Tegas Tolak IUP Eksplorasi PT AMP, Masyarakat Kuala Batee Dorong Pemkab Abdya Segera Surati Gubernur Aceh
|
| Ilustrasi. (Foto: Dok. koranaceh.net). |
Masyarakat Kuala Batee tegas tolak IUP eksplorasi PT AMP. Izin dinilai cacat prosedur dan langgar tata ruang.
koranaceh.net | Abdya – Aliansi Masyarakat Kuala Batee mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat Daya (Abdya) segera mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Abdya Mineral Prima (AMP) yang dinilai bermasalah dan berpotensi merusak lingkungan. Desakan itu disampaikan saat perwakilan masyarakat menyerahkan berkas penolakan IUP kepada Bupati Abdya, Safaruddin, pada Sabtu (18/10/2025), di Pendopo Bupati.
Koordinator I Aliansi Masyarakat Kuala Batee, Ibrahim, mengatakan dalam pertemuan itu, Bupati Safaruddin sepakat untuk menyurati Gubernur Aceh serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) guna meminta pencabutan izin eksplorasi perusahaan tersebut. “Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari hasil rapat dengar pendapat antara masyarakat, DPRK Abdya, dan pemerintah daerah beberapa waktu lalu,” ujarnya.
Baca Juga:
Ibrahim menegaskan, masyarakat menolak seluruh bentuk kegiatan pertambangan di wilayah Kuala Batee lantaran dinilai cacat administrasi dan bertentangan dengan kepentingan lingkungan hidup. “Kami tidak ingin terjadi pengerahan massa. Karena itu, kami meminta perusahaan segera menghentikan seluruh kegiatan dan mengajukan pembatalan IUP eksplorasi kepada Gubernur Aceh,” katanya.
Penolakan ini, tutur Ibrahim, berangkat dari temuan warga ihwal adanya kejanggalan dalam proses penerbitan izin. Ia menerangkan, rekomendasi Bupati Abdya Nomor 543.2/81 tertanggal 15 Januari 2024, hanya mencakup empat gampong di Kecamatan Kuala Batee dan dua gampong di Kecamatan Babahrot. Namun, dalam IUP yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, wilayah tambang justru meluas hingga 2.319 hektare yang mencakup tujuh gampong di Kuala Batee. “Artinya ada perluasan wilayah tanpa dasar hukum yang jelas. Ini cacat prosedur dan administrasi,” jelas Ibrahim.
Selain masalah administrasi, aliansi juga menilai izin tersebut bertentangan dengan Qanun Kabupaten Abdya Nomor 17 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2013–2033 huruf e dan h. Qanun ini melarang aktivitas tambang di kawasan perbukitan yang memiliki sumber mata air dan berada di wilayah permukiman.
Aliansi turut menyoroti dugaan ketidaktelitian instansi teknis seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas ESDM Aceh dalam menelaah dokumen perizinan. “Ada indikasi permainan dalam proses rekomendasi teknis. Dokumen pendukung tidak sesuai dengan data awal, bahkan ada dugaan manipulasi data wilayah dan daftar gampong. Ini harus diusut tuntas,” ujar Ibrahim.
IUP Eksplorasi — PT ABDYA MINERAL PRIMA
No. 540/DPMPTSP/91/IUP-EKS./2025
17 Januari 2025 — 17 Januari 2033
2.319 hektare
Dalam dokumen tuntutan aliansi yang dibaca koranaceh.net, penolakan warga terhadap IUP PT AMP telah bergulir sejak Agustus 2025. Saat itu, beredar konten dalam bentuk flyer yang memuat profil singkat PT AMP serta keterangan cakupan wilayah eksplorasinya. Kabar itu lantas memicu kegaduhan dan reaksi dari warga. Warga bersama tokoh-tokoh setempat kemudian melakukan penelusuran independen dan menemukan bahwa izin tersebut diterbitkan berdasarkan rekomendasi Darmansyah yang saat itu menjabat sebagai Pj Bupati Abdya.
Dari hasil penelusuran itu, pada 26 Agustus 2025, muncul gerakan organik di tingkat akar rumput. Warga membentuk grup komunikasi daring di WhatsApp, memasang spanduk penolakan, hingga menggelar persamuhan terbuka bersama para tokoh masyarakat serta tujuh keuchik yang gampongnya masuk dalam IUP PT AMP. Persamuhan tersebut berlangsung di Kantor Camat Kuala Batee pada 31 Agustus 2025 dan dipimpin oleh Yulizar Kasma, salah seorang tokoh Kecamatan Kuala Batee.
Baca Juga:
“Dari hasil rapat pada 31 Agustus itu, kita sepakat menolak IUP Eksplorasi PT Abdya Mineral Prima dan PT lainnya yang akan hadir di kemudian hari,” jelas Ibrahim.
Dalam proses penerbitan, beberapa keuchik mengaku mendapat tekanan saat mengeluarkan rekomendasi gampong. Dari tujuh gampong di Kecamatan Kuala Batee yang masuk dalam wilayah IUP, enam diantaranya terbit dengan tidak melalui musyawarah desa serta tanpa permohonan resmi dari perusahaan.
“Ada yang dipanggil ke kantor bupati, ada juga yang didatangi Liaison Officer (LO) perusahaan. Sebagian mengaku ditipu karena diberi informasi bahwa rekomendasi hanya untuk survei, bukan izin operasi tambang,” tulis dokumen tuntutan aliansi yang dikutip koranaceh.net, pada Senin (20/10/2025).
Qanun Kabupaten Abdya No.17 Tahun 2013 — RTRW 2013–2033
Pasal 53 ayat (6) — Huruf e dan f
Huruf e
Huruf f
Kesepakatan warga itu kemudian ditindaklanjuti lewat rapat dengar pendapat (RDP) di DPRK Abdya pada Senin (22/9/2025) lalu. Dalam forum itu, Koordinator II Aliansi Masyarakat Kuala Batee, Bob Fakhrurazi membacakan tuntutan utama, antara lain meminta DPRK dan Bupati Abdya menyurati Gubernur Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, serta Dinas ESDM Aceh agar membatalkan IUP eksplorasi PT APM.
Mereka juga mendesak klarifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait rekomendasi teknis dan luas wilayah tambang yang dijadikan dasar penerbitan izin. “Sebagian gampong yang masuk dalam peta izin tidak pernah disebut dalam rekomendasi bupati. Kami menduga ada manipulasi data perizinan, baik di tingkat perusahaan maupun instansi terkait,” ujar Bob kala itu.
Baca Juga:
Selain aspek hukum, mereka menyoroti ancaman kerusakan lingkungan. Area tambang yang direncanakan berada di kaki perbukitan dan berdekatan dengan sumber air utama warga. Beberapa sungai besar yang menjadi penopang lahan pertanian dan kebutuhan air masyarakat juga berasal dari kawasan tersebut.
“Lokasi tambang berada di kaki bukit yang menjadi sumber air utama bagi tujuh desa. Sungai di kawasan itu menghidupi petani, peternak, dan kebutuhan air rumah tangga,” tutur Ibrahim.
Aliansi menegaskan perjuangan mereka bukan sekadar penolakan terhadap satu perusahaan, tetapi bagian dari upaya menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air masyarakat. “Ini soal keselamatan warga dan masa depan Kuala Batee. Kami akan terus melawan sampai PT Abdya Mineral Prima angkat kaki dari sini,” pungkasnya.
.webp)
