Lumbung Penuh, Sawah Kering: Ironi Dana Bank Aceh
Daftar Isi
Penulis:
Hamdan Budiman | Pemred Koran Aceh.
Ketika Rp 7 triliun lebih dana rakyat Aceh diparkir di luar daerah, sementara UMKM lokal hanya kebagian remah. Qanun syariah tinggal slogan, pembangunan ekonomi tinggal wacana.
koranaceh.net
| Banda Aceh ‒
Bank Aceh hari ini ibarat lumbung penuh, tapi sawah di sekitarnya kering.
Sepanjang 2024, Rp 8,08 triliun dana masyarakat Aceh ditempatkan di luar
daerah. Dari jumlah itu, Rp 7,05 triliun masuk ke obligasi dan deposito,
bahkan sebagian mengalir ke perusahaan besar nasional yang tak ada kaitannya
dengan rakyat Aceh. Padahal, menurut BI/OJK, cadangan sehat hanya Rp 2,6 –
Rp4 triliun. Artinya, Bank Aceh menimbun berlebihan.
Ironisnya, di sisi lain Bank Aceh gagal memenuhi amanah Qanun LKS yang
mewajibkan 40 persen pembiayaan untuk UMKM. Realisasi 2024 hanya 12,7
persen, dan lebih dari separuhnya bersumber dari Kredit Usaha Rakyat (KUR)
yang disubsidi APBN. Sementara itu, kredit konsumtif untuk ASN justru tetap
lancar tanpa kendala.
Pilihan ini jelas menguntungkan bank. Dengan imbal hasil 6 persen dari
obligasi, Bank Aceh bisa meraup Rp 420 miliar, hampir setara dengan laba
bersih 2024. Namun, keuntungan itu datang dengan harga mahal: pengkhianatan
pada amanah. Bank milik rakyat semestinya menggerakkan ekonomi Aceh, bukan
sekadar menimbun uang di portofolio aman di luar daerah.
Baca Juga:
Lumbung Bank Aceh memang penuh, tapi sawah rakyat tetap kering. Pertanyaan
reflektif pun muncul: untuk siapa Bank Aceh berdiri? Untuk siapa dana itu
diputar? Dan untuk siapa keuntungan itu dicatat? Rakyat Aceh berhak menagih
jawaban—sebab uang yang dititipkan bukan untuk ditimbun, melainkan untuk
ditanam di tanah sendiri.
Bayangkan seorang petani baru selesai panen. Sebagian hasilnya tentu
disimpan di lumbung untuk cadangan, itu wajar. Tetapi, bila Rp 8 dari setiap
Rp 10 karung beras hanya ditimbun, sementara tetangga, keluarga, dan
masyarakat sekitar kelaparan serta tak punya bibit untuk musim tanam
berikutnya, apa jadinya? Petani itu gagal menjalankan perannya sebagai
sumber kehidupan, meski lumbungnya penuh.
Analogi sederhana ini pas menggambarkan wajah Bank Aceh hari ini. Bank yang
lahir dari amanah rakyat, milik pemerintah daerah, dan diikat oleh Qanun
Syariah untuk menjadi motor pembangunan ekonomi Aceh, justru lebih sibuk
menumpuk dana di luar tanah kelahirannya.
Dana Rakyat, Parkir di Luar Tanah Sendiri
Sepanjang 2024, Bank Aceh menempatkan Rp 8,08 triliun dana di luar Aceh.
Dari jumlah itu, Rp 7,05 triliun masuk ke berbagai surat berharga: sukuk
negara, obligasi swasta, hingga deposito di bank-bank lain. Bahkan sebagian
mengalir ke perusahaan besar seperti PT Indah Kiat Pulp &
Paper—perusahaan yang pernah dilaporkan Walhi mencemari lingkungan di
Riau.
Padahal, total Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Aceh hanya Rp 26,2 triliun.
Secara regulasi, cadangan wajar menurut BI/OJK hanya 10–15 persen atau Rp
2,6 – Rp 4 triliun. Faktanya, Bank Aceh "menyimpan" hampir dua kali lipat
angka sehat itu.
Alasan "likuiditas" jelas tidak lagi memadai. Sebab di luar Giro Wajib
Minimum (Rp 1,3 – Rp 1,7 triliun), penempatan dana Rp 7 triliun lebih
hanyalah pilihan manajemen—bukan kewajiban. Pilihan yang berimplikasi
langsung: uang rakyat Aceh lebih banyak berputar untuk menghidupi korporasi
nasional ketimbang membangkitkan ekonomi rakyat Aceh sendiri.
