Komunitas Sisi Buku: Hidupkan Tradisi, Nyalakan Literasi
![]() |
Komunitas Sisi Buku foto usai kegiatan diskusi bertajuk "Surah Buku: Orang Aceh", pada Minggu (20/4/2025) di Pustaka Café, Gampong Beurawe, Kota Banda Aceh. (Foto: Dok. Sisi Buku). |
Mereka menyebutnya Surah Buku. Di sini, kitab yang dibaca bukan 'kuning', tapi 'putih' dengan huruf latin.
koranaceh.net
‒
Sudut kosong Pustaka Café yang berlokasi di Gampong Lambhuk, Banda Aceh,
pada Minggu (20/4/2025) sore itu, mereka sulap jadi tempat diskusi. Meski
topiknya cukup berat, hasrat menuntaskan telaah bab pertama dari buku
berjudul ‘Orang Aceh’ rupanya lebih menggoda.
Antusiasme terpancar dari raut wajah sebelas muda-mudi itu. Satu per satu peserta membacakan telaah mereka. Suasana berlangsung santai. Sesekali, celetukan guyon juga ikut nimbrung dalam percakapan.
Baca Juga :
Aceh Dipersimpangan Jalan
Memakai metode yang di beri nama “Surah Buku”, si pemantik, Agam Ramadhan dalam pengantarnya saat diskusi dimulai memaparkan bahwa metode ini adalah salah satu cara tradisional dalam mengajarkan Al-Qur'an dan kitab kuning kepada para santri di dayah-dayah Aceh. “Nah hari ini di Sisi Buku kita coba metode itu, apakah cocok atau enggak ya kan. Kita coba."
Metode ini, terangnya, melibatkan pembelajaran secara berkelompok di mana para santri mendengarkan dan menghafal apa yang dibacanya secara bertahap. Mulai dari pengenalan huruf hijaiyah, pelafalan, pengulangan hingga penghafalan.
Secara umum, lanjut Agam, metode surah biasanya dijalankan dengan cara guru (teungku) menyampaikan bacaan secara tartil. Cara tersebut sering dikombinasikan dengan metode baca dan i'rab (pemberian tanda baca dan pemahaman tata bahasa Arab) sehingga santri tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami makna dan kaidah bacaan Al-Qur'an atau kitab-kitab tertentu.
|
Maulana Ikhsan (kedua dari kiri) tengah memaparkan hasil telaahnya. Minggu (20/4/2025). (Foto: Koran Aceh/Muntaziruddin Sufiady Ridwan). |
Pembelajaran dengan model seperti ini, sambungnya, dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Selama proses itu, teungku mengawasi secara langsung agar bacaan dan hafalan santri sesuai dengan kaidah tajwid dan makharijul huruf.
“Makanya di dayah-dayah itu butuh waktu yang sangat lama untuk menamatkan satu kitab. Di dayah, keilmuannya itu lebih dalam digali. Dari satu penjelasan saja, dalam sekali pertemuan membahas kitab itu, mereka bahkan cuma bisa menghabiskan satu pasal saja. Satu pasal itu dengan poin-poinnya. Dan dijelaskan panjang lebar,” jelas Agam.
Buku ‘Orang Aceh’ atau De Atjehers sendiri aslinya merupakan kumpulan laporan dari hasil riset peneliti orientalis Belanda bernama lengkap Christiaan Snouck Hurgronje. Riset tersebut dilakukan dalam kurun waktu 7 bulan, dari Juli 1891 hingga awal Februari 1892. Sewaktu Perang Aceh-Belanda berkecamuk.
Selama berada di Bumi Serambi Mekkah, sosok berjanggut lebat dan berkening lebar itu ditugaskan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menghimpun sembari memetakan informasi tentang budaya, adat istiadat, serta nilai-nilai dari ajaran Islam yang hidup dalam setiap lapis struktur sosial orang Aceh. Setelah kembali ke Batavia (kini Jakarta), ia menerbitkan buku tersebut dalam dua jilid di tahun 1893-1894.
![]() |
Christiaan Snouck Hurgronje. (Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl). |
Berdiri sejak 2023, setiap dua minggu Komunitas Sisi Buku rutin menggelar
pertemuan untuk berdiskusi dan berbagi gagasan. Biasanya, mereka hanya
membincangkan buku-buku fiksi saja. Telaah buku non-fiksi seperti ‘Orang
Aceh’ ini menjadi yang pertama dan baru bagi mereka.
Keinginan untuk mengenalkan—dan tahu lebih baik lagi—tentang Aceh dari sudut pandang orientalis Belanda terkemuka itu jadi salah satu alasan utama mengapa karyanya dipilih. “Itulah maksudnya. Orang ni [anggota komunitas] biar tau gitu. Orang Aceh yang dilihat dan ditulis Snouck tu seperti apa,” ujar Maulana Ikhsan, salah satu pendiri komunitas ini.
Ihwal lain yang menjadi alasan buku itu dipilih mereka, menurut Ikhsan,
sebab anak muda Aceh saat ini begitu gandrung pada sejarah dari belahan
dunia lain. Mereka, kata dia, terkesan abai pada sejarah yang terhampar di
halaman rumah sendiri.
