Manajemen Bank Aceh Syariah Harus Transparan Soal Penempatan Dana Rakyat
Daftar Isi
![]() |
Ilustrasi. (Foto: Gambar dibuat dengan AI/koranaceh.net). |
Praktik penempatan dana dalam jumlah besar di Bank Indonesia tanpa kejelasan disebut sebagai tindakan yang “tidak adil” terhadap masyarakat Aceh. “Ini bisa disebut praktik dzalim manajemen BAS—memanfaatkan uang rakyat untuk keuntungan sendiri, tanpa transparansi dan tanpa kontribusi langsung terhadap ekonomi daerah,” jelas Dr. Taufiq A Rahim
koranaceh.net | Banda Aceh – Manajemen Bank Aceh Syariah (BAS) diminta untuk bersikap transparan terkait penempatan dana masyarakat Aceh, terutama yang disimpan pada Bank Indonesia (BI) dalam bentuk instrumen keuangan. Keterbukaan ini dianggap penting sebagai bagian dari tanggung jawab publik atas pengelolaan dana yang sejatinya milik rakyat Aceh.
Penempatan dana BAS pada Bank Sentral perlu dijelaskan secara terbuka, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga pengawas, karena menyangkut kepentingan publik. “Uang yang berada di Bank Aceh Syariah merupakan uang simpanan masyarakat Aceh. Jadi harus jelas bagaimana dan untuk apa dana itu dipergunakan,” ujar Dr. Taufiq A. Rahim, pengamat ekonomi Aceh kepada koranaceh.net, Jum’at (17/10/2025).
Baca Juga:
Menurutnya, dana publik yang dikelola BAS tidak seharusnya hanya menjadi alat bagi manajemen untuk mengejar keuntungan melalui praktik penempatan dana di BI atau bank lain, melainkan harus menjadi motor penggerak perekonomian Aceh. “Manajemen BAS memiliki tanggung jawab moral dan sosial agar dana rakyat ini kembali ke rakyat—dalam bentuk pembiayaan, pemberdayaan, dan aktivitas ekonomi produktif masyarakat Aceh,” tambahnya.
Dia menilai bahwa kebijakan penempatan dana dalam jumlah besar di Bank Indonesia tanpa penjelasan terbuka menunjukkan lemahnya prinsip keterbukaan informasi publik. Padahal, keterbukaan menjadi keharusan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Alasan administratif atau rahasia bank tidak bisa dijadikan tameng untuk menutup informasi tentang uang publik. BAS bukan lembaga pribadi, tetapi lembaga yang mengelola dana rakyat,” ujarnya.
Sebelumnya, laporan tahunan Bank Aceh Syariah menunjukkan bahwa sebagian besar dana masyarakat ditempatkan di instrumen keuangan di luar Aceh, termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kondisi ini dinilai ironis karena dana tersebut seharusnya bisa menjadi stimulus bagi sektor riil dan usaha kecil menengah di Aceh, bukan sekadar menjadi 'idle money' di sistem moneter nasional.
Praktik penempatan dana dalam jumlah besar di Bank Indonesia tanpa kejelasan disebut sebagai tindakan yang “tidak adil” terhadap masyarakat Aceh. “Ini bisa disebut praktik dzalim manajemen BAS—memanfaatkan uang rakyat untuk keuntungan sendiri, tanpa transparansi dan tanpa kontribusi langsung terhadap ekonomi daerah,” jelas Dr. Taufiq A Rahim
Baca Juga:
Ia mendesak agar manajemen Bank Aceh Syariah membuka secara terang-benderang berapa besar dana yang ditempatkan di Bank Indonesia, bagaimana mekanisme penempatannya, serta apa dampak ekonominya bagi masyarakat Aceh. “Uang itu bukan milik direksi, bukan milik komisaris, melainkan milik rakyat Aceh. Maka kejelasan pengelolaannya adalah bentuk akuntabilitas,” tegasnya.
Desakan transparansi ini juga sejalan dengan semangat Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Aceh yang mengamanatkan agar perbankan syariah di daerah menyalurkan dana untuk kegiatan produktif masyarakat Aceh. Kebijakan yang hanya berorientasi pada keuntungan finansial tanpa dampak sosial ekonomi dianggap bertentangan dengan prinsip syariah itu sendiri.
“Syariah bukan sekadar label. Ia menuntut keadilan, keterbukaan, dan manfaat bagi umat. Maka, BAS harus memastikan uang rakyat bekerja untuk rakyat,” tutup akademisi Universitas Muhammadyah Aceh itu.