Dewan Guru Besar FKUI Desak Pemerintah Terapkan Lockdown
![]() |
Petugas medis memeriksa kesiapan alat di ruang ICU Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3). Foto: ANTARA FOTO/Kompas/Heru Sri Kumoro |
Jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia belum juga
menunjukkan angka penurunan. Sampai saat ini, belum ada langkah signifikan yang
dilakukan pemerintah untuk menekan angka penularan virus corona.
Dokter dan perawat juga manusia. Mereka cemas, tapi harus
menghalaunya demi menangani pasien yang membeludak. Yang terburuk, mereka ikut
tertular corona. Simak selengkapnya di collection ini dan subscribe agar dapat
notifikasi story baru.
Salah satu kebijakan yang sejauh ini paling ampuh menekan
penularan virus corona, yakni dengan kebijakan lockdown. Hal ini juga yang
didorong oleh Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
"Melihat dari negara-negara lain, partial atau local
lockdown mungkin dapat menjadi pilihan bagi Indonesia. Apa itu local lockdown?
Local lockdown merupakan sebuah langkah menutup sebuah wilayah/ provinsi yang
sudah terjangkit infeksi COVID-19, dengan demikian diharapkan dapat memutuskan
rangkai penularan infeksi baik di dalam maupun diluar wilayah," kata Ketua
Dewan Guru Besar FKUI, Siti Setiati, dalam keterangannya, Kamis (26/3).
"Local lockdown disarankan dilakukan selama minimal 14
hari. Local lockdown pun akan memudahkan negara untuk menghitung kebutuhan
sumber daya untuk penanganan di RS (SDM, APD, fasilitas RS)," tambah dia.
Berikut pernyataan lengkap Dewan Guru Besar FKUI kepada
Pemerintah terkait penanganan infeksi COVID-19:
Himbauan Dewan Guru Besar FKUI bagi Pemerintah Indonesia
terkait Penanganan Infeksi COVID-19
1. Situasi COVID-19 di Indonesia. Per-
tanggal 24 Maret 2020, terdapat 790 kasus positif infeksi COVID-19 di
Indonesia dengan proporsi terbanyak ditemukan di ibukota negara kita, Jakarta
(463 kasus). Angka kematian/mortalitas di Indonesia sendiri saat ini mencapai
58 kasus, dengan jumlah pasien yang sembuh adalah 30. Dengan demikian,
Indonesia berada pada ranking-5 kasus dengan case fatality rate (CFR) tertinggi
ke-5 di dunia.1 Berkaca
dari negara-negara lain, dengan adanya perkembangan uji diagnostik, maka jumlah
kasus positif di Indonesia akan terus bertambah secara eksponensial. Mengatasi
pertambahan kasus COVID-19 di Indonesia, maka seluruh pemerintah,
organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga terkait, tenaga kesehatan di seluruh
lapisan fasilitas kesehatan, beserta masyarakat harus dapat bekerja sama,
secara terintegrasi dan multi-disiplin dalam memerangi virus COVID-19 ini.
Indonesia bisa mengambil pelajaran dari negara Korea Selatan yang membuat
kebijakan agar semua orang yang pernah terpapar atau kontak dengan pasien
positif COVID-19 untuk diperiksa dengan cara mendirikan drive-hru tempat
pengecekan COVID-19 secara massal, sehingga semua orang dapat di-swab dan
hasilnya akan diberitahu 2-3 hari kedepan. Hasilnya secara transparan akan
diberi tahu kepada pasien dan juga data tersebut diambil oleh negara. Lebih
lanjut, apabila pasien tersebut positif, maka distrik/ daerah tersebut akan
diberi notifikasi oleh negara untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap infeksi
COVID-19. Secara nasional, pemerintah Korea Selatan melarang semua aktivitas
dengan jumlah massa yang banyak, perkumpulan-perkumpulan, menggalakan work from
home, menggunakan alat telekomunikasi
dan internet secara maskimal, memberi edukasi etika bersin, etika batuk, serta
cuci tangan sesering mungkin. Di Korea Selatan pun terjadi lonjakan jumlah
masyarakat terinfeksi COVID-19, namun jumlah kematian tidak seperti
negara-negara lain (0.69%). Di Korea Selatan, apabila pasien tersebut stabil
dan tidak ada keluhan, maka mereka menjalankan self-isolation dan social
distancing pada diri mereka sendiri, termasuk menjauhi keluarga mereka yang
tidak terinfeksi COVID-19. Apabila
mereka memiliki gejala berat, mereka dapat dirawat di Rumah Sakit besar khusus
infeksi COVID-19, sehingga tidak dicampur dengan pasien non-infeksi COVID-19.
