Sang Ular Tengah Menelan Ekornya

Ilustrasi.

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh 

Ular yang menggigit ekornya sendiri merupakan gambaran dari perilaku yang merugikan diri sendiri, tetapi dalam konteks sejarah, ini juga mencerminkan dampak dari keputusan-keputusan yang diambil oleh pemimpin pada masa itu.

koranaceh.net | Mayjen J.H.R. Kohler, terbaring sunyi di Kerkhof Kutaradja, perkuburan Belanda yang megah di tengah kota Banda Aceh, jauh dari tempat kelahirannya di negeri antah berantah

Kohler tewas diujung senjata tentara Kesultanan Aceh, kematiannya menandai kegagalan Belanda atas invansi pertama yang dideklarasikan oleh negera penjajah itu pada 26 Maret 1873 dari atas kapal Citadel van Antwerpen.

Di atas Makam Mayjen J.H.R. Kohler yang tewas tertembak di depan Mesjid Raya, Baiturrahman, Banda Aceh, terdapat sebuah tugu yang menarik perhatian, ada gambar ular yang memakan ekornya sendiri. Elemen visual ini jadi salah satu yang paling menonjol.

Nisan Makam Mayjen J.H.R Kohler. (Foto: Ist). 

Sebagai salah satu elemen visual yang menonjol, gambar ini tak hanya sekadar ornamen. Ia memiliki makna yang dalam dan simbolis.

Dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba mengeksplorasi berbagai interprestasi mengenai makna yang terkandung didalamnya.

Siklus Hidup-Mati, Ambisi & Tanggung Jawab Sebagai Manusia

Pertama, gambar ular yang memakan ekornya sendiri dapat dilihat sebagai simbol dari siklus kehidupan dan kematian.

Dalam banyak budaya, ular merupakan simbol transformasi dan regenerasi. Dengan menggambarkan ular yang memakan ekornya sendiri, kita mungkin diajak untuk merenungkan siklus kehidupan manusia itu sendiri.

Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap manusia, termasuk Mayjen Kohler, akan mengalami kejayaan pada satu sisi, tetapi juga akan menghadapi kegagalan dan kematian di sisi lain. 

Dalam konteks ekspedisi yang dijalani Kohler, kita dapat bertanya-tanya apakah dia telah mencapai puncak karirnya atau justru terjebak dalam lingkaran kegagalan.

Kedua, gambar ini juga dapat dilihat sebagai peringatan tentang keserakahan dan ambisi yang tidak terkendali.

Baca Juga:
Jejak Menuju Perdamaian: Kisah Dibalik Lahirnya MoU Helsinki

Ular yang rakus memakan ekornya sendiri bisa dilihat sebagai gambaran bahwa ambisi dan keinginan manusia sering kali bisa menghancurkan diri sendiri.

Ada kemungkinan bahwa Kohler, dalam menjalani ekspedisinya, tidak menyadari bahwa tindakan dan ambisinya dapat mengakibatkan dampak negatif. 

Sejak 1873, mungkin terdapat momen-momen penting di mana keputusan yang diambilnya membawa kepada "lorong gelap" dalam sejarah, di mana keserakahan dan ambisi mengaburkan arah yang seharusnya dia tuju.

Ilustrasi.

Dengan kata lain, ambisi yang tinggi bisa menyebabkan seseorang melupakan batasan dan akhirnya mengakibatkan kerugian.

Ketiga, bisa jadi gambar ular ini juga menunjukkan kesadaran akan sejarah dan tanggung jawab. Sebagai seorang pemimpin dan perwira, setiap tindakan yang diambil dapat berimplikasi pada banyak orang.

Ular yang menggigit ekornya sendiri merupakan gambaran dari perilaku yang merugikan diri sendiri, tetapi dalam konteks sejarah, ini juga mencerminkan dampak dari keputusan-keputusan yang diambil oleh pemimpin pada masa itu. 

Jika kita lihat dari sudut pandang ini, maka ada panggilan untuk merenungkan tindakan-tindakan yang diambil, bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.

Gambar ular yang memakan ekornya sendiri di tugu makam Mayjen J.H.R. Kohler bukanlah simbol yang sederhana. 

Ia mengandung berbagai makna yang mengajak kita untuk merenungkan siklus kehidupan, keserakahan, dan tanggung jawab.

Baca Juga:
Politik Itu Soal Komunal Bukan Personal

Dengan menggali makna dari simbol ini, kita tidak hanya mengenang sosok Kohler, tetapi juga belajar tentang pelajaran berharga yang dapat diambil dari perjalanan sejarah yang kompleks dan penuh liku. 

