Ketika Aceh Membuka Wajah: Modernitas, Luka, dan Identitas

Daftar Isi
Hamdan Budiman, Pemred Koran Aceh

Penulis:

Hamdan Budiman | Pemred Koran Aceh.

Lima puluh tahun kemudian, banyak hal telah berubah. Jalan-jalan beraspal menembus perbukitan, televisi dan internet menjangkau pelosok, dan Banda Aceh tumbuh menjadi kota yang sibuk. Tapi pertanyaan dari tahun 1972 itu tetap menggantung di udara: bagaimana Aceh menatap dunia tanpa kehilangan cermin di hadapannya?
koranaceh.net | Editorial ‒ Ada semacam kesunyian yang bergetar di antara kalimat-kalimat tua dalam arsip Tempo tahun 1972 itu. Di sana, Aceh tampak seperti seseorang yang sedang bercermin: ingin menata rambutnya agar tampak modern, tapi takut kehilangan wajah aslinya sendiri.

“Turis boleh datang ke Aceh tanpa kain sarung atau kopiah,” ujar seorang pejabat dengan nada berseloroh. Kalimat itu mungkin terdengar ringan, tapi di dalamnya tersimpan pergulatan batin yang dalam. Aceh sedang belajar berbicara kepada dunia luar—dengan logatnya sendiri, dengan hati-hati, seolah takut salah ucap.



Pada masa itu, Pekan Kebudayaan Aceh ke-II berlangsung di Banda Aceh. Dua minggu penuh tarian, musik, dan seminar—suatu upaya untuk memperkenalkan wajah Aceh yang “sebenarnya.” Tapi justru di situlah pertanyaan-pertanyaan lama menyeruak: wajah mana yang sebenarnya dimaksud? Yang religius dan bersarung, atau yang ingin menatap dunia dengan pakaian masa kini?

Gubernur Muzakkir Walad berujar lirih namun tegas: “Akulturasi di Aceh amat lambat.” Ia tahu, setiap budaya yang menutup diri akan membeku, namun setiap keterbukaan pun mengandung risiko kehilangan. Maka, seminar kebudayaan di sela festival itu menjadi ruang renung: sejauh mana Aceh dapat menerima yang baru tanpa menolak dirinya sendiri?

Dari seminar itu, terungkap wajah Aceh yang penuh paradoks. A. Hasjmy menyebut “ethos perang sabil” sebagai akar kepribadian rakyat Aceh—warisan dari sejarah panjang perlawanan dan kehilangan. Dari sanalah lahir keberanian, tapi juga rasa curiga yang melekat seperti bayangan. Dalam istilah sekarang, mungkin bisa disebut post-traumatic identity—identitas yang tumbuh dari luka.



Profesor A. Madjid Ibrahim menambahkan kegelisahan lain: pendidikan. Di madrasah-madrasah, anak-anak diajarkan ilmu agama, tapi sering kali terputus dari dunia kerja dan ilmu modern. “Kita harus membangun sistem yang mempersatukan ilmu dan iman,” katanya waktu itu. Sebuah seruan yang masih terasa sahih hingga kini, di tengah maraknya sekolah dan universitas yang sering kehilangan ruh.

Lima puluh tahun kemudian, banyak hal telah berubah. Jalan-jalan beraspal menembus perbukitan, televisi dan internet menjangkau pelosok, dan Banda Aceh tumbuh menjadi kota yang sibuk. Tapi pertanyaan dari tahun 1972 itu tetap menggantung di udara: bagaimana Aceh menatap dunia tanpa kehilangan cermin di hadapannya?

Modernisasi bukan sekadar soal listrik, beton, dan industri. Ia juga soal keberanian memaknai ulang nilai lama agar tetap hidup di zaman baru. Dalam arti itu, arsip Tempo 1972 bukan hanya dokumen masa lalu—melainkan sebuah doa agar Aceh selalu menemukan dirinya di setiap perubahan.