Ada pula rumah sakit lokal dimana mereka dapat merawat pasien infeksi COVID-19
dengan gejala ringan. Selain pembatasan perjalanan ke dalam dan luar negeri,
produksi masker di Korea Selatan pun ditingkatkan, sehingga baik tenaga
kesehatan maupun masyarakat tidak kekurangan alat pelindung diri (APD),
tentunya dengan harga normal. Ketersediaan alat-alat di rumah sakit juga
memiliki peran penting, terutama pada pasien infeksi COVID-19 berat.2-3 Pada umumnya, herd immunity bisa tercapai bila populasi terinfeksi
sekitar 70%. Artinya 270 juta x 70% = sekitar 189 juta orang. Kalau rerata CFR
di dunia adalah 3%, maka harus ada sekitar 5-6 juta jiwa. Sementara saat ini
CFR Indonesia adalah 8-10% ditambah lagi dengan Indonesia adalah negara yang
luas dan banyak kepulauan, tentu akan sulit pemantauan dan prediksinya.
Skenario ini adalah apabila populasi terinfeksi sekitar 70%, bagaimana kalau
90% populasi terinfeksi dengan CFR 8%? Berapa juta orang akan jatuh sakit dan
meninggal karena infeksi ini? Kalau pakai asumsi di atas, dan kita pakai CFR
dunia sebagai CFR Indonesia, maka dengan jumlah kematian sekarang 55, artinya
jumlah kasus sebenarnya (55x100)/4,3=1279 kasus. Sehingga, kemungkinan jumlah
kasus COVID-19 di Indonesia saat ini adalah sekitar 1300 KASUS. Fasilitas kesehatan kita tidak siap dan tidak
memiliki kapasitas yang cukup untuk menangani jumlah pasien COVID-19.. Dengan
episentrium infeksi saat ini di Jabodetabek dan Surabaya saja fasilitas
kesehatan kita masih memiliki kesulitan untuk mendapatkan APD. Selain itu,
ketersediaan alat bantu pernapasan hanya terbatas di beberapa RS saja,
menghasilkan CFR yang tinggi. Sulit dibayangkan apabila daerah Papua dengan
fasilitas kesehatan yang minim terinfeksi COVID-19. Saat ini, studi menyatakan
hanya tersedia 2 bed ICU (Intensive Care
Unit) setiap 100.000 populasi di Indonesia.4 Hal ini merupakan proporsi
terendah di Asia. Bayangkan apabila infeksi ini meluas di Indonesia! Bukan
hanya masyarakat yang akan menjadi korban, tetapi tenaga kesehatan garis depan
pun satu per satu akan berguguran. Sungguh tragis.
2. Apakah lockdown dapat menjadi salah satu alternatif bagi
Indonesia? Melihat dari negara-negara
lain, partial atau local lockdown mungkin dapat menjadi pilihan bagi Indonesia.
Apa itu local lockdown? Local lockdown merupakan sebuah langkah menutup sebuah
wilayah/ provinsi yang sudah terjangkit infeksi COVID-19, dengan demikian
diharapkan dapat memutuskan rangkai penularan infeksi baik di dalam maupun
diluar wilayah. Local lockdown disarankan dilakukan selama minimal 14 hari.