Maka, setiap pengunjung yang berdiri di depan makam ini akan teringat bahwa tindakan kita di dunia ini dapat berdampak jauh ke depan.

Lalu apakah Aceh sejak tahun 2005, telah mengalami perjalanan yang penuh liku-liku setelah bencana gempa dan tsunami yang mengubah wajah provinsi ini, juga bisa diumpamakan  "seperti ular yang sedang menelan ekornya sendiri".

Kaitannya Dengan Aceh Kontemporer

Sebagai ular menelan ekor sediri, menggambarkan kondisi di Aceh, dalam upaya untuk membangun kembali dan beradaptasi, sering kali terjebak dalam siklus yang tidak produktif dan konflik internal. 

Kita akan membahas beberapa aspek yang mendukung pandangan ini.

Pertama-tama, kesepakatan damai yang ditandatangani pada tahun 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia diharapkan dapat membawa stabilitas, namun realitanya, proses rekonsiliasi dan pembangunan kembali tidak berjalan mulus.

Meskipun banyak bantuan internasional yang mengalir ke Aceh untuk membantu rekonstruksi, korupsi dan ketidakpuasan masyarakat terhadap distribusi bantuan menjadi isu yang dulunya, sering kali menciptakan ketegangan.

Tentara Indonesia berpatroli di Lhokseumawe, Aceh saat penerapan Daerah Operasi Militer masih berlaku di sana. (Foto: voaindonesia.com).

Masyarakat korban yang seharusnya mendapatkan manfaat kadang-kadang merasa terpinggirkan, dan hal ini menciptakan perasaan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

Kedua, meski terdapat kebangkitan ekonomi di berbagai sektor setelah tsunami, ketimpangan masih belum teratasi. Banyak masyarakat Aceh yang bergantung pada sektor perikanan dan pertanian, namun mereka tidak selalu mendapatkan akses ke sumber daya yang memadai.

Dalam konteks ini, Aceh tampak terjebak dalam pikiran untuk membangun kembali, tetapi tidak memiliki rencana yang jelas untuk masa depan yang berkelanjutan. 

Ular tersebut, dalam hal ini, menggambarkan siklus terkunci di mana Aceh berusaha menelan ekornya sendiri tanpa dapat bergerak maju.

Baca Juga:
Peringatan Dua Puluh Tahun Tsunami Aceh: Refleksi atas Sejarah dan Masa Depan

Sejak 1945 atau sejak Indonesia mengintegrasi Aceh kedalam NKRI, masyarakat Aceh menghadapi dilema antara mempertahankan tradisi serta budaya lokal dan beradaptasi dengan realitas kehilangan entitas sebuah bangsa.

Akibatnya, kita melihat perpecahan dalam cara berpikir dan tindakan masyarakat. Beberapa kelompok mendorong pelestarian nilai-nilai budaya, dengan mempertahankan entitas  sebuah bangsa sementara yang lain berusaha menerima realitas, bahwa Aceh hanya sebuah suku dalam kebangsaan Indonesia.

Ketidakpastian dalam entitas dan identitas ini menciptakan friksi di antara kelompok-kelompok yang berbeda, yang memperpanjang siklus ketegangan.

Selain itu, masalah hukum dan HAM juga menjadi sorotan. Masyarakat Aceh yang pernah terjebak dalam konflik berkepanjangan, kini menghadapi tantangan baru berupa pemenuhan hak asasi manusia. 

Beberapa anggota GAM yang terintegrasi ke dalam pemerintahan dan masyarakat sering kali menghadapi stigma atau kurang percaya diri.

Pasukan GAM saat rapat konsolidasi dikawasan Pidie yang dipimpin langsung oleh Muzakir Manaf sebagai panglima GAM pada saat itu. (Foto: digdata.id/Hotli Simanjuntak).

Di sisi lain, pemerintah harus menjawab tuntutan keadilan dan perlindungan hak asasi yang terus berkembang. Ini adalah tantangan yang tidak mudah, dan sering kali menyebabkan kembali terjadinya ketegangan di masyarakat.

Dengan demikian, seiring dengan berjalannya waktu, Aceh masih merasakan dampak dari konflik dan bencana yang terjadi.

Dalam konteks ini, ungkapan "seperti ular yang sedang menelan ekornya sendiri" mencerminkan kondisi di mana Aceh terkadang terjebak dalam siklus yang tidak berujung dan menghadapi berbagai tantangan.


Meskipun harapan untuk masa depan yang lebih baik masih ada, sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan agar Aceh dapat melangkah maju dengan sukses. 

Aceh perlu mengevaluasi kembali strategi dan pendekatan yang diambil untuk memastikan potensi yang ada tidak terbuang sia-sia.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.