MK Hapus Ambang Batas Presiden, Pemerintah Siap Revisi UU Pemilu

Ilustrasi.

MK telah resmi menghapus ketentuan ambang batas presiden dalam Pasal 222 UU Pemilu. Pemerintah sebut akan merujuk pada lima pedoman rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu sesuai arahan MK.

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan ambang batas presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Keputusan ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025 lalu.

Baca Juga:
Putusan MK Hapus Presidential Threshold Disambut Positif, Buka Ruang Demokrasi Lebih Luas

Penghapusan ambang batas presiden ini menjadi momen penting dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. MK menilai ketentuan tersebut tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan asas keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pemilu.

Menanggapi putusan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra, memastikan pemerintah akan mematuhi arahan MK. Ia menyebut bahwa pemerintah akan merujuk pada lima pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang diberikan MK guna menyusun revisi Pasal 222 UU Pemilu.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Jumat (17/1/2025). (Foto: Antara/Fath Putra Mulya).
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Jumat (17/1/2025). (Foto: Antara/Fath Putra Mulya).

“MK sendiri sudah membuat panduan yang lima itu yang disebut dengan constitutional engineering dan dengan sendirinya pemerintah akan memedomani constitutional engineering itu dalam menyusun amendemen terhadap Pasal 222 (UU Pemilu) dan penambahan pasal-pasal baru terkait dengan pilpres,” ujar Yusril saat diwawancarai awak media di Jakarta pada Jumat malam, 17 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Baca Juga:
Menghapus Ambang Batas Pencalonan Presiden: Membangun Demokrasi yang Substantif di Indonesia dan Nanggroe Aceh Darussalam

Pemerintah, lanjut Yusril, kini tengah membahas metode revisi yang akan digunakan, apakah melalui pendekatan omnibus law atau dengan mengubah pasal satu per satu. Ia pun mengatakan adanya kemungkinan revisi dilakukan terlebih dahulu oleh DPR, mengingat kewenangan revisi undang-undang berada di tangan kedua lembaga tersebut.

Lima Pedoman MK untuk Rekayasa Konstitusional

Dalam pertimbangannya, MK memberikan lima pedoman kepada pembentuk undang-undang untuk memastikan revisi UU Pemilu tetap mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi dan menghindari dominasi partai politik tertentu. Berikut kelima pedoman tersebut:

    1. Semua partai politik peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
    2. Pengusulan pasangan calon tidak lagi didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah nasional.
    3. Partai politik dapat bergabung untuk mengusulkan pasangan calon, asalkan tidak menyebabkan dominasi yang membatasi jumlah pasangan calon dan pilihan bagi pemilih.
    4. Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
    5. Proses revisi UU Pemilu harus melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR, dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Perubahan Besar dalam Sistem Pemilu

Putusan ini mencerminkan perubahan besar dalam sistem pemilu di Indonesia. MK menegaskan bahwa ambang batas presiden selama ini telah membatasi hak politik rakyat dan menciptakan ketidakadilan dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden.

Baca Juga:
MK Batalkan Presidential Threshold 20 Persen, Pasal 222 UU Pemilu Dinyatakan Inkonsitusional

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra, disadur dari laman resmi MK.

Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo (tengah) bersama delapan Hakim Konstitusi memimpin sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pileg 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (6/6/2024). (Foto: Dok. Koran Aceh).

Meskipun norma presidential threshold tidak lagi berlaku, MK tetap mengingatkan pembentuk undang-undang untuk mempertimbangkan potensi jumlah pasangan calon yang terlalu banyak. Hal ini dikhawatirkan dapat mengganggu esensi dari pemilihan presiden itu sendiri.

Dengan dihapuskannya ketentuan ini, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan revisi UU Pemilu berjalan sesuai amanat MK. Revisi ini juga diharapkan mampu menciptakan sistem pemilu yang lebih inklusif, adil, dan mencerminkan kedaulatan rakyat.

Langkah pemerintah selanjutnya, termasuk memastikan partisipasi aktif dari masyarakat dan berbagai pihak terkait, akan menjadi kunci dalam proses rekayasa konstitusional ini. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang menekankan keterlibatan publik dalam penyusunan kebijakan publik yang strategis.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.