Uang Ada, Keberanian Tidak: Catatan untuk Para Pemburu Investor

Daftar Isi

Penulis:

Hamdan Budiman | Pemred Koran Aceh.

Logika Purbaya terasa masuk akal. Mengapa mencari uang jauh ke luar negeri, bila uang rakyat sendiri tertidur di bank, diam, beku, dan tak berdaya?
koranaceh.net | Editorial ‒ Ada kalimat sederhana tapi mengguncang yang keluar dari mulut Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa: “Investor asing datang ke Indonesia bukan untuk membangun negeri ini, tapi untuk mencari untung.”

Ucapan itu terdengar seperti tamparan di tengah euforia “menjemput investor” yang telah menjadi mantra para pejabat dari Sabang sampai Merauke. Di Aceh, Gubernur bahkan harus terbang jauh—dari Tiongkok hingga Saudi Arabia—demi mencari investasi di bidang peternakan ayam petelur. Ironisnya, pada saat yang sama, Bank Aceh Syariah memarkir dana hampir Rp 8 triliun di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), hanya untuk menunggu margin keuntungan.


Baca Juga:


Logika Purbaya terasa masuk akal. Mengapa mencari uang jauh ke luar negeri, bila uang rakyat sendiri tertidur di bank, diam, beku, dan tak berdaya?

Selama puluhan tahun, elite ekonomi Indonesia menjadikan “mendatangkan investor asing” sebagai tanda keberhasilan pembangunan. Seolah-olah, tanpa modal luar negeri, bangsa ini akan lumpuh. Padahal, sebagaimana diingatkan Purbaya, investor tidak pernah datang untuk menolong, melainkan untuk mengambil bagian dari kue yang ada—sebesar mungkin.

Sejarah membuktikan. Dari PT. Arun, Exxon Mobil, sampai Freeport di Papua, bahkan hingga industri sawit di Kalimantan, keuntungan besar mengalir ke luar negeri sementara rakyat di sekitar tambang atau perkebunan tetap miskin. Investasi asing datang dengan bendera pembangunan, tapi meninggalkan jejak panjang ketimpangan dan kerusakan alam.

Di sinilah Purbaya membalik logika lama: bahwa pembangunan bukanlah upacara mengundang tamu, melainkan keberanian menata rumah sendiri.

Kisah Aceh memberi contoh nyata. Dengan dana daerah yang besar dan tabungan rakyat yang melimpah, Aceh seharusnya tidak perlu mengemis investasi untuk sektor kecil seperti peternakan telur. Rp 8 triliun di Bank Aceh Syariah cukup untuk membangun tidak hanya kandang ayam, tapi juga pembangkit listrik geothermal Seulawah yang sudah bertahun-tahun mangkrak karena alasan “kekurangan investor”.

Di sinilah paradoks pembangunan kita: uang ada, tapi keberanian tidak. Purbaya tidak sedang menolak dunia luar, tetapi sedang menegaskan kedaulatan logika—bahwa bangsa besar seharusnya tidak hidup dari rasa inferior pada modal asing.

Pada 1990-an, seorang tamu Jerman pernah berkata kepada Presiden Habibie: “Jika Indonesia ingin menjadi negara besar, embargo saja dirinya dari luar. Indonesia punya semua yang dibutuhkan dunia, sedangkan dunia tidak punya apa yang dimiliki Indonesia.”

Kata-kata itu kini terdengar seperti gema lama yang disambut kembali oleh Purbaya. Ia mengingatkan kita bahwa modal sejati bangsa ini bukanlah uang asing, melainkan gotong royong, koperasi, dan kerja sama rakyat kecil. Itulah sumber energi sosial yang dulu menggerakkan republik ini—jauh sebelum kata “investor” menjadi mantra sakral.


Baca Juga:

Pernyataan Purbaya membangunkan kesadaran lama: bahwa kemandirian ekonomi bukan retorika, melainkan keharusan moral. Indonesia harus menjadi tuan di rumah sendiri, bukan sekadar penjaga pintu bagi modal asing.

Karena sejatinya, yang paling berbahaya bukan investor asing yang datang, melainkan mental pejabat yang senang dijajah—yang menjual kedaulatan dengan tiket perjalanan dan foto bersama di luar negeri.

Bangsa ini pernah berdiri dari semangat berdikari. Kita punya tanah yang subur, laut yang luas, tenaga muda yang cerdas. Bila semua itu diikat oleh niat yang jujur, kita tak perlu menunggu “modal asing” untuk membangun kandang ayam, menyalakan listrik, atau membangkitkan martabat.

Seperti kata Purbaya—dan mungkin juga kata hati rakyat. Sudah saatnya Indonesia berhenti menjadi panggung bagi investor, dan mulai menulis lakon bagi dirinya sendiri.