OJK Seperti Tak Ada
Daftar Isi
Penulis:
Hamdan Budiman | Pemred Koran Aceh.
Aceh tidak butuh OJK yang hanya hadir di ruang rapat dan seremoni. Aceh butuh OJK yang hadir di lapangan—yang berani menegur, membuka data, dan memastikan bahwa uang rakyat Aceh benar-benar kembali ke tangan rakyat Aceh.
koranaceh.net | Editorial ‒
Kecuali ketika menggelar
fit and proper test—uji kelayakan dan kepatutan—untuk Direktur Utama Bank Aceh. Selebihnya kita
jarang, bahkan hampir tak pernah, mendengar kiprah nyata Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) di Aceh. Seolah lembaga yang mestinya menjadi pengawas dan penjaga moral
sektor keuangan ini hanya hidup dalam protokol dan surat keputusan, bukan di
tengah denyut ekonomi rakyat.
Padahal, banyak yang layak dipertanyakan. Ketika
Bank Aceh Syariah
memarkir dana masyarakat Aceh sebesar Rp 8 triliun di Sertifikat Bank
Indonesia (SBI)—alih-alih menyalurkannya untuk pembiayaan produktif bagi usaha rakyat—OJK
diam seribu bahasa. Tak ada teguran, tak ada sikap. Padahal Qanun Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) sudah mengamanatkan agar Bank Aceh menyalurkan pembiayaan kepada
masyarakat, khususnya UMKM dan sektor riil di Aceh.
Baca Juga:
Ironisnya, meski berlabel “syariah”, praktik Bank Aceh masih menyerupai sistem
konvensional—lebih banyak bermain dalam ruang simpanan dan bunga, ketimbang
memberdayakan ekonomi rakyat. Bank Syariah, tapi masih berpikir seperti bank
kapitalis.
Di sisi lain,
OJK Aceh
juga dinilai tertutup dan tidak kooperatif dalam memberikan data penting bagi
publik. Contoh paling nyata: ketika redaksi KBA.ONE mengajukan
permintaan data kredit macet UMKM dan sektor pertanian, peternakan, serta
perikanan sejak 12 Agustus 2025, hingga pertengahan Oktober 2025—lebih dari
dua bulan kemudian—OJK Aceh belum juga memberi jawaban resmi.
Padahal, data itu dibutuhkan untuk mengawal implementasi kebijakan nasional:
pemutihan kredit macet bagi pelaku usaha terdampak pandemi, konflik, dan
bencana, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024. Presiden Prabowo Subianto bahkan telah menegaskan bahwa program ini
disiapkan untuk menghidupkan kembali 1,09 juta pelaku usaha, dengan total
anggaran sekitar Rp 14 triliun.
Namun di Aceh, kebijakan itu seperti tak pernah tiba. Banyak pelaku usaha
kecil yang seharusnya bisa bernapas lega dari beban kredit, justru tak
tersentuh sama sekali. Dan salah satu penyebab utamanya: tertutupnya OJK Aceh.
Ketika dikonfirmasi media pada 15 Oktober 2025, Kepala OJK Perwakilan Aceh,
Daddy Peryoga, tidak memberikan respons. Pesan yang dikirimkan hanya berbalas
tanda centang satu di WhatsApp. Sementara Humas OJK Aceh, Iskandar, beralasan
bahwa permintaan data masih perlu koordinasi dengan pusat. Dua bulan berlalu,
hasilnya tetap nihil—tak ada tindak lanjut, tak ada kejelasan, seperti dikutip
dari laporan
kabaraktual.id.
Baca Juga:
Sikap ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU ini menegaskan bahwa lembaga publik
wajib memberikan data kepada masyarakat. Komisi Informasi Aceh (KIA) bahkan menyatakan permohonan data oleh KBA.ONE telah memenuhi unsur
sengketa informasi, dan bisa digugat secara hukum jika OJK tetap menutup diri.
Di sinilah letak persoalan mendasar: OJK di Aceh tampak seperti lembaga tanpa
wajah. Tidak transparan, tidak komunikatif, dan nyaris tanpa arah dalam
memastikan perbankan daerah berjalan sesuai fungsi sosialnya. Ia ada secara
administratif, tapi absen secara moral dan substantif.
Akibatnya, kebijakan strategis pemerintah pusat yang seharusnya memulihkan
dunia usaha di Aceh tidak berjalan. Para pelaku UMKM tetap terjerat utang,
sektor riil tak bergerak, dan dana triliunan rupiah mengendap di instrumen
finansial yang jauh dari kebutuhan rakyat.
Jika lembaga pengawas menjadi lembaga pembisu, siapa lagi yang menjaga agar
bank tak berubah menjadi menara gading di atas penderitaan ekonomi rakyatnya
sendiri?
Aceh tidak butuh OJK yang hanya hadir di ruang rapat dan seremoni. Aceh butuh
OJK yang hadir di lapangan—yang berani menegur, membuka data, dan memastikan
bahwa uang rakyat Aceh benar-benar kembali ke tangan rakyat Aceh.
❖