Walhi Aceh: Penambangan Liar Hingga Industri Jadi Sebab Utama Perubahan Iklim di Aceh

Ilustrasi. (un.org).
Ilustrasi. (un.org).
Aceh menghadapi ancaman perubahan iklim dengan bencana banjir yang meningkat dan hutan yang terus rusak akibat aktivitas ilegal serta pembangunan infrastruktur.

Banda AcehPerubahan iklim kini semakin dirasakan di Aceh. Dampaknya pun sudah mulai terlihat jelas. Cuaca yang sulit diprediksi dan intensitas hujan yang semakin tidak menentu menjadi petandanya. Salah satunya, ungkap Deputi Walhi Aceh M. Nasir, adalah musim hujan yang sering berlangsung di luar musimnya.

Baca Juga:
Pelajaran dari Kebakaran di Amerika

Dalam talkshow bertajuk "Tantangan Lingkungan Hidup di Tengah Perubahan Iklim Global" yang disiarkan langsung RRI Banda Aceh di akun YouTube resmi mereka, Nasir mengatakan, "Aceh telah mengalami perubahan iklim yang signifikan, dengan hujan yang sulit diprediksi, bahkan di luar bulan-bulan musim hujan yang biasanya terjadi antara September hingga Desember," ujarnya yang dinukil koranaceh.net, Kamis, 23 Januari 2025.

Penambangan Liar Hingga Industri Jadi Sebab Utama

Sebagian besar kawasan hutan di Aceh, tutur M. Nasir, rusak akibat aktivitas ilegal seperti penambangan liar dan pembalakan hutan. "Kegiatan-kegiatan ilegal ini harus menjadi perhatian bersama semua pihak agar dapat diminimalisir dan tidak memperburuk kondisi iklim," tegasnya.

Baca Juga:
NKRI Harga Mati di Tengah Krisis Lingkungan dan Korupsi

Pembangunan infrastruktur, tambah Nasir, juga ikut memperburuk kondisi hutan Aceh. Jalan-jalan yang dibangun melintasi kawasan hutan sering kali menjadi pembuka akses lebih luas untuk perusakan hutan.

Perubahan iklim ini, lanjutnya, juga dipengaruhi industri-industri yang menggunakan bahan bakar fosil, batu bara dan gas alam. Pemakaian tiga jenis bahan bakar itulah yang kemudian berimbas pada meningkatnya pelepasan emisi karbon ke atmosfer.

Pengurangan tutupan hutan dan ditambah dengan penggunaan pupuk kimia yang mengandung zat nitrous oxide (N2O) pun ikut memperparah keadaan iklim. "Penggunaan bahan bakar fosil, batu bara, dan gas alam juga ikut berkontribusi signifikan terhadap pelepasan emisi karbon," tambahnya.

Tetap Optimis Meski Ancaman Mengintai

Kendati ancaman semakin terlihat, ia tetap optimis Aceh bisa menghadapi tantangan tersebut. Sebab Aceh, kata dia, memiliki kawasan hutan dan konservasi yang mencapai lebih dari 5 juta hektar. Luasnya kawasan hutan dan konservasi tersebut menjadi modal penting sebagai penyangga utama mitigasi perubahan iklim. "Tidak hanya bagi Aceh atau Indonesia, tetapi juga bagi dunia internasional," terang Nasir.

Baca Juga:
Pentingnya Penyelamatan Hutan

Walau begitu, hal ini memerlukan upaya bersama, termasuk penguatan pengawasan terhadap aktivitas ilegal, penerapan pembangunan yang berkelanjutan, dan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui peralihan ke energi terbarukan. "Dengan langkah yang tepat, hutan Aceh dapat menjadi benteng dalam menghadapi dampak perubahan iklim, tidak hanya untuk Aceh tetapi juga untuk dunia," pungkasnya.

Ancaman perubahan iklim memang tidak dapat dihindari, tetapi dengan kebijakan yang tepat dan komitmen semua pihak, dampaknya dapat diminimalkan demi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat Aceh.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.