Di Rumahmu Sendiri: Diam Atau Terlupakan!

Ilustrasi. (Foto: Poetry Foundation/David Cooper).
Ilustrasi. (Foto: Poetry Foundation/David Cooper).

Tibull & Joys
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala

Hutan jadi ladang, sungai jadi limbah. Kala sawit bertumbuh dan tercabutnya akar sejarah. Lantas apa yang bisa kita lakukan?

koranaceh.netKian masifnya ruang gerak perusahaan kepala sawit di Aceh Singkil telah memberi beragam masalah. Meski dipercaya punya kontribusi positif terhadap ekonomi, belum tentu hal kontribusi yang sama juga mereka berikan kepada alam dan lingkungan sekitarnya.

Ambil contoh peristiwa yang melibatkan PT Socfindo Laebutar tahun 2018 silam. Waktu itu, sungai di Aceh Singkil tercemar akibat jebolnya kolam limbah hasil pengolahan minyak mentah kelapa sawit mereka. Teranyar, PT Ensem Lestari diduga menjadi pelakunya. Sungai Cinendang yang berada tak jauh dari lokasi perusahaan itu beroperasi jadi korbannya.

Ada juga pembukaan lahan perkebunan sawit ilegal yang perlahan menggerus kawasan suaka margasatwa Rawa Singkil. Padahal, kawasan itu berstatus wilayah hutan gambut serta menjadi rumah bagi satwa-satwa endemik.

Baca Juga :
Deforestasi Aceh Meningkat 19 Persen pada 2024, 10.610 Hektare Tutupan Hutan Hilang

Tak hanya itu, dari aspek pelaksanaan kepatuhan terhadap aturan perundang-undangan, terdapat sembilan perusahaan yang belum melaksanakan kewajiban plasma. Sembilan perusahaan itu adalah PT Perkebunan Lembah Bhakti 1; PT Perkebunan Lembah Bhakti 2; PT Runding Putra Persada; PT Singkil Sejahtera Makmur; PT Nafasindo, PT Socfindo; PT Delima Makmur; PT Ensem Lestari; dan PT Riztia Karya Mandiri. Ditambah lagi dengan soal perizinan Hak Guna Usaha (HGU), ada beberapa perusahaan yang tetap beroperasi sampai saat ini meski izinnya sudah kedaluwarsa.

Berkaca dari kejadian-kejadian di atas, maka wajar kalau masyarakat Aceh Singkil berharap persoalan ini segera tuntas. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah seolah abai dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Suara-suara miring yang tertuju kepada para pemangku kebijakan lantas jadi semakin nyaring. Spekulasi-spekulasi yang muncul pun kian liar. Ruang-ruang publik seakan penuh terisi dengan ketidakpercayaan.

Menilik jauh ke belakang, apa yang jadi soal di atas berakar pada sejarah kebijakan pembangunan Aceh. Aceh saat itu berada dimasa kepemimpinan Gubernur Prof. Dr. Ibrahim Hasan (1983–1993). Di bawah instruksi langsung Presiden Soeharto, Aceh diarahkan untuk mengembangkan sektor perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional berbasis agribisnis. Kebijakan yang dikemudian hari tidak berlebihan apabila disebut hanya menempatkan kawasan ini sebagai komoditas ekonomi semata.

Melihat peluang besar untuk menarik investasi dan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Aceh Singkil lantas ditetapkan sebagai sebagai salah satu episentrum pengembangan sawit. Namun, semangat pembangunan yang digaungkan kala itu tidak disertai dengan tata kelola yang berkeadilan dan berkelanjutan. Alih-alih memperkuat struktur ekonomi lokal dan memperhatikan kearifan ekologi, pendekatan top-down pembangunan di masa Orde Baru justru mengabaikan struktur sosial dan sejarah lokal Singkil.

Penting untuk diketahui, Singkil bukanlah wilayah yang dibangun atas dasar keagamaan, sebagaimana wilayah Aceh pada umumnya. Sejarah kebudayaan dari berbagai literatur masa kolonial Hindia-Belanda menunjukkan bahwa identitas masyarakat Singkil terbentuk dari kombinasi antara struktur material yang berbasis pada kekuatan distribusi ekonomi skala kecil-menengah lokal. Misalnya seperti perdagangan hasil hutan, rempah, karet, kopi, hingga produksi garam rumah tangga di wilayah bagian pesisir Singkil. Melalui distribusi ekonomi lokal ini, kesadaran sebagai orang Singkil lahir. Ini yang menjadi pembeda dari orang Batak, Barus, Aceh, dan Pakpak.

