Ombudsman Temukan Empat Potensi Maladministrasi Program Makan Bergizi Gratis

Daftar Isi
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, saat memaparkan Rapid Assessment Ombudsman RI, pada Selasa (30/9/2025), di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan. (Foto: dok. Ombdusman RI).
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, saat memaparkan Rapid Assessment Ombudsman RI, pada Selasa (30/9/2025), di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan. (Foto: dok. Ombdusman RI).
Ombudsman temukan 4 maladministrasi dan 8 masalah utama program MBG. Dari keracunan massal hingga lemahnya tata kelola.
koranaceh.net | Jakarta ‒ Ombudsman Republik Indonesia menemukan empat potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Temuan tersebut mencakup penundaan berlarut, diskriminasi, tidak kompeten, dan penyimpangan prosedur. Hasil kajian cepat (Rapid Assessment) ini disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, pada Selasa (30/9/2025).

“Empat bentuk maladministrasi ini bukan hanya mencerminkan lemahnya tata kelola, tetapi juga menjadi pengingat penting bahwa prinsip pelayanan publik—kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009—harus ditegakkan secara konsisten," ucapnya yang dilansir koranaceh.net dari siaran pers Ombudsman RI, pada Rabu (1/10/2025).

Program MBG, dengan target 82,9 juta penerima dan alokasi anggaran Rp 71 triliun pada 2025, menempatkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai koordinator utama. Namun, Ombudsman mencatat hingga September 2025, realisasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berfungsi baru mencapai 26,7 persen. Kesenjangan antara target dan realisasi ini dinilai menimbulkan risiko besar terhadap pencapaian target layanan di tahun berjalan.

Berdasarkan kajian cepat, Ombudsman merinci empat bentuk potensi maladministrasi tersebut. Pertama, penundaan berlarut ditemukan dalam proses verifikasi mitra yang tidak memiliki kepastian waktu serta keterlambatan pencairan honorarium staf lapangan. Kedua, potensi diskriminasi teridentifikasi dari adanya kemungkinan afiliasi yayasan mitra dengan jejaring politik yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Ketiga, dari sisi kompetensi, ditemukan kelemahan dalam penerapan standar operasional prosedur, seperti dapur yang tidak menyimpan catatan suhu atau sampel makanan (retained sample). Keempat, penyimpangan prosedur terjadi pada pengadaan bahan baku yang tidak sesuai kontrak, misalnya beras kualitas medium diterima meskipun kontrak mensyaratkan kualitas premium.

Temuan ini sejalan dengan meluasnya insiden keracunan massal yang berkaitan dengan program MBG. Hingga akhir September 2025, tercatat 70 kejadian luar biasa (KLB) keracunan di 16 provinsi. Lembaga riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) bahkan mencatat sedikitnya 5.626 kasus keracunan yang dialami siswa dan guru di 17 provinsi sejak program diluncurkan pada Januari 2025. Data korban dari lembaga lain juga menunjukkan angka signifikan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 8.649 anak menjadi korban per 27 September 2025.

Sementara itu, data BGN mencatat total korban keracunan mencapai 6.517 penerima manfaat hingga awal Oktober 2025 ini dari 70 kasus. Pemantauan MBG dibagi menjadi 3 wilayah, yakni Wilayah I di Sumatra, Wilayah II di Jawa dan Wilayah III di Indonesia Timur. Sebaran kasus tertinggi berada di wilayah Pulau Jawa dengan 46 kasus (4.207 korban), diikuti wilayah Indonesia Timur dengan 17 kasus (1.003 korban), serta Sumatera dengan 9 kasus (1.307 korban). Hasil investigasi awal BGN mengidentifikasi kontaminasi bakteri seperti E. Coli, Staphylococcus Aureus, dan Salmonella pada makanan dan air sebagai penyebab utama.

Menanggapi krisis tersebut, BGN membentuk dua lini investigasi. Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, dalam keterangan tertulisnya pada Senin (29/9/2025), mengatakan bahwa tim investigasi tersebut melibatkan Kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN), dinas kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan pemerintah daerah. Selain itu, BGN juga menggandeng tim independen berisi para ahli kimia, farmasi, dan chef untuk mendalami 70 kasus keracunan yang saat ini dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) tersebut.

“Pendekatan multidisiplin ini diharapkan mampu mengungkap seluruh aspek penyebab keracunan, tidak hanya terbatas pada isu Standar Operasional Prosedur (SOP),” ujar Nanik.

Dari hasil kajiannya, Ombudsman RI menjabarkan delapan masalah utama dalam program MBG. Masalah tersebut meliputi kesenjangan yang lebar antara target dan realisasi capaian, maraknya kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah, penetapan mitra yayasan dan SPPG yang tidak transparan serta rawan konflik kepentingan, serta keterbatasan sumber daya manusia— termasuk keterlambatan honorarium serta beban kerja guru dan relawan.

Kemudian, mutu bahan baku tidak sesuai standar imbas tidak adanya standar Acceptance Quality Limit (AQL) yang tegas, penerapan standar pengolahan makanan yang belum konsisten khususnya Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), distribusi makanan yang belum tertib serta membebani guru. Terakhir, sistem pengawasan yang belum terintegrasi serta masih bersifat reaktif, dan belum sepenuhnya berbasis data.

“Delapan permasalahan tersebut menimbulkan risiko turunnya kepercayaan publik, bahkan telah memicu kekecewaan dan kemarahan masyarakat,” ujar Yeka.

Atas temuan tersebut, Ombudsman RI mendesak BGN untuk melakukan perbaikan mendasar, termasuk penyempurnaan regulasi kemitraan dan penguatan sistem administrasi. Ombudsman juga mendorong keterlibatan penuh BPOM dalam pengawasan, pembangunan dasbor digital untuk pemantauan real-time, serta jaminan perlindungan bagi guru yang terlibat.

Ihwal evaluasi SPPG, Ombudsman merekomendasikan penghentian sementara bagi SPPG yang telah menimbulkan insiden kesehatan untuk dievaluasi total. “Bagi yang belum beroperasi, harus memenuhi sertifikasi keamanan pangan dan semua SOP dilakukan menuju zero incident,” tegas Yeka.

Ombudsman menyatakan akan terus mengawasi pelaksanaan program MBG untuk memastikan pemenuhan hak dasar masyarakat. Keberhasilan program ini, menurut Yeka, tidak hanya diukur dari jangkauan penerima manfaat, tetapi juga dari tata kelola yang baik, penggunaan anggaran yang akuntabel, serta penerapan standar keamanan pangan yang ketat di setiap unit pelayanan.



Pewarta:
Muntaziruddin Sufiady Ridwan