Sejarah yang Berulang: Aceh, Palestina, dan Pengkhianatan dalam Konteks Sejarah
![]() |
Ilustrasi. (Foto: pinterest.com). |
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Aceh dan Palestina, dua nama, dua cerita, satu jiwa. Di antara keduanya ada benang merah yang tak bisa diputus: janji yang diingkari, darah yang tumpah, dan harapan yang tak pernah padam.
koranaceh.net ‒ Sejarah sering kali menunjukkan pola yang berulang, terutama ketika membahas wilayah-wilayah yang mengalami konflik berkepanjangan dan pengkhianatan.
Dalam konteks ini, Aceh dan Palestina menjadi dua contoh yang mencolok, di mana keduanya mengalami ketidakadilan, penindasan, dan perjuangan untuk mendapatkan hak-hak mereka.
Mari kita telusuri lebih dalam mengenai tema pengkhianatan dalam konteks sejarah yang melingkupi kedua wilayah ini.
Baca Juga :
Aceh Dipersimpangan Jalan
Aceh, yang terletak di ujung pulau Sumatera, Indonesia, selama berabad-abad dikenal sebagai pusat perdagangan dan peradaban Islam. Namun, perjalanan historisnya dipenuhi dengan konflik, terutama setelah kedatangan penjajah Belanda pada abad ke-17.
Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai salah satu kesultanan terbesar di kawasan Asia Tenggara, memainkan peran penting dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan.
Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara berdaulat pertama yang mengakui kemerdekaan Belanda dari Kerajaan Spanyol pada tahun 1602.
Namun, seiring berjalannya waktu, situasi berubah drastis. Ketika Belanda yang diberi nama Hindia Belanda mulai memperluas kekuasaannya di Nusantara. Dengan bantuan anak-anak negeri jajahan‒terutama dari Jawa, Madura dan Ambon, melakukan invansi ke Aceh pada 26 Maret 1873. Menandai awal dari konflik panjang yang menyakitkan.
Aceh melawan penjajahan Belanda, yang berusaha merampas negara Aceh atau Kesultanan Aceh Darussalam yang ingin menguasai, serta mengeksploitasi sumber daya alamnya.
Pada akhir abad ke-20, gerakan Aceh Merdeka (GAM) muncul sebagai respon terhadap perlakuan pemerintah Indonesia yang dianggap menindas.
Baca Juga :
Kepentingan Politik
Proses damai yang terjadi di Helsinki pada 2005 menjadi titik penting, tetapi ada serangkaian tantangan dan ketidakpuasan yang muncul ketika berbagai pihak merasa dikhianati dalam perjanjian damai.
Aceh yang sebelumnya pernah menjalin kerjasama dengan pihak Jawa untuk melawan Belanda, menemukan dirinya terjebak dalam strategi perang yang menyimpang.
Pengkhianatan yang datang dari pihak penguasa di Jawa. Padahal Aceh telah menbantu Indonesia yang baru merdeka dengan senjata dalam peperangan Medan Area, juga berkontribusi dalam bentuk dukungan material, seperti membeli dua pesawat guna mendukung kemerdekaan Indonesia dari upaya penjajah kembali oleh Belanda.
Tapi kemudian balasannya, janji Soekarno yang hanya diketahui oleh Daud Beureueh, tidak ditepati, malah menghapus hak otonomi Aceh dan menggabungkan Aceh dalam Sumatera Utara.
Soeharto mengirim Mesin perang ke Aceh, Megawati Menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer berjilid - jilid, puluhan ribu bangsa Aceh menjadi korban dari masa DI TII sampai masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Aceh yang telah memberikan dukungan kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia, justru menjadi korban eksploitasi dan pengkhianatan.
Masyarakat Aceh terus menuntut keadilan atas kontribusi mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme. Ketidakadilan ini terlihat dari eksploitasi sumber daya alam Aceh, terutama migas dan hasil tambang, yang tak kunjung memberikan keuntungan yang adil bagi rakyat Aceh.
