Pemerintah Aceh Bentuk Satgas Khusus Tata Tambang Ilegal dan Kejar Peningkatan PAA

Daftar Isi
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (tengah, kemeja putih), didampingi unsur Forkopimda memberikan keterangan kepada pers di Meuligoe Gubernur Aceh, Banda Aceh, Selasa (30/9/2025). (Foto: dok. Humas Pemerintah Aceh).
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (tengah, kemeja putih), didampingi unsur Forkopimda memberikan keterangan kepada pers di Meuligoe Gubernur Aceh, Banda Aceh, Selasa (30/9/2025). (Foto: dok. Humas Pemerintah Aceh).
Aceh bentuk Satgas khusus tata tambang ilegal. Dorong legalisasi lewat skema baru guna tingkatkan PAA dan perketat pengawasan lingkungan.
koranaceh.net | Banda Aceh – Pemerintah Aceh bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) sepakat membentuk Satuan Tugas Khusus untuk menata dan menertibkan aktivitas pertambangan ilegal di seluruh Aceh. Kesepakatan ini diambil dalam rapat tertutup yang dipimpin oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, di Meuligoe Gubernur Aceh, Selasa (30/9/2025).

Penataan tersebut bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan Pendapatan Asli Aceh (PAA) melalui legalisasi tambang rakyat. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan Sektor Sumber Daya Alam yang berlaku efektif sejak Senin (29/9/2025).

Gubernur Aceh Muzakir Manaf, yang akrab disapa Mualem, seusai rapat mengatakan bahwa tambang-tambang yang saat ini berstatus ilegal akan dilegalkan dengan skema pengelolaan baru. Ia memaparkan, pengelolaan tambang tersebut nantinya diserahkan kepada sebuah badan resmi. Selain para penambang dapat bekerja secara legal, skema ini pun diharapkan dapat berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Aceh (PAA).

“Dengan penataan yang baik, maka tambang-tambang ilegal ini akan kita legalkan. Nantinya akan dikelola oleh sebuah badan, bisa seperti koperasi gampong (desa) dan lain sebagainya serta tetap memperhatikan lingkungan. Dengan demikian, para penambang bisa bekerja nyaman serta berkontribusi untuk Pendapatan Asli Aceh,” ujar Mualem dalam keterangannya kepada awak media seusai rapat.

Setelah dilegalkan, lanjut Mualem, pengawasan menjadi lebih mudah sebab pemerintah dapat melakukan inspeksi berkala dengan lebih terukur. Inspeksi berkala atau sidak tersebut, jelasnya, ditujukan guna memantau sekaligus mengontrol kelompok penambang agar mereka tidak menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan lain sebagainya.

“Skema sidaknya bisa beberapa bulan sekali kita akan turun ke lokasi pertambangan tersebut. Jika para penambang terbukti menggunakan zat-zat kimia berbahaya seperti merkuri dan lain sebagainya, maka kelompok penambang tersebut akan kita blacklist,” sambung Mualem.

Kebijakan penataan ini mengemuka setelah Panitia Khusus (Pansus) Tambang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memaparkan temuannya pada Kamis (25/9/2025). Dalam laporan yang dibacakan Sekretaris Pansus, Nurdiansyah Alasta, terungkap adanya 450 titik lokasi tambang ilegal yang mengoperasikan sekitar 1.000 unit ekskavator. 

Pansus juga menemukan dugaan aliran dana sebesar Rp 30 juta per bulan dari setiap unit ekskavator kepada oknum penegak hukum sebagai uang keamanan. Jika dikalkulasikan, total dana yang berputar dari praktik ini mencapai Rp 360 miliar per tahun. Adapun, titik lokasi tambang ilegal tersebut, kata Nurdiansyah dalam pemaparannya, tersebar di beberapa kabupaten/kota, diantaranya Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Pidie.

