Ekonomi Aceh Masih Bertumpu pada Pertanian, Trauma Psikologis Hambat Transformasi
Safuadi nilai ekonomi Aceh stagnan di sektor pertanian. Transformasi manufaktur dan iklim investasi terhambat sisa psikologis konflik.
koranaceh.net – Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Provinsi Aceh, Safuadi, ST., MSc., Ph.D., menilai bahwa struktur ekonomi Aceh kini masih stagnan di sektor pertanian dan belum menunjukkan tanda-tanda transisi signifikan ke arah sektor manufaktur atau jasa.
Dalam diskusi daring "Task Force UMKM Aceh" pada Sabtu, 17 Mei 2025, ia menyatakan perlunya lompatan serius agar Aceh tidak tertinggal dari daerah atau negara lain.
Baca Juga :
Rantai Distribusi dan Minimnya Dukungan Hambat Peluang Kopi Gayo di Pasar Skandinavia
"Kita hari ini masih ada di posisi pertama [fase pertanian], dan kita masih fokus di aktivitas-aktivitas yang banyak menguras energi. Kita belum masuk ke fase manufaktur apalagi jasa," ujar Safuadi.
Ia mencontohkan bagaimana Vietnam yang berhasil masuk dalam fase manufaktur lewat transformasi besar di bidang ekonomi. "Vietnam dulu tertinggal dari kita. Tapi mereka melakukan lompatan kuantum hanya dengan satu upaya transformasi. Kita harus move ke sana," terangnya.
Transformasi ekonomi seperti yang dilakukan mereka, tutur Safuadi, juga dapat dilakukan Aceh. Salah satu caranya adalah dengan memprioritaskan pengolahan komoditas pertanian menjadi produk siap pakai.
Dengan begitu, nilai tambah (value added) yang dimiliki komoditas pertanian Aceh pun jadi meningkat. Kemudian berimbas pada meluasnya penyerapan tenaga kerja. "Kalau tidak, maka nilai tambahnya rendah. Harusnya Kopi Gayo kita sudah bisa manufaktur sendiri, tidak lagi di green bean," tegas Safuadi.
Namun, niat untuk transformasi ekonomi Aceh ini nyatanya berbenturan dengan dua masalah laten: trauma konflik dan infrastruktur yang belum mendukung aktivitas bisnis secara optimal.
Ihwal trauma itu, menurut Safuadi, bayang-bayang konflik bersenjata masa lalu masih menjadi hambatan psikologis serius bagi investor. Meskipun konflik fisik telah lama usai, namun residu psikologisnya masih menyelimuti persepsi pelaku usaha dan calon investor. "Bahasanya sederhananya, 'Aceh aman tapi belum nyaman',” ucapnya.
Selain itu, persoalan-persoalan lain seperti premanisme serta regulasi hukum yang belum memadai, membuat rasa tidak nyaman tersebut terakumulasi. Imbasnya, investor memilih sikap untuk menunggu momen yang tepat.
"Secara teori, pasca-konflik itu butuh 25 tahun untuk pulih secara psikologis. Sifat-sifat tekanan dan ketidakpastian masih jadi momok. Inilah yang membuat investor memutuskan bersikap wait and see," ujarnya.
Dana otonomi khusus (Otsus) yang dikucurkan untuk Aceh juga disorotnya. Ia menilai, selama ini sebagian besar dana otsus cenderung diprioritaskan untuk membangun infrastruktur dasar, bukan infrastruktur yang mampu menunjang iklim usaha dan investasi.
"Dana sudah lebih dari 95 triliun dikucurkan, tapi belum menyangga aktivitas bisnis. Harusnya pembangunan itu [juga] diarahkan ke infrastruktur bisnis. Bukan hanya jalan dan jembatan, tapi ke kawasan industri, pelabuhan logistik, dan jaringan digital," ungkapnya.
Baca Juga :
Wagub Aceh Dorong Enam Gugus Tugas untuk Reformasi Program Pembangunan Daerah
Masalah lain yang tak kalah penting adalah terfragmentasinya para akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah. "Akademik jalan sendiri, pengusaha jalan sendiri, pemerintah jalan sendiri. Ini harus kita ikat," ujar Safuadi.
Keberhasilan kolaborasi ARC (Asiri Research Center) Unsyiah yang mampu mengekspor 200 kilogram nilam ke Prancis menjadi contoh dari kolaborasi ketiganya.
Oleh sebab itu, Safuadi berharap momentum seperti ini menjadi ajang konsolidasi gagasan dan inisiatif konkret. "Ini adalah momen rebound. Tapi rebound itu butuh komitmen bersama. Jangan sampai kita terus jadi daerah yang punya potensi tapi tak pernah jadi kekuatan ekonomi riil," pungkasnya. [*]
Tidak ada komentar