Rakyat Aceh merasa dikhianati setelah semua perjuangan mereka, karena hasil bumi yang melimpah tidak memberikan dampak positif bagi kesejahteraan mereka.
Kisah Aceh tidak dapat dipisahkan dari narasi perjuangan bangsa lain, seperti Palestina. Kisah Palestina menggambarkan bagaimana mereka pernah membantu Yahudi yang dikejar oleh Nazi Jerman.
Namun, setelah Perang Dunia II, situasi berbalik, dan Yahudi mendirikan negara Israel, yang mengakibatkan pengusiran dan penindasan terhadap rakyat Palestina.
Baca Juga :
Hilangkan Bukti-Bukti Sejarah, Aceh Akan Hilang Sendirinya
Kejadian ini menunjukkan betapa pahitnya pengkhianatan yang datang dari pihak-pihak yang seharusnya membalas budi baik dan memiliki rasa kemanusiaan.
Pengkhianatan sering kali menciptakan luka yang mendalam dalam sejarah suatu bangsa. Pengalaman Aceh, yang pernah berjuang berdampingan dengan Jawa melawan penjajahan, menjadi simbol dari perpecahan dan pengkhianatan yang kita saksikan dalam banyak narasi sejarah.
Demikian pula, perjuangan Palestina menunjukkan bahwa solidaritas bisa berubah menjadi tragedi ketika kepentingan politik dan kekuasaan mendominasi.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mempelajari dan memahami sejarah ini sehingga kita dapat mencegah pengulangan kesalahan yang sama di masa depan.
Palestina, di sisi lain, merupakan salah satu wilayah yang paling lama mengalami konflik di dunia. Sejak awal abad ke-20, Palestina telah menjadi medan pertempuran antara berbagai kekuatan politik.
Deklarasi Balfour pada 1917 menjadi akar konflik berkepanjangan antara bangsa Palestina dengan Yahudi.
Deklarasi Balfour berisi pernyataan dukungan pemerintah Inggris untuk mendirikan "tanah air nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman.
Surat ini hanya terdiri dari 67 kata, namun memiliki dampak besar dalam sejarah Timur Tengah karena menjadi dasar bagi pembentukan negara Israel dan memicu konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
Baca Juga :
Ketiak Ular
Deklarasi ini menjadi titik awal yang penting dalam sejarah pembentukan negara Israel, sekaligus menjadi akar konflik Israel-Palestina yang masih berlangsung hingga kini.
Deklarasi Balfour juga memicu proses pengusiran besar-besaran warga Palestina oleh kelompok bersenjata Zionis yang didukung Inggris pada masa berikutnya. Mengakibatkan terjadinya pengungsian massal warga Palestina, yang dikenal sebagai Nakba.
Palestina dikhianati oleh komunitas internasional dan negara-negara Arab sendiri, yang seharusnya melindungi hak dan tanah mereka.
Dalam konteks sejarah, kesamaan antara kedua wilayah ini‒Aceh dan Palestina‒terletak pada bagaimana pengkhianatan bisa muncul dalam bentuk perjanjian dan kesepakatan. Sering kali kesepakatan damai atau perjanjian dilanggar, menyebabkan kekecewaan dan ketidakpercayaan.
Dalam banyak kasus, pihak-pihak tertentu memberdayakan diri untuk berkolaborasi dengan penindas demi kepentingan pribadi.
Sejarah Aceh dan Palestina menunjukkan bahwa pengkhianatan, baik oleh pihak eksternal maupun internal, sering kali berkontribusi pada terjadinya konflik berkepanjangan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kedua sejarah ini adalah pentingnya komitmen terhadap keadilan, pengertian antara berbagai pihak, dan perlunya melaksanakan kesepakatan yang tulus untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Meskipun tantangan besar masih ada, harapan untuk masa depan yang lebih baik masih ada, didorong oleh suara dan perjuangan dari mereka yang terus bersuara. [*]
Tidak ada komentar