguji Kredibilitas Gubernur Aceh: 4 Pulau yang Direbut

KMB mempertemukan perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal (BFO), dengan tujuan utama menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Belanda, serta pengakuan kedaulatan Indonesia. Salah seorang utusan Aceh dalam KMB menyatakan bahwa Aceh adalah satu-satunya wilayah yang tidak pernah sepenuhnya dijajah oleh Belanda. Dengan demikian, pengakuan resmi terhadap kemerdekaan Indonesia sebagai negara berdaulat pun diperoleh.

Namun keterlibatan Aceh dalam KMB bukan satu-satunya sumbangsih bagi kemerdekaan Indonesia. Aceh juga memberikan bantuan besar berupa pesawat terbang, kapal laut, dan dukungan melalui siaran Radio Rimba Raya yang menggema ke seluruh dunia untuk memperkuat eksistensi Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui secara internasional.

Sayangnya, perlakuan pemimpin Indonesia terhadap Aceh kemudian berubah menjadi pengkhianatan dengan menggabungkan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini memicu konflik baru antara Aceh dan Indonesia.

Salah satu bentuk konflik tersebut adalah pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1953, yang bertujuan membentuk Negara Islam Indonesia (NII) di Aceh. Pemberontakan ini dipicu oleh rencana pemerintah pusat untuk melebur Aceh ke dalam Sumatera Utara serta kekecewaan masyarakat Aceh terhadap kebijakan pusat.

Untuk meredakan konflik tersebut, pada tahun 1957 pemerintah melakukan pendekatan diplomatik dengan mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.

Hasil dari musyawarah ini adalah pengembalian status Aceh sebagai provinsi dan pemberian otonomi khusus. Daud Beureueh pun menyerah, dan pemberontakan DI/TII di Aceh berakhir. Musyawarah tersebut berlangsung pada 17–21 Desember 1962 dan menghasilkan pendirian kembali Provinsi Aceh dengan status daerah istimewa.

Meski begitu, kondisi Aceh tetap tidak stabil. Masyarakat Aceh terus merasa kecewa karena sumber daya alam (resources) dan potensi ekonomi Aceh dikuasai oleh Pemerintah Pusat. Aceh juga terus dikhianati dan diperlakukan secara diskriminatif oleh Jakarta, dengan dominasi pusat atas kebijakan politik dan ekonomi Aceh.

Hal ini mengakibatkan lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang memulai pemberontakan bersenjata dari tahun 1976 hingga 2005. GAM distigma sebagai kelompok separatis yang menginginkan kemerdekaan Aceh.

Konflik ini akhirnya berakhir damai pada 15 Agustus 2005 melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki, Finlandia. Berdasarkan MoU tersebut, Aceh diberikan status daerah otonomi khusus dengan kewenangan terbatas melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) atau UU No. 11 Tahun 2006.

Namun dalam praktiknya, pemerintahan Aceh tetap tunduk pada ketentuan hukum yang lebih tinggi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk UUD 1945.

UUPA merupakan produk politik DPR RI, sehingga segala kebijakan politik, kewenangan, dan tanggung jawab tetap berada di tangan Pemerintah Pusat di Jakarta. Akibatnya, Aceh tetap berada dalam status sebagai "tanah koloni" yang harus patuh secara terpusat kepada Jakarta.

Baca Juga :
Menata Aceh Pasca Pilkada: Tantangan dan Harapan Pemerintahan Baru

Tak mengherankan jika berbagai kebijakan pusat, termasuk yang berkaitan dengan kekayaan alam dan wilayah Aceh, dapat dengan mudah direkayasa. Salah satu contohnya adalah pengalihan kepemilikan empat pulau di Aceh Singkil kepada Provinsi Sumatera Utara dengan alasan berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan di luar cakupan UUPA.

Ketika hal ini terjadi, elite politik Aceh dengan mudah menyatakan bahwa itu adalah kebijakan nasional tanpa mempertanggungjawabkan marwah dan martabat Aceh.

Semakin jelas bahwa kewenangan politik, harkat, dan martabat rakyat Aceh telah dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Jabatan politik dan kekuasaan di Aceh seolah hanya menjadi alat untuk meredam keresahan rakyat. Dengan kata lain, kekuasaan dan harta digunakan untuk menundukkan Aceh. Pemimpin Aceh yang haus kekuasaan justru memperkuat dominasi pusat.

Keresahan rakyat Aceh terutama masyarakat Aceh Singkil terjawab singkat dengan pernyataan, ini kebijakan nasional. Jika ada rakyat yang tidak setuju akan mudah dituduh atau melekat stigma “Pemberontak”. Akhirnya, tanah Aceh tetap diperlakukan sebagai koloni.

Wallahu a'lam bissawab... [*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.