Aceh Singkil dan Dua Luka Struktural yang Mendesak Disembuhkan


Dio Fmzn
*Ketua Konservasi Alam Aceh Singkil

Kedaulatan sejati hanya lahir saat rakyat jadi tuan di negerinya sendiri.

koranaceh.netAceh Singkil hari ini memikul dua luka struktural yang mendesak untuk segera disembuhkan. Luka pertama datang dari keputusan Kementerian Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau—yang secara sejarah, adat, dan persebaran penduduk merupakan bagian integral dari Aceh—sebagai wilayah administrasi Sumatera Utara.

Penetapan ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi bentuk pengabaian terhadap identitas sejarah dan hak kolektif masyarakat Aceh.

Di sisi lain, luka kedua tumbuh dari penguasaan lahan besar-besaran oleh korporasi melalui skema Hak Guna Usaha (HGU). Skema ini telah memberi jalan legal bagi perusahaan, khususnya industri sawit, untuk menguasai ratusan ribu hektare lahan—bahkan tidak jarang melewati batas konsesi resmi.


Dalam proses tersebut, masyarakat adat, petani kecil, dan pemuda lokal terpinggirkan. Mereka hanya menjadi penonton, atau bahkan korban langsung, dari operasi masif yang justru berlangsung di tanah kelahiran mereka sendiri.

Dua persoalan ini tidak terpisah, melainkan saling bertaut dalam satu struktur ketimpangan yang lebih dalam. Tidak cukup hanya melihatnya sebagai masalah administratif atau konflik lokal. Kita harus membaca keduanya sebagai cerminan dari relasi kuasa yang timpang, yang menjadikan rakyat sebagai objek, bukan subjek dari pembangunan.

Dalam kerangka filsafat sejarah Hegelian-Marxian, sejarah adalah medan konflik antara pengakuan dan penaklukan. Karl Marx menegaskan bahwa relasi manusia terhadap tanah dan alat produksi membentuk dasar dari seluruh bangunan sosial. Maka, ketika tanah dirampas, yang tercabut bukan hanya hak ekonomi, melainkan juga jati diri kolektif masyarakat.

Di tengah situasi ini, solidaritas antara DPRI, DPD, DPRA, dan DPRK dalam memperjuangkan status empat pulau patut diapresiasi. Ini menjadi sinyal awal bahwa kesadaran kolektif mulai tumbuh di tubuh legislatif Aceh.


Namun langkah tersebut tidak boleh berhenti di meja pernyataan sikap. Ia harus menjadi pintu masuk menuju perjuangan yang lebih substansial: membangun kembali kedaulatan agraria dan ekonomi rakyat Aceh.

Untuk itu, langkah awal yang krusial adalah meninjau ulang seluruh perizinan HGU di Aceh Singkil. Konflik yang berlarut antara masyarakat dan korporasi seringkali bersumber dari izin yang tumpang tindih, manipulatif, atau cacat hukum.

Tanah-tanah yang selama ini dikunci oleh kepentingan korporasi harus dibuka kembali untuk rakyat, terutama generasi muda yang banyak menganggur. Mereka bisa diorganisasi dalam skema usaha berbasis komunitas—melalui koperasi, BUMD, atau model pertanian terpadu yang adil dan berkelanjutan.

Upaya ini juga mesti ditopang oleh keberpihakan kebijakan daerah. Salah satunya adalah kehadiran peraturan yang mewajibkan perusahaan menyerap minimal 70 persen tenaga kerja lokal.

Ini bukan sekadar gagasan populis, tapi bentuk nyata dari affirmative action berbasis hak sosial. Tanah dan pulau di Aceh bukan sekadar aset yang bisa ditransaksikan dengan mudah. Ia adalah ruang hidup yang sarat nilai, memori kolektif, dan identitas sejarah. Ketika dirampas, yang hilang bukan hanya fisik, tapi juga masa depan dan harga diri rakyat.

Sayangnya, sistem adat mukim, kepemilikan komunal, dan semangat meusapat yang hidup dalam masyarakat Aceh tak pernah diakui secara serius oleh logika legal-formal seperti HGU. Justru karena itu, gerakan legislatif hari ini harus melangkah lebih jauh.

Baca Juga :

Dibutuhkan Panitia Khusus (Pansus) Agraria Aceh yang fokus menyelesaikan konflik lahan dan menyiapkan skema redistribusi yang berpihak pada rakyat. Di sisi lain, moratorium terhadap izin HGU baru di Aceh Singkil harus segera diberlakukan hingga peta adat diperbarui dan seluruh izin lama dievaluasi ulang secara menyeluruh.

Di atas semua itu, perlindungan terhadap ekonomi lokal juga harus mendapat ruang dalam kebijakan. Sudah saatnya lahir Peraturan Daerah tentang Kedaulatan Ekonomi Lokal yang mampu melindungi hak-hak pekerja, mendorong investasi yang berpihak kepada rakyat, dan menjauhkan Aceh dari cengkeraman oligarki.

Dengan demikian, perjuangan terhadap status empat pulau dan peninjauan ulang HGU bukanlah dua agenda terpisah. Keduanya bagian dari satu visi besar: menempatkan rakyat sebagai pemilik, bukan penonton di negerinya sendiri.

Jika rakyat Aceh benar-benar memiliki tanahnya, lautnya, pekerjaannya, dan seluruh kekayaan alamnya, maka Aceh akan berdiri bukan hanya sebagai daerah otonom secara administratif, tetapi sebagai tanah yang sungguh-sungguh berdaulat secara praksis. Di sanalah, sejarah akan menemukan momentumnya. [*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.