Singkil, sejak abad ke-7 hingga masa kolonial Hindia-Belanda, telah menunjukkan posisinya sebagai simpul dagang strategis di pantai barat Sumatera. Jalur sungai dan laut memungkinkan hasil bumi lokal dijual dan ditukar dengan komoditas lain membentuk kesadaran kolektif orang Singkil sebagai masyarakat dagang yang mandiri.

Baca Juga :
Pentingnya Penyelamatan Hutan

Hingga pada masa sekitar abad ke-16, Kerajaan Aceh memperluas dan menancapkan kekuasaan dengan menaklukan beberapa daerah yang dekat dengan wilayahnya, termasuk Aceh Singkil, hingga kemudian menunjuk raja kecil yang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh untuk mempermudah monopoli perdagangan.

Oleh karena itu, relasi Aceh Singkil dengan Aceh terjalin dari sejarah penaklukan militer dan penyebaran Islam oleh Kesultanan Aceh pada abad ke-16. Dimana ini hanya menyentuh aspek simbolik dan hegemoni administratif semata, tanpa membongkar akar sosio-ekonomi Singkil sebagai entitas yang unik. Hal serupa juga terjadi pada suku Gayo, atau yang biasa disebut ‘suke lee reutoeh’. Suku ini di-islamisasi dan kemudian bergabung dalam Kerajaan Aceh.

Sayangnya, narasi pembangunan nasional tidak pernah mengakui keunikan ini. Masuknya korporasi besar dalam sektor kelapa sawit dengan dalih “pembangunan” telah mengubah wajah Singkil secara radikal. Hutan-hutan yang dulunya menjadi sumber kehidupan masyarakat kini digantikan oleh hamparan monokultur sawit. Ketiadaan pengawasan ketat dari negara, serta relasi kuasa yang timpang antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, semakin memperburuk situasi.

Fakta bahwa banyak perusahaan sawit yang tidak menjalankan kewajiban plasma dan tetap beroperasi meski izin HGU-nya habis, serta mencemari lingkungan—seperti kasus PT Ensem Lestari dan PT Socfindo—menunjukkan betapa kuatnya pengaruh modal terhadap kebijakan negara.

Pembangunan yang hanya berlandaskan pada keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan warisan sejarah, ekologi, dan struktur sosial masyarakat lokal, hanya akan menciptakan konflik berkepanjangan.

Singkil, yang sejatinya memiliki karakter historis sebagai masyarakat dagang dengan memanfaatkan potensi lokal secara berkelanjutan, kini terperangkap dalam skema pembangunan yang eksploitatif dan mencabut akar-akar sejarahnya sendiri. Maka, sudah saatnya kita menggugat ulang paradigma pembangunan yang diterapkan selama ini. Mengembalikan narasi pembangunan kepada masyarakat lokal, bukan kepada kepentingan modal semata.

Baca Juga :
Mangrove Dan Manusia Dalam Kacamata Antropologi Ekologi

Kita menaruh harapan besar, sekaligus memberikan dukungan penuh kepada gerakan yang tumbuh dari akar rumput, baik yang dilakukan oleh masyarakat adat, mahasiswa, komunitas lokal, maupun individu-individu yang peduli akan keberlangsungan wilayah Aceh Singkil. Bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap dominasi modal dan kuasa perusahaan, tetapi juga sebuah ikhtiar kolektif untuk merebut kembali hak-hak ekologis, sosial, dan historis masyarakat Singkil yang selama ini terpinggirkan.

Sudah terlalu lama perusahaan-perusahaan besar leluasa bergerak dalam lingkar inti pemerintahan Aceh Singkil. Mereka menyusup ke dalam celah-celah kekuasaan, dan menggerus tanah serta hutan yang menjadi saksi panjang dan luasnya mozaik sejarah Aceh Singkil.

Kini saatnya gerakan rakyat menguat sebagai daya penyeimbang, dan bahkan pengarah kebijakan publik yang berpihak kepada keberlanjutan lingkungan dan identitas lokal. Hutan, sungai, dan tanah bukanlah sekadar objek ekonomi, melainkan bagian integral dari warisan budaya dan sejarah Aceh Singkil yang harus dijaga untuk generasi mendatang.

Perjuangan ini bukan hanya tentang menolak eksploitasi, tetapi tentang menegaskan kembali siapa kita sebagai orang Singkil, masyarakat yang hidup dari dan untuk tanahnya sendiri. Masyarakat yang memiliki sejarah panjang, kesadaran lokal, dan keberanian untuk mempertahankan ruang hidupnya. [*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.