Temuan tersebut mendapat respons dari berbagai pihak. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mendesak agar dugaan setoran tersebut diusut tuntas. “Aparat penegak hukum yang terlibat wajib diseret ke pengadilan. Tidak cukup hanya diumumkan, tetapi harus ada langkah nyata dalam bentuk proses hukum yang transparan ke publik,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, pada Minggu (28/9/2025), seperti dilansir Antara Aceh.

Ahmad menegaskan, kerugian ekologis akibat pencemaran merkuri dan kerusakan hutan jauh lebih besar dari angka kerugian finansial tersebut. Laporan pansus tambang DPRA, kata dia, menjadi momentum untuk memberantas praktik mafia tambang. Langkah ini, tambahnya, juga menjadi penting mengingat selama ini aktor lapangan seperti pekerja tambang kecil yang justru menjadi kambing hitam, sementara pelaku besarnya dilindungi.

Sementara itu, akademisi dari Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, Risma Sunarty, mendukung langkah Mualem. Menurutnya, kebijakan tersebut tepat lantaran menyasar persoalan mendasar yang selama ini menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan.

“Dari sudut pandang kebencanaan, buruknya pengelolaan lingkungan merupakan faktor penting yang meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap berbagai bencana, seperti banjir bandang, genangan air, tanah longsor, dan bencana hidrometeorologi lainnya,” ungkap Risma pada Sabtu (27/9/2025).

Potret udara galian tambang emas ilegal di Seunagan Timur, Nagan Raya, Aceh, pada pertengahan Juli 2023. (Foto: Mongabay Indonesia/Junaidi Hanafiah).

Risma juga menyorot lemahnya penegakan hukum terhadap praktik pertambangan ilegal di Aceh. Kendati regulasi terkait pengelolaan lingkungan telah disusun, penerapannya masih tidak tegas. Padahal, kata dia, bila penegakan hukum dan perbaikan tata kelola lingkungan benar-benar dijalankan, Aceh punya peluang besar untuk keluar dari persoalan banjir yang selama ini menjadi momok.

“Namun, ini bukan pekerjaan singkat, diperlukan waktu panjang, konsistensi kebijakan, dan keseriusan semua pihak,” ujar dosen manajemen bencana di Fakultas Teknik Unmuha Aceh ini.

Menindaklanjuti kesepakatan rapat, Sekretaris Daerah Aceh, Muhammad Nasir, menguraikan beberapa poin hasil pertemuan. Forkopimda Aceh secara resmi mendukung Ingub Nomor 8/INSTR/2025 dan akan segera membentuk tim bersama yang melibatkan ahli sumber daya alam.

“Membentuk Satuan Tugas Khusus yang terdiri dari unsur Pemerintah Aceh, Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda,” kata Sekda. Tim ini juga akan bertugas mensosialisasikan pembentukan koperasi tambang untuk melegalkan aktivitas pertambangan dan pengelolaan sumur minyak oleh masyarakat.

Sebelumnya, pada Kamis (25/9/2025), Mualem telah memberikan ultimatum kepada para pelaku tambang emas ilegal. Ia memberi batas waktu dua minggu agar seluruh alat berat dikeluarkan dari kawasan hutan. “Jika tidak, maka setelah 2 minggu dari saat ini, maka akan kita lakukan langkah tegas,” ucap Mualem.

Upaya serupa juga telah diinisiasi oleh kepolisian. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, menurut Kombes Pol Zulhir Destrian, telah mendorong pemerintah kabupaten untuk mempercepat pengusulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai solusi preventif. Namun, hingga saat ini baru tiga kabupaten—Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Gayo Lues—yang telah mengajukan usulan blok WPR.

Sebagai bagian dari implementasi Ingub, beberapa dinas teknis diberi mandat spesifik. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) diwajibkan membentuk Tim Penataan dan Penertiban Perizinan. Sementara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ditugaskan menertibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan membangun pangkalan data terpadu.


Pewarta:
Muntaziruddin Sufiady Ridwan