Proses Masuknya Islam ke Indonesia: Sebuah Perjalanan Damai yang Mengubah Wajah Nusantara
Daftar Isi
Penulis:
Septi Adelina Rambe | Mahasiswi Sejarah Kebudayaan Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Islam masuk ke Indonesia melalui jalur damai dan perdagangan. Proses ini melahirkan Islam yang toleran dan berakar pada budaya lokal.
koranaceh.net | Opini –
Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim dan memiliki
sejarah panjang tentang bagaimana Islam menjadi bagian dari identitas
budayanya. Menurut penulis, proses masuknya Islam ke Indonesia bukanlah kisah
tentang pertumpahan darah atau paksaan, melainkan perjalanan damai yang
didorong oleh perdagangan, akulturasi budaya, dan interaksi antarmanusia.
Kisah ini menjadi contoh sempurna bahwa agama dapat menyebar tanpa kekerasan.
Inilah yang membuat Islam di Indonesia tampak unik: bersifat toleran,
inklusif, dan mampu beradaptasi dengan tradisi lokal. Meski demikian,
asal-usul kedatangan Islam ke Nusantara masih menjadi perdebatan di kalangan
para sejarawan.
Baca Juga:
Proses masuknya Islam ke Indonesia diperkirakan dimulai sekitar abad ke-7
Masehi, meskipun bukti arkeologis yang kuat baru muncul pada abad ke-13.
Menurut penulis, faktor utama penyebaran Islam di Nusantara adalah jalur
perdagangan maritim yang membentang di sepanjang Selat Malaka dan Laut Jawa.
Para pedagang Muslim dari Timur Tengah, India, dan Asia Selatan datang ke
pelabuhan-pelabuhan penting seperti Aceh, Palembang, dan Tuban untuk berdagang
rempah-rempah, kain, serta berbagai komoditas lainnya.
Islam tidak hadir sebagai agama asing yang memaksakan diri. Sebaliknya, ia
berkembang melalui hubungan sosial dan budaya, seperti pernikahan antara para
pedagang Muslim dan penduduk lokal, serta pengaruh para sufi yang menekankan
spiritualitas mistis yang selaras dengan nilai-nilai tradisi setempat.
Kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal, seperti Samudera Pasai pada abad
ke-13 dan Demak pada abad ke-15, menjadi tonggak penting dalam proses
penyebaran Islam di Indonesia. Para sultan di kerajaan-kerajaan ini memeluk
Islam tidak hanya karena alasan keagamaan, tetapi juga untuk memperkuat
hubungan dagang dan politik dengan dunia Islam yang lebih luas.
Seiring waktu, Islam berakulturasi dengan budaya lokal. Nilai-nilai Islam
menyatu dalam berbagai bentuk ekspresi budaya, seperti pertunjukan wayang
kulit yang memadukan kisah Ramayana dengan pesan-pesan moral Islam, atau seni
kaligrafi yang berpadu indah dengan motif batik.
Bagi penulis, inilah kekuatan Islam di Indonesia: ia tidak menghapus budaya
pra-Islam, melainkan memperkaya dan menyatukannya. Dari proses inilah lahir
masyarakat yang harmonis, di mana keberagaman etnis dan tradisi justru menjadi
bagian dari identitas keislaman itu sendiri.
Ragam Teori Kedatangan Islam: Dari Gujarat hingga Tiongkok
Teori Gujarat merupakan pandangan populer di kalangan sejarawan, termasuk
Hamka. Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui para
pedagang dari Gujarat, India, sekitar abad ke-13 Masehi. Bukti yang sering
dikemukakan adalah kesamaan arsitektur masjid-masjid kuno di Jawa dengan gaya
bangunan di Gujarat, serta adanya pengaruh bahasa dan adat India dalam tradisi
Islam di Jawa.
Penulis cenderung sepakat dengan teori ini karena pada masa itu Gujarat
merupakan pusat perdagangan Muslim yang kuat dan berpengaruh di kawasan
Samudra Hindia. Jejak pengaruhnya terasa nyata di wilayah pesisir timur
Indonesia, tempat interaksi dagang dan budaya berlangsung intensif.
Teori Persia menekankan peran para ulama dan sufi dari wilayah Persia (Iran)
dalam proses penyebaran Islam ke Nusantara. Pandangan ini dikemukakan antara
lain oleh sejarawan seperti Buya Hamka dan Snouck Hurgronje. Menurut teori
ini, Islam menyebar melalui ajaran tarekat sufi yang bercorak
mistis—sebagaimana yang kemudian dikenal dalam dakwah Wali Songo di Jawa.
Bukti arkeologis yang mendukung antara lain batu nisan di Leran, Gresik,
bertanggal 1082 M, yang memuat kaligrafi bergaya Persia. Penulis menilai teori
ini cukup masuk akal, sebab pendekatan spiritual Sufisme Persia yang lembut
dan adaptif sangat cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang sejak lama
terbiasa dengan tradisi mistis dan ritual simbolik.
Baca Juga:
Teori Arab berpendapat bahwa Islam datang langsung dari Jazirah Arab sejak
abad ke-7 Masehi. Pandangan ini didukung oleh catatan Ibnu Battuta yang
menyebut keberadaan kerajaan Islam di Samudera Pasai, serta berbagai prasasti
kuno yang dianggap sebagai bukti awal kedatangan Islam. Bahkan, ada pula kisah
tentang sahabat Nabi seperti Abdurrahman bin Mu’adh yang disebut pernah
singgah di wilayah Nusantara.
Namun, penulis memandang teori ini kurang meyakinkan karena bukti historisnya
masih lemah. Lebih masuk akal jika Arab berperan sebagai sumber inspirasi awal
penyebaran Islam, sementara proses Islamisasi secara nyata berlangsung melalui
perantara seperti India dan Persia.
Teori Tionghoa merupakan pandangan yang lebih modern, dipopulerkan oleh
sejarawan seperti Tan Ta Sen. Teori ini menyoroti peran pedagang Muslim asal
Tiongkok, khususnya pada masa Dinasti Yuan dan Ming. Bukti yang sering disebut
adalah keberadaan makam Laksamana Cheng Ho, seorang Muslim Tionghoa, di
Semarang, yang menjadi simbol kuat hubungan dagang dan budaya antara Tiongkok
dan Nusantara.
Penulis melihat teori ini bukan sebagai tandingan, melainkan sebagai pelengkap
teori-teori lain. Ia menunjukkan bahwa jaringan perdagangan Asia Timur turut
mempercepat proses Islamisasi di Indonesia, menjadikan penyebaran Islam di
Nusantara hasil interaksi lintas budaya yang luas.
Islam dan Toleransi: Pelajaran dari Sejarah Nusantara
Dari berbagai pandangan di atas, penulis berkesimpulan bahwa tidak ada satu
teori pun yang dapat berdiri sebagai penjelasan tunggal. Kedatangan Islam ke
Indonesia merupakan hasil sintesis dari berbagai pengaruh—Gujarat, Persia,
Arab, dan Tiongkok—yang semuanya terjalin melalui jalur perdagangan dan proses
akulturasi budaya.
Lebih dari sekadar sejarah, proses ini menyimpan pelajaran penting: bahwa
Islam di Indonesia tumbuh melalui toleransi, bukan konflik; melalui dialog
budaya, bukan penaklukan. Inilah warisan berharga yang seharusnya
menginspirasi generasi masa kini untuk terus menghargai keberagaman sebagai
fondasi kemajuan bangsa.
❖