Ketika Dana Hibah Jadi Ujian Akidah Politik: Retaknya Solidaritas di Tubuh PAS

Daftar Isi

Penulis:

Hamdan Budiman | Pemred Koran Aceh.

Banyak kapal karam bukan karena badai dari luar, tapi karena kebocoran dari dalam.” Dan kini, kebocoran itu tampaknya mulai menenggelamkan kapal besar bernama Partai Adil Sejahtera Aceh.
koranaceh.net | Editorial ‒ Pasca turunnya dana bantuan keuangan dari Pemerintah Aceh, konflik internal di tubuh Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS) kian meruncing. Partai yang dikenal berbasis Dayah ini tengah diguncang perdebatan keras terkait pembagian dana hibah yang mencapai Rp1.475.160.000,00, hasil dari raihan 4 kursi legislatif dan 147.516 suara pada Pemilu terakhir.

Informasi dari salah seorang pengurus inti yang juga tercatat sebagai salah satu pendiri partai menyebutkan, riuh perdebatan kini berpusat di grup WhatsApp internal. Tema besarnya satu: keadilan dan transparansi pembagian dana bantuan. “Jangan seperti dana kontribusi calon gubernur Bustami Hamzah (Om Bus) dulu, lebih dari satu miliar, tapi tidak jelas pembagiannya. Kali ini, dana hibah harus dibagi secara transparan dan adil bagi semua wilayah,” ujarnya dengan nada tegas.


Baca Juga:

Pernyataan ini seolah membuka kembali luka lama di internal PAS. Ketegangan soal pengelolaan dana partai bukan hal baru, namun kali ini muncul di tengah situasi partai yang belum sepenuhnya stabil setelah wafatnya Waled Nura, Sekretaris Dewan Mustasyar, keseimbangan kepemimpinan di tubuh PAS tampak rapuh.

Kini, partai yang didirikan atas semangat dakwah politik Abu Mudi itu dipimpin oleh Abi Hidayat sebagai Ketua Dewan Mustasyar dan Tu Bulqaini sebagai Ketua Dewan Tanfidz. Namun, sejumlah Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) menilai kepemimpinan pusat harus segera menggelar Musyawarah Akbar (Mubar) untuk memilih pengurus definitif. “Kondisi sekarang sudah tidak kondusif. Perlu ada kejelasan arah dan struktur agar partai ini tidak terus terjebak dalam konflik dana dan kepentingan kelompok,” ujar salah satu Ketua DPW yang meminta namanya dirahasiakan.

Para pengurus wilayah menuntut agar DPP PAS membuka secara terang benderang penggunaan dana hibah tersebut—termasuk alokasi untuk operasional partai, kegiatan dakwah politik, serta kontribusi bagi struktur di tingkat kabupaten dan kota. Mereka juga menyoroti praktik “sentralisasi keuangan” di tangan segelintir pengurus pusat yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip musyawarah dan keadilan sosial yang selama ini menjadi ruh partai.


Baca Juga:

Bagi sebagian kader muda, situasi ini menunjukkan adanya jarak antara idealisme dakwah yang dulu menjadi spirit lahirnya PAS dengan praktik kekuasaan yang kini terjadi di internal partai. “PAS lahir dari semangat keumatan, tapi kini kita sibuk dengan pembagian dana. Ini ironis,” tulis seorang kader di grup internal yang bocor ke publik.

Jika konflik ini tidak segera diselesaikan melalui mekanisme organisasi yang sah, Partai Adil Sejahtera Aceh berpotensi kehilangan soliditas menjelang Pilkada mendatang. Padahal, dengan basis ideologis yang kuat dan jaringan dayah yang luas, PAS sejatinya memiliki modal sosial yang besar untuk menjadi kekuatan politik alternatif di Aceh.

Namun sebagaimana pepatah, “Banyak kapal karam bukan karena badai dari luar, tapi karena kebocoran dari dalam.” Dan kini, kebocoran itu tampaknya mulai menenggelamkan kapal besar bernama Partai Adil Sejahtera Aceh.