Baitul Mal Aceh Salurkan Rp89,46 Miliar Zakat dan Infak untuk 29.859 Mustahik di Tahun 2024

Aktivitas dan suasana di Kantor Baitul Mal Aceh, Banda Aceh, Jumat (21/2/2025). (Sumber: Baitul Mal Aceh).
Aktivitas dan suasana di Kantor Baitul Mal Aceh, Banda Aceh, Jumat (21/2/2025). (Sumber: Baitul Mal Aceh).
Baitul Mal Aceh (BMA) menyalurkan zakat dan infak sebesar Rp89,46 miliar pada 2024 kepada 29.859 mustahik di seluruh Aceh. Dana ini digunakan untuk sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sosial.

Banda Aceh – Baitul Mal Aceh (BMA) mencatat telah menyalurkan dana zakat dan infak sebesar Rp89,46 miliar sepanjang tahun 2024. Dana tersebut diberikan kepada 29.859 mustahik dan penerima manfaat di berbagai daerah di Aceh melalui program bantuan di sektor kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, hingga syiar Islam.

Ketua Badan BMA, Mohammad Haikal, dalam keterangannya yang dilansir koranaceh.net menyampaikan, penyaluran zakat dan infak ini dilakukan dengan tetap berpedoman pada prinsip syariah dan tata kelola keuangan yang sesuai dengan regulasi. Pasalnya, dana yang dikelola BMA merupakan bagian dari Pendapatan Asli Aceh (PAD) sehingga penggunaannya harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Baca Juga:
Baitul Mal Aceh Serahkan Kaki Palsu untuk Tingkatkan Kemandirian 20 Mustahik

"Penyaluran zakat dan infak tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan ketentuan tata kelola keuangan berdasarkan regulasi yang berlaku, mengingat zakat dan infak merupakan bagian dari Pendapatan Asli Aceh," ujar Haikal, yang dikutip dari laman resmi Baitul Mal Aceh, pada Jumat, 21 Februari 2025.

Dari total dana yang disalurkan, Rp64,59 miliar merupakan zakat yang diberikan kepada 29.217 mustahik, sedangkan Rp24,87 miliar berasal dari dana infak yang diterima oleh 642 penerima manfaat.

Dana zakat dialokasikan untuk tujuh senif, yaitu senif fakir sebesar Rp5,23 miliar, senif miskin Rp42,33 miliar, senif amil Rp1,25 miliar, senif muallaf Rp2,38 miliar, senif gharimin Rp2,19 miliar, senif fisabilillah Rp2,76 miliar, dan senif ibnu sabil Rp8,41 miliar.

Sementara itu, dana infak digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat sebesar Rp7,85 miliar, kemaslahatan umat Rp16,94 miliar, serta biaya operasional kegiatan ZIWaH sebesar Rp79,42 juta.

Baca Juga:
Potret Miskin Aceh, Ribuan Rumah Tak Layak Huni Belum Tersentuh Bantuan Pemerintah

Program yang dijalankan oleh BMA, tutur Haikal, tidak hanya bersifat konsumtif tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Oleh karena itu, BMA juga berencana melakukan investasi dan penyertaan modal untuk mendukung pendidikan, ekonomi, dan kemaslahatan umat.

Kendati begitu, hingga kini regulasi yang mengatur mekanisme pelaksanaannya belum efektif, sehingga terdapat sisa dana sebesar Rp89,2 miliar yang akan dialokasikan kembali pada 2025.

Dalam menjalankan programnya, BMA menghadapi sejumlah tantangan, termasuk dalam fleksibilitas pengelolaan dana. Karena zakat dan infak masuk dalam kategori PAD, pengelolaannya harus mengikuti aturan keuangan negara yang terkadang kurang fleksibel dalam pendistribusiannya.

"Zakat dan infak sebagai PAD terikat dengan aturan keuangan negara, sehingga untuk keperluan kelenturan penyaluran seharusnya diberi ruang yang cukup untuk pemanfaatan dana secara lebih luas," jelas Haikal.

Baca Juga:
Bank Aceh Bagikan Dividen Rp 300 Miliar untuk Tahun Buku 2024

Selain itu, Haikal juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini, pengajuan akun khusus Belanja Zakat dan Belanja Infak masih dalam proses di Kementerian Dalam Negeri. Saat ini, pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat serta infak masih dilakukan melalui rekening Bantuan Sosial yang memiliki ketentuan tertentu.

Tantangan lainnya adalah disharmoni regulasi antara kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Menurut Haikal, terdapat perbedaan antara Undang-Undang, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), serta Qanun dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur tentang pengelolaan zakat dan infak di Aceh.

"Dalam pelaksanaan kegiatan terdapat disharmoni regulasi, di mana terdapat perbedaan antara peraturan yang berlaku di tingkat nasional dengan regulasi di tingkat daerah," tambahnya.

Selain itu, multi-tafsir regulasi juga menjadi kendala. Perbedaan pemahaman dalam menafsirkan aturan sering kali menciptakan ketidakpastian dalam implementasi kebijakan, sehingga menghambat efektivitas penyaluran zakat dan infak.

Baca Juga:
Angka Kemiskinan di Aceh Turun 1,59 Persen, Tertinggi dalam Empat Tahun Terakhir

Meski menghadapi berbagai tantangan, Haikal menegaskan BMA terus berupaya mencari solusi yang efektif agar zakat dan infak dapat menjadi instrumen utama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.

"Tentunya segala hambatan dan kendala tersebut akan kita carikan solusinya. Kami berkomitmen untuk terus meningkatkan pelayanan dan transparansi dalam pengelolaan zakat dan infak," pungkasnya.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.