Devide Et Impera ala Tito

Pengamat Sosial Ekonomi Aceh, Dr. Taufiq A. Rahim. (Foto: Dok. Koran Aceh).
Pengamat Ekonomi Politik Aceh, Dr. Taufiq A. Rahim. (Foto: Dok. Koran Aceh).

Dr. Taufiq A. Rahim
*Pengamat Ekonomi Politik Aceh

“Adat Bak Pou Meureuhom, Hukum Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putrou Phang, Reusam Bak Lakseumana”. Sekali pedang keluar dari sarungnya, berpantang mundur.

koranaceh.net Kasus empat pulau di Aceh yang berada di Aceh Singkil semakin memanaskan situasi di Aceh, terutama menjadi pembicaraan publik yang semakin serius, karena menyangkut harkat, martabat, dan marwah Aceh yang sesungguhnya.

Dalam budaya serta karakter Aceh, jika harta, kekayaan, tanah, dan benda berhubungan dengan harkat dan martabat, maka ia sangat erat kaitannya dengan marwah. Dalam kehidupan keluarga, saudara, famili, kakak-beradik kandung dan jiran sekitar, apabila berhubungan dengan tanah sebagai pusaka warisan yang diambil, diganggu, dirampas, dirampok, serta dialih-tangankan kepemilikannya, biasanya nyawa menjadi taruhannya.

Hal ini telah terlalu banyak bukti empiris dalam kehidupan masyarakat Aceh. Harta tanah menjadi sangat berharga untuk dimiliki, meskipun hanya sepetak atau sejengkal saja jika diganggu.

Baca Juga :
Jangan Sampai Rakyat Memandangmu Sebagai Pengkhianat Waktu

Konteks ini menjadi semakin relevan ketika berkembang gelombang protes terhadap keempat pulau di Aceh Singkil. Protes ini muncul sebagai respons terhadap hasil rampasan keempat pulau itu berdasarkan keputusan sepihak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui Surat Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang ditetapkan pada 25 April 2025.

Surat tersebut mengubah status administrasi empat pulau di Aceh Singkil menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keempat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.

Padahal, data valid kepemilikan sah menunjukkan bahwa wilayah tersebut milik Aceh. Namun, muncul pula narasi "pengelolaan bersama" antara Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara, yang terdengar sangat konyol secara akal sehat. Ini adalah bentuk nyata kebiadaban dan pengkhianatan yang berulang terhadap Aceh dan rakyat Aceh sejak membantu dan ikut terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Janji-janji dan pengkhianatan terus berulang, dibalut narasi jalan tengah yang tampaknya penuh belas kasih. Sejak kemerdekaan Indonesia, Aceh sudah dan sangat dipermainkan sebab mudah ditundukkan pada berbagai narasi menyentuh hati dan segala puja-puji awal antara Soekarno dan Tgk. Daud Beureueh.

Bukti konkret juga banyak ditemukan. Semua sumber daya alam serta sumber daya ekonomi saat ini dikuasai oleh Sumatera Utara. Hasil alam nabati, hewani (flora-fauna), termasuk sumber daya akuatik seperti hasil laut dan perikanan darat, terus mengalir ke sana.

Hal miris lainnya adalah gas alam (resources) yang dieksploitasi di Lhokseumawe dan Aceh Utara dialirkan ke Sumatera Utara, dengan pengelolaan di Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat. Alasan yang disajikan dalam narasi politik adalah bahwa gas alam di Arun, Aceh, sudah habis atau cadangannya menipis.

Namun, pembangunan pipa penyaluran dengan modal miliaran rupiah jelas tidak logis secara ekonomi, kecuali jika proyek ini menjanjikan keuntungan triliunan rupiah. Ini tidak masuk akal dalam perhitungan feasibility study and evaluation of project jika tak ada keuntungan besar dari sisi "benefit and cost ratio analysis."

Akal-akalan lain juga muncul melalui penciptaan stigma buruk terhadap Aceh dan alasan keamanan serta zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang mudah dimanipulasi. Pengeboran miring menjadi alat untuk mengambil resources Aceh yang kemudian dikelola oleh Pemerintah Pusat Jakarta, dialirkan ke Sumatera Utara. Termasuk persiapan penemuan gas di Blok Andaman serta Meulaboh-Simeulue yang sudah dipersiapkan untuk dikuasai negara.

Modus ini berlangsung dengan mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Praktik ini sejatinya adalah bentuk kolonialisme terstruktur, sistematis, dan masif. Ini merupakan ilmu warisan dari kolonial Belanda yang terkenal dengan "Devide et Impera"—adu domba demi kekuasaan politik penuh.

Dalam konteks ini, muncul pula pahlawan kesiangan yang justru terlibat dalam kasus korupsi Blok Medan (kini menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara), yang melibatkan pula Gubernur Maluku Utara dalam kasus gratifikasi dan korupsi produksi pertambangan nikel di Halmahera Utara. Bisa dipastikan bahwa kasus empat pulau di Singkil ini pun sarat dengan skenario besar untuk menguasai wilayah dan semua sumber dayanya.

Sementara itu, bukti-bukti akademik, ilmiah, hukum, dan historis juga telah disajikan. Perjanjian damai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005 menyepakati batas wilayah Aceh kembali ke batas tahun 1956. Prasasti perbatasan Aceh-Sumut berada di Tandem Bijai dan membentang hingga ke Tanah Karo.

Baca Juga :
Aceh Tanah Koloni

Bukti fisik lain juga tersedia: Peta Kesepakatan 1992 yang disetujui secara administratif, Peta TNI AD Tahun 1978 yang menyatakan keempat pulau sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Peta ini disusun berdasarkan kajian geospasial dan keamanan nasional.

Tidak hanya itu, tugu selamat datang dan koordinat dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga pada 2015. Semua ini menegaskan bahwa wilayah tersebut berada di bawah administrasi Aceh.

Kembali pada modus kolonialisme, ada pula pihak yang mencoba tampil sebagai penyelamat dengan gaya pahlawan kesiangan. Dalam sejarah panjang pengkhianatan terhadap Aceh, istilah lokal "cuwak" digunakan untuk menggambarkan pengkhianatan dari dalam. Politisi murahan yang mencari makan di Jakarta mesti berhati-hati. Retorika mereka tidak akan pernah menguntungkan Aceh.

Rakyat Aceh sudah cukup bersabar dan berkali-kali ditipu oleh narasi pengelolaan bersama. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh, elite politik, birokrasi, dan tokoh masyarakat mesti cermat. Praktik "Devide et Impera" ala Tito ini akan memicu perlawanan baru dari rakyat Aceh, dan membuka jalan bagi konflik antara Aceh dan Indonesia.

Semangat perlawanan Aceh didasarkan pada prinsip-prinsip adat: "Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukum Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana." Sekali pedang keluar dari sarungnya, maka ia pantang untuk kembali.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.