BUMD Aceh Dinilai Punya Peran Kunci Dorong UMKM Naik Kelas

Eks Direktur PT Pembangunan Aceh (PEMA), Ali Mulyagusdin, dalam diskusi daring "Task Force UMKM Aceh" yang digelar pada Sabtu (17/5/2025). (Foto: Dok. Koran Aceh/Muntaziruddin Sufiady Ridwan).
Eks Direktur PT Pembangunan Aceh (PEMA), Ali Mulyagusdin, dalam diskusi daring "Task Force UMKM Aceh" yang digelar pada Sabtu (17/5/2025). (Foto: Dok. Koran Aceh/Muntaziruddin Sufiady Ridwan).

Ali Mulyagusdin paparkan peran BUMD dalam menghubungkan UMKM Aceh ke pasar global lewat pembiayaan, kemitraan, dan digitalisasi.

koranaceh.net Peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam mengembangkan UMKM disorot dalam diskusi daring “Task Force UMKM Aceh” yang digelar Sabtu, 17 Mei 2025.

Dalam sesi tersebut, Ali Mulyagusdin, SE, MBA, Ak, CA—mantan Direktur PT Pembangunan Aceh (PEMA)—mengurai pengalaman sekaligus kritik terhadap stagnasi peran BUMD mendampingi UMKM masuk ke arena perdagangan yang lebih luas, terutama pasar internasional.

Baca Juga :
Ekonomi Aceh Masih Bertumpu pada Pertanian, Trauma Psikologis Hambat Transformasi

Ali mengawali paparannya dengan mengakui bahwa pengembangan UMKM tidak bisa dilepaskan dari lima pilar utama. Diantaranya adalah pasar, pembiayaan, riset dan pengembangan (R&D), perbankan, dan sumber daya manusia (SDM).

Menurutnya, kelima pilar ini seharusnya menjadi prasyarat utama yang dimiliki oleh setiap BUMD di Aceh. “Jadi semestinya di setiap BUMD itu kita memiliki lima item utama ini,” ujarnya.

“Kemudian bagaimana mendorong UMKM menjadi mandiri, menjadi kompetitif, mengembangkan inovasi produknya. Ini tentunya dengan bekerjasama dengan kampus ataupun universitas atau pusat riset yang ada di tempat kita,” sambung Ali.

Diskusi semakin menggugah saat Ali menyinggung isu yang lebih besar, yaitu keterkaitan UMKM Aceh dengan rantai pasok global. Ia mempertanyakan apakah Aceh benar-benar merasakan dampak dari berbagai gejolak global—mulai dari perang dagang AS-Tiongkok hingga konflik Timur Tengah.

“Kalau Aceh tidak merasakan itu, berarti memang kita sedang berdagang sebenarnya dengan provinsi lain yang ada di Indonesia,” ujarnya. “Lalu provinsi lain tersebutlah yang melakukan dagang internasional.”

Pernyataan itu tidak sekadar retoris. Ali menunjukkan bahwa Aceh masih tertinggal dari negara-negara pesaing regional seperti Vietnam, Thailand, dan  Malaysia yang agresif mengekspor produk ke pasar Timur Tengah.

“Hari ini pasar itu diambil oleh Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Mereka sangat sungguh-sungguh ingin jadi penyuplai kepastian bahan baku makanan bagi Timur Tengah,” katanya.

Ali kemudian berbagi pengalaman saat menjabat di PT PEMA, BUMD milik Pemerintah Aceh. Ia menggagas program bernama Rampago—singkatan dari “Rangkai UMKM untuk Pembangunan Nanggroe”—yang bertujuan menjadi penghubung antara pasar yang stabil dengan UMKM lokal.

“Pada saat kita launching program Rampago itu, kita langsung pada saat itu mengikat dengan 11 UMKM,” jelasnya.

Ali menyadari bahwa langsung melibatkan BUMD dalam produksi akan berisiko menambah saingan baru bagi UMKM atau bahkan mengambil alih peran mereka. Karena itu, ia mengusulkan agar BUMD berperan sebagai aggregator, bukan kompetitor.

“Kita menghindari kita langsung masuk ke UMKM, tapi kita ingin menjadi aggregator, menjadi penghubung antara pasar dan UMKM,” tuturnya.

Strategi Rampago melibatkan kerja sama konkret antara UMKM dan mitra bisnis BUMD dengan skema kontrak kerja atau Purchase Order (PO). PO ini, menurut Ali, bisa digunakan oleh UMKM sebagai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan dari bank.

“Maka ini menjadi penyokong utama bagi perbankan… memastikan si UMKM tersebut bisa dibiayai untuk pengembangan sumber daya manusianya,” ujarnya.

Ali juga menyinggung peran Bank Aceh dan Bank Musaqim sebagai lembaga keuangan yang dapat memperkuat ekosistem UMKM karena memiliki kedekatan struktural dengan BUMD.

“Konsultan UMKM bisa dibayar dengan menggunakan mekanisme BUMD CSR. Ini yang di waktu itu coba kita bangun. Dan alhamdulillah langsung terikat kontrak dengan 11 UMKM.”

Kendati begitu, ia mengakui kalau saat ini dia tidak mengetahui sudah sejauh mana program Rampago tersebut berlanjut. “Mungkin kalau ada peserta yang masih aktif berada di BUMD Aceh tersebut bisa memaparkan ya,” ujarnya.

Meski demikian, menurutnya konsepnya masih relevan, bahkan sangat penting untuk direplikasi.

Ali juga menekankan pentingnya digitalisasi. Ia menyarankan agar BUMD mengembangkan platform seperti marketplace B2B (Business to Business) yang memungkinkan UMKM menjual produknya langsung ke mitra usaha BUMD.

Baca Juga :
Rantai Distribusi dan Minimnya Dukungan Hambat Peluang Kopi Gayo di Pasar Skandinavia

“Kenapa harus digital marketing? Karena di BUMD itu kita memohon pada saat itu dibuatkan platform… seperti e-katalog kalau dalam pemerintah,” katanya.

Sebagai penutup, Ali mengingatkan bahwa upaya pengembangan UMKM tidak boleh sekadar retorika proyek. Ia menekankan pentingnya pendampingan sejak awal, riset pasar, pembukaan akses pembiayaan, serta kemitraan strategis.

“BUMD ataupun Badan Usaha Milik Daerah—kalau di Aceh itu disebut BUMA—itu punya beberapa platform serta sumber daya manusia yang bisa dimanfaatkan untuk mendampingi awal daripada setiap UMKM yang ada,” pungkasnya.

Paparan ini memberikan sinyal tegas bahwa peran BUMD seharusnya tidak berhenti pada neraca keuangan perusahaan daerah, melainkan menjelma menjadi katalisator ekonomi lokal—membuka jalan bagi UMKM Aceh untuk terhubung, bersaing, dan tumbuh di pasar nasional hingga global. [*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.