Perspektif ini diamini Rauzatul Zahra, salah satu anggota Komunitas Sisi Buku. Perempuan berasal dari dataran tinggi Gayo dan murah senyum itu mengakui bahwa kegiatan bertajuk “Surah Buku: Orang Aceh” telah memberinya sisi lain dari keadaan sosio-kultural masyarakat Aceh di masa lampau.
Baca Juga :
Jejak Menuju Perdamaian: Kisah Dibalik Lahirnya MoU Helsinki
Saat diwawancarai, jawaban-jawabannya lugas dan gesit. Lancar bak air mengalir. "Selama ini kalau bisa kita lihat tentang Aceh pasti yang didengungkan adalah hal-hal baiknya saja… Tapi ketika kita mendengar pemaparan dari teman-teman lain, ternyata Aceh punya sisi lain. Misalnya kayak ternyata dulu di Aceh itu juga ada perbudakan meskipun mayoritas masyarakatnya menganut Islam."
Membahas buku-buku seperti ‘Orang Aceh’ ini, menurut Zahra, menjadi sangat
penting. Buku bergenre non-fiksi yang termasuk dalam rumpun karya ilmiah
tersebut dapat menjadi stimulus intelektual. Ini, sambungnya, melengkapi
kesejukan jiwa yang biasa di dapat dari membaca karya-karya sastra.
Komunitas ini seakan sudah seperti rumah baginya. Sebagai anggota baru, ia
merasa diterima dan didengarkan. "Saya merasa keterbukaan dari para peserta
dan para pendiri komunitas ini sendiri di mana mereka mau merangkul dan juga
mau peduli. Sehingga teman-teman yang baru bergabung ini juga merasa ini
adalah rumahnya," kesannya.
Keterbukaan ini pula yang membuat Sisi Buku tidak kaku pada pembahasan buku
semata. Seringkali, kegiatan-kegiatan diskusi yang mereka selenggarakan bisa
melebar membahas film, bahkan anime seperti One Piece. “Selama bisa dibahas
secara positif dan memperkaya pemahaman. Apa yang enggak,” imbuh Ikhsan.
Pemuda asal Aceh Timur yang lahir 24 tahun lalu ini juga menceritakan awal mula komunitas ini terbentuk. Ia yang kala itu berstatus mahasiswa prihatin melihat rendahnya kemampuan literasi di kalangan kalangan teman-temannya.
Keprihatinannya itu menjadi bibit dari rasa resahnya. Lantas mekar dan merekah. Hingga akhirnya menjelma dalam bentuk lain yang lebih konkret. Bersama teman dekatnya bernama Khalis, mereka berdua mendirikan komunitas ini.
"Ku ceritalah sama si Syeh [panggilan Khalis] kalo aku ada keresahan ni. Aku mau bikin gerakan literasi. Gimana Syeh? Bantu aku bisa?," cerita Ikhsan. "Di jawab sama dia, 'Buat ke apa yang enggak?', gitu dia bilang. Malam itu terus kita buat. Itu keren kali si Syeh."
Munculnya gerakan-gerakan literasi kecil seperti Sisi Buku, Aceh Book
Party, dan sebelumnya Rak Baca (tempat Ikhsan pernah aktif), menjadi sinyal
positif. Baginya, hal ini adalah lampu kecil, pertanda baik bagi hadirnya
langkah-langkah serupa. “Itu yang kita perlu. Ga perlu lampu besar. Lampu
kecil itulah yang perlu, tapi jangan padam," ujarnya optimis.
Kendati begitu, tantangan tetap masih ada. Ketiadaan sekretariat untuk
bernaung secara permanen jadi salah satu masalahnya. Pertemuan yang diadakan
di kafe atau warung kopi, papar Ikhsan, acapkali menimbulkan kendala.
Terutama bagi anggota yang berstatus mahasiswa sebab keterbatasan dana.
Sempat terpikir untuk menggelar kegiatan di ruang terbuka, seperti taman kota. Tapi, itu pun terbatas oleh waktu penggunaannya. "Itulah susahnya kita disini," keluh Ikhsan.
Ke depan, komunitas ini berencana memperluas kegiatan mereka ke ranah kepenulisan. Karena bagi mereka, menulis adalah tahap lanjutan setelah mengonsumsi bacaan. Mereka tidak ingin hanya mengasah nalar kritis dan dialog yang bermakna. Mereka ingin melangkah lebih jauh lagi.
"Menulislah. Membaca tanpa menulis itu kek hambar," tukas Ikhsan. Tak berapa lama, Khalis menyapa kami. Mengabarkan kalau ia hendak pulang. [*]
Pada versi awal artikel ini yang tayang pada 26 April 2025, terdapat kekeliruan terkait lokasi kegiatan dan frasa yang menjelaskan profil narasumber. Lokasi kegiatan yang benar adalah "Gampong Lambhuk" bukan "Gampong Beurawe", dan narasumber Rauzatul Zahra yang dalam frasa sebelumnya di tulis"berdarah Gayo", kami ralat menjadi "berasal dari dataran tinggi Gayo".
Kami mohon maaf atas kekeliruan ini. (Senin, 28 April 2025).
Tidak ada komentar