Magrove Dan Manusia Dalam Kacamata Antropologi Ekologi
(Kasus Di Desa Bukit Selamat , Kecamatan Besitang, Langkat)
Oleh : Khoirunnisa
Mahasiswa Antropologi Universitas Malikussaleh
Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai kekayaan keanekaragaman
hayati baik yang berada didarat maupun laut diwilayah pesisir. Salah satu unsur
keanekaragaman hayati diwilayah pesisir adalah hutan mangrove. Dapat dilihat
dari fungsi mangrove yang sangat menunjang dalam pemenuhan kebutuhan hidup
manusia dan berfungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistem diwilayah pesisir. Dalam ekologi
mangrove memilki peran sebagai penahan abrasi, penahan angin, penahan banjir, sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau
rembesan air laut kedarat. Manfaat yang dimiliki mogrove tidak hanya terletak
pada sisi ekologi saja, namun pada sisi kimia yaitu sebagai proses daur ulang
yang menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida.
Dikutip dari laman resmi Kementrian LHK (Selasa, 03/11)
Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia. Indonesia mempunyai
luas mangrove sebesar 3.489.140,68 Ha. Dengan kata lain Indonesia mempunyai 23%
ekosistem mangrove dunia yang total luas 16.530.000 Ha. Dengan ketebalan
mangrove 100 M kearah darat dapat
mengurangi tinggi gelombang antara 13% sampai 66%. Di Indonesia memiliki 202
spesies tumbuhan mangrove, dimana 43 spesies diantaranya merupakan mangrove
sejati (Noor et al. 1999).
Selain itu
mangrove juga bermanfaat sebagai tempat berlindung, bersarang serta berkembang biak
bagi satwa lainnya, sebagai habitat alami dari berbagai jenis biota darat
maupun biota yang dilaut. Dari segi ekonomi mangrove dimanfaatkan sebagai
penyedia alat keperluan rumahtangga seperti bahan bangunan, kayu bakar dan
sebagai pertambakan. Fungsi mangrove bagi manusia tidak hanya terlepas sampai
disitu, ia juga berperan penting dalam keperluan industri ; misalnya sebagai
bahan baku kertas, bahan baku penyamak kulit dan juga sebagai bahan baku kayu
lapis (Noor et al, 2006).
Ekosistem hutan mangrove merupakan suatu ekosisitem yang
tumbuh digaris pantai tropika dan subtropika yang berfungsi pada elemen
ekologi, biologi, ekonomi dan sosial budaya manusia. Namun keberadaan mogrove
semakin berkurang akibat adanya pemanfaatan dan pelestarian yang kurang tepat.
Permasalahan yang perlu dikaji adalah
adanya penurunan jenis dari mangrove tersebut diakibatkan penyalah gunaan
mangrove pada fungsinya. Manusia adalah element terpenting yang menjadi
pelaksana adanya pelestarian dan penjagaan terhadap lingkungan. Jika dilihat
dari konsep antropologi ekologi dijelaskan bahwa dari pernyataan Julian Steward didalam The Routledge Encyclopedia of Social
and Cultural Antropology yaitu fokus antropologi ekologi adalah terhadap hubungan-hubungan
yang kompleks antara manusia dengan lingkungannya.
Manusia tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya proses
timbal balik, sebab kehidupan manusia tidak dapat berdiri diluar lingkungan
hidupnya. Besar maupun kecil setiap
tindakan baik positif maupun negatif tindakan manusia terhadap lingkungannya
tetap akan mengalami dampak. Benturan antara kebutuhan manusia berbanding
terbalik dengan pemanfaatan sumber daya lingkungan yang ada. Manusia lebih condong pada keutungan yang
didapatkan saja tanpa memperhatikan dampak yang diberikan terhadap
lingkungannya. Pemnafaatan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat
menurunkan mutu lingkungan dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan pada
ekosistem wilayah pesisir yang bersangkutan.
Pemanfaatan terhadap mangrove yang dilakukan haruslah
seacara bijak dengan sesuai kebutuhan. Oleh
karena itu diperlukan pengetahuan pada manusia itu sendiri. Dari pengetahuan
tersebut manusia mampu menjadikan itu sebagai petunjuk dalam bertindak khusunya
pada penggunaan dan pelestarian mangrove. Pengetahuan dapat diperoleh dari
hubungan langsung dengan lingkungan alam itu sendiri maupun kontak dengan
individu-individu disekitarnya berupa informasi yang disampaikan melalui
symbol, baik lisan maupun tertulis yang berisi kategori-kategori,
strategi-strategi untuk berhadapan dengan lingkungan tertentu atau memanfaatkannya
(Ahimsa-Putra 1986).
Perilaku penjagaan terhadap lingkungan khusunya mangrove yang
dapat kita contoh yaitu dari seorang
berasal dari Desa Bukit Selamat Kecamatan Besitang, Langkat. Desa yang berada
pada 6 m diatas Permukaan Laut ini memiliki resiko banjir yang sangat tinggi.
Menurut keterangan Pak Sabriani atau lebih akrabnya Pak Ben, seorang warga
tamatan SD, beliau mengungkapkan masyarakat
yang tinggal didaerah pinggiran laut atau paloh
tidak memperdulikan hutan malah menggantinya menjadi perkebunan sawit. Jadi pak
Ben dengan inisiatif dengan membawa anak-anknya untuk menanam bakau.
“Awalnya yang saya lakukan banyak di ejek karena disangka
kurang kerjaan. Dianggap apa yang saya tanam percuma karena akan terbawa ombak.
Kemudian LSM melihat kegiatan saya,
mereka tertarik” Ungkap Pak Ben.
Sampai akhirnya beliau dibawa pelatihan konservasi ke
Bandung. Itu terjadi tahun 2005 dan sampai tahun 2020 sudah ada 23 Ha Mangrove
yang ditanam pak Ben sendiri yang memiliki masa penanaman mangrove sampai
mencapai memiliki tinggi berkisar 6 meter membutuhkan waktu sekitar 9 tahun
lamanya. Masyarakat yang umunya berprofesi sebagai nelayan dan sebagai
perkebunan sawit ikut serta juga dalam memanfaatkan magrove. Namun masyarakat
diluar sana malah menfaatkan kayu
magrove untuk pengusaha atau pengerajin
arang. Dan dari ungkapan beliau dapat disimpulakan adanya ketidak sadaran
terhdap dampak penggunaan mangrove yang tidak sesuai dengan kebutuhna akan mengalami
erosi pada masa yang akan mendatang.
Sekiranya dengan tulisan ini mampu memberikan pengetahuan
dan dorongan terhadap masyarakat di seluruh Indonesia untuk membuat hubungan
baik antara manusia dengan lingkungan. Khususnya hubungan manusia dengan mangrove,
sebab apapun yang kita lakukan dihari ini maka kelak kita akan menuai hasil
dari apa yang kita lakukan. Tetaplah menjaga alam untuk generasi baik untuk
anak cucu bangsa ini kelak.[]
Tidak ada komentar