Mengabaikan UMKM, Tulang Punggung Ekonomi
Ironisnya, di sisi lain Bank Aceh gagal menunaikan kewajiban utama:
pembiayaan UMKM. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 jelas mewajibkan pembiayaan minimal 40
persen untuk UMKM sejak 2022. Tapi realisasinya?
Tahun 2021, hanya 7,59 persen. Tahun 2022 sebesar 9,39 persen. Berikutnya
di tahun 2023 tercatat sebesar 11,11 persen. Terakhir, di 2024 adalah
sebesar 12,7 persen (lebih dari setengahnya pun hanya KUR, subsidi bunga
dari APBN, bukan inisiatif Bank Aceh sendiri).
Artinya, sejak bank-bank konvensional hengkang karena Qanun LKS, Bank Aceh
(bersama BSI) memegang kendali penuh. Namun alih-alih menjadi motor ekonomi
rakyat, ia memilih jalan aman: lebih gencar kredit konsumtif untuk PNS,
ketimbang mendorong pembiayaan produktif bagi UMKM.
Godaan Imbal Hasil: Laba atau Amanah?
Mengapa dana diparkir di SBN atau obligasi swasta? Sederhana: imbal hasil
aman 6 persen. Dari Rp 7 triliun saja, Bank Aceh bisa meraup Rp 420
miliar—hampir setara dengan laba bersih 2024 sebesar Rp 443 miliar. Dengan
strategi ini, manajemen bisa "ongkang-ongkang kaki" menikmati laba, tanpa
repot mengurusi risiko kredit macet UMKM.
Tetapi, Bank Aceh bukan perusahaan swasta biasa. Ia bank milik rakyat,
dibentuk dengan amanah syariah dan mandat pembangunan daerah. Laba bukanlah
tujuan utama, melainkan sarana. Bila demi mengejar angka laba lantas amanah
pembangunan dikhianati, maka Bank Aceh sekadar jadi lumbung penuh yang
membiarkan sawah di sekelilingnya kering kerontang.
Baca Juga:
Situasi ini kian relevan setelah OJK menerbitkan POJK No. 18/2025 tentang
Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. Aturan ini mewajibkan bank
menyajikan laporan keuangan, eksposur risiko, hingga fakta material secara
terbuka. Bahkan ada kewajiban sertifikasi akuntan dan pengawasan ketat
direksi serta dewan pengawas syariah.
Jika aturan ini berlaku penuh pada Februari 2026, publik Aceh berhak
meminta pertanggungjawaban Bank Aceh: mengapa dana rakyat justru lebih
banyak menghidupi Jakarta ketimbang kampung halaman? Transparansi bukan
sekadar angka, tapi soal kejujuran pada amanah.
Belajar dari Pusat: Uang Harus Diputar, Bukan Diparkir
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pernah menarik Rp 200 triliun
cadangan bank di BI untuk diputar sebagai pembiayaan sektor riil. Logikanya
jelas: uang yang berputar menciptakan ekonomi, sementara uang yang parkir
hanya mengendap.
Prinsip ini seharusnya menampar kesadaran Bank Aceh. Rakyat menitipkan
uangnya agar diputar kembali menjadi modal usaha, bukan diparkir di obligasi
perusahaan jauh di luar Aceh.
Bank Aceh lahir dari keringat rakyat Aceh. Dari petani di Pidie, nelayan di
Aceh Timur, pedagang kecil di Lhokseumawe, hingga ASN yang tiap bulan
gajinya dipotong. Dana itu harus kembali ke rakyat, terutama UMKM yang
menopang lebih dari 90 persen lapangan kerja di Aceh.
Menaruh cadangan itu penting. Tapi menaruh berlebihan sama dengan
mengkhianati amanah. Yang dibutuhkan Aceh bukan bank yang lihai bermain aman di instrumen
investasi, tapi bank yang berani memutar uang di tanah sendiri.
Jika hari ini Bank Aceh lebih memilih parkir dana di luar, sementara UMKM
dibiarkan merangkak, maka rakyat Aceh benar-benar dikianti luar dalam.
Ditipu oleh jargon syariah, ditinggalkan oleh fungsi sosial, dan dikorbankan
demi imbal hasil jangka pendek.
Sudah saatnya DPR Aceh, ulama, akademisi, dan masyarakat menuntut
pertanggungjawaban. Qanun bukan hiasan, tapi amanah. Dan amanah itu jelas:
uang rakyat Aceh harus kembali menghidupi rakyat Aceh.
❖