Rencana Penambahan Batalyon TNI di Aceh Tuai Kritik, Dinilai Langgar MoU Helsinki

Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Alhaytar (kiri) bersama dengan Tgk Muharuddin (kanan). (Foto: Ist).
Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Alhaytar (kiri) bersama dengan Tgk Muharuddin (kanan). (Foto: Ist).
Penambahan 4 batalyon TNI di Aceh dinilai langgar MoU Helsinki dan berpotensi picu trauma. Pemerintah pusat diminta untuk meninjau ulang rencana.

koranaceh.net ‒ Rencana Kementerian Pertahanan Republik Indonesia untuk menambah empat Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) di wilayah Aceh memicu penolakan keras dari sejumlah tokoh dan lembaga di daerah tersebut.

Penambahan ini dinilai bertentangan dengan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005.

Baca Juga :
Sejarah yang Berulang: Aceh, Palestina, dan Pengkhianatan dalam Konteks Sejarah

Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Alhaytar, secara tegas menyatakan bahwa penambahan empat batalyon TNI di Aceh melanggar isi perjanjian damai yang telah berjalan selama hampir dua dekade.

Ia mengingatkan bahwa selama 20 tahun terakhir, perdamaian di Aceh telah terjaga dengan baik berkat komitmen bersama.

"Selama perdamaian berlaku, masyarakat Aceh semakin merasa aman dan merasa bahwa pemerintah berkomitmen kepada perjanjian damai MoU Helsinki 2005. Malah, pihak eks kombatan GAM bahu-membahu saling menjaga keamanan sejak tahun 2005–2025," ujar Wali Nanggroe, dalam keterangan resminya, pada Sabtu, 3 Mei 2025.

Wali Nanggroe juga menyoroti bahwa secara geopolitik, situasi kawasan Asia Tenggara termasuk negara-negara tetangga seperti India, Sri Lanka, Bangladesh, dan Australia dalam kondisi damai. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada alasan kuat untuk meningkatkan kehadiran militer di Aceh.

"Seandainya ada ancaman dari luar, rakyat Aceh dapat diharapkan untuk menantang musuh yang datang dari luar. Sejarah Aceh telah membuktikan Aceh sendiri dapat menantang Portugis selama ini lebih dari 100 tahun, Belanda 70 tahun dan Jepang 3,5 tahun," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Tgk Muharuddin, juga menolak rencana tersebut dan memperingatkan dampak psikologisnya terhadap masyarakat Aceh.

"Masyarakat Aceh saat ini sudah hidup tenang dan damai, serta telah bersinergi dengan TNI. Jangan sampai dengan penambahan batalyon ini membuat masyarakat Aceh kembali ketakutan dan trauma atas kejadian di masa lalu," kata Tgk Muharuddin.

Ia mengingatkan bahwa MoU Helsinki secara jelas membatasi jumlah dan pergerakan personel militer di Aceh. Dalam butir 4.7. disebutkan bahwa jumlah tentara organik yang boleh tetap berada di Aceh adalah 14.700 orang.

Sedangkan dalam butir 4.8. disebutkan tidak boleh ada pergerakan besar-besaran setelah penandatanganan perjanjian. Butir 4.11. juga menegaskan bahwa dalam situasi damai, hanya tentara organik yang diperbolehkan berada di wilayah Aceh.

Politisi Partai Aceh itu juga membeberkan saat ini Aceh sudah memiliki 13 batalyon di bawah Kodam Iskandar Muda, antara lain Yonif 111, 112, 113, hingga Brigif 25 Siwah yang tersebar di berbagai kabupaten/kota.

Baca Juga :
Wagub Aceh Tekankan Pentingnya Dana Otsus dan Revisi UUPA di RDP Komisi II DPR RI

"Untuk memperkuat pertahanan wilayah serta untuk mengintegrasikan program-program pertahanan dengan pembangunan nasional di Aceh, cukup dengan memperkuat tentara organik yang berada di Aceh, tanpa harus membentuk batalyon baru," tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa jumlah personel TNI terus meningkat setiap tahun lewat rekrutmen di berbagai tingkatan, sehingga kebutuhan pertahanan bisa tetap tercukupi tanpa perlu ekspansi.

"Masyarakat Aceh masih dalam situasi trauma pasca konflik, sehingga mobilisasi pasukan dan penambahan batalyon justru akan semakin membuat trauma masyarakat mengingat situasi Aceh yang semakin damai dan kondusif," tambah Tgk. Muharuddin.

Menanggapi wacana ini, ia mendesak Kementerian Pertahanan untuk mengevaluasi rencana tersebut dan mengajak pihak-pihak terkait duduk bersama.

"Kami berharap Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kementerian Pertahanan RI untuk dapat duduk bersama Pemerintah Aceh, DPRA dan Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe untuk membahas persoalan ini dan mencari skema atau alternatif lain untuk menjaga pertahanan Indonesia di wilayah ujung paling barat ini," ujarnya.

Diketahui, empat batalyon baru yang rencananya akan dibangun tersebar di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Pembangunan YTP di Pidie bakal dilaksanakan oleh PT Performa Trans Utama, di Nagan Raya oleh PT Kartika Bhaita, di Aceh Tengah oleh PT Rezeki Selaras Mandiri, dan di Aceh Singkil oleh PT Teguh Karya Sejati. [*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.