Local lockdown pun akan memudahkan negara untuk menghitung kebutuhan sumber
daya untuk penanganan di RS (SDM, APD, fasilitas RS). Pelaksanaan lockdown dan aturan pembatasan
aktivitas sosial yang ketat di Provinsi Hubei, Cina telah terbukti efektif menurunkan kasus
sebesar 37% lebih rendah dibandingkan kota lain yang tidak menerapkan sistem
ini. Sebelum pemberlakuan lockdown, para peneliti memperkirakan SARS-CoV2 akan
menginfeksi 40% populasi Cina atau sekitar 50 juta penduduk, atau 1 pasien
terinfeksi akan menularkan virus ke 2 orang atau lebih. Namun pada minggu
pertama lockdown, angka ini turun menjadi 1.05. Hingga pada tanggal 16 Maret
2020, WHO mencatat 81.000 kasus di Cina. Simulasi model oleh Lai Shengjie dan
Andrew Tatem dari University of Southampton, UK menunjukkan, jika sistem
deteksi dini dan isolasi ini diberlakukan 1 minggu lebih awal, dapat mencegah
67% kasus, dan jika diimplentasikan 3 minggu lebih awal, dapat memotong 95%
dari jumlah total yang terinfeksi. Studi Wells et al menunjukkan pada 3,5
minggu pertama penutupan wilayah dapat mengurangi 81,3% kasus infeksi ekspor.
Penurunan ini sangat berguna untuk
daerah yang masih belum atau minimal
terjangkit untuk melakukan koordinasi sistem kesehatan.5,6,7 Opsi
lockdown lokal/ parsial perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia,
melihat upaya social distancing belum konsisten diterapkan di masyarakat, masih
terjadi kepadatan di beberapa transportasi publik, sebagian tempat wisata tetap
dikunjungi, sebagian perkantoran, tempat makan, taman terbuka, dan pusat
perbelanjaan tetap beraktivitas. Situasi ini dapat menjadi lebih buruk dan
tidak terhindarkan dengan adanya arus mudik pada bulan Ramadhan.
Melandaikan kurva dan memperlambat
proses penularan Covid-19 merupakan hal yang paling krusial karena sistem
kesehatan kita saat ini belum mampu menerima beban kasus infeksi
Covid-19 yang masif.8 Namun, perlu diperhatikan bagaimana dengan
pekerja yang mendapatkan upah dengan kerja harian. Negara perlu menjamin hajat
hidup minimal warga miskin selama minimal 2 minggu karena kegiatan perekonomian
akan lumpuh total! Mari kita hitung apabila Jakarta melakukan local lockdown
dengan total penduduk 9,6 juta:
• Makan 3x sehari dengan asumsi: o Makan pagi: Rp 5.000,00 o Makan siang: Rp
10.000,00 o Makan malam: Rp 10.000,00
▪ Total untuk makan adalah Rp 25.000,00 (untuk membeli
beras, tahu, telor, per orang) o Untuk 1 hari, di Jakarta: 9,6 juta x Rp
25.000,00 = Rp 240.000.000.000,00 o Untuk 14 hari di Jakarta: Rp
3.360.000.000.000,00 = 3.3 Trilyun
• Kebutuhan listik/orang/hari kira-kira Rp 4.543,00 o Untuk 1 hari, di Jakarta: 9,6 juta x Rp
4.543,00 = Rp 43.000.000.000,00 o Untuk 14 hari di Jakarta: Rp
610.000.000.000,00 = 610 Milyar
• Kebutuhan air/orang/hari kira-kira Rp 735,00 o Untuk 1 hari,
di Jakarta: 9,6 juta x Rp 735,00 = Rp 7.000.000.000,00 o Untuk 14 hari di
Jakarta: Rp 98.000.000.000,00 = 98 Milyar
• Total Dana 14 hari di Jakarta: Rp 4 Trilyun
• TOTAL PENERIMAAN PAJAK INDONESIA PER-NOVEMBER 2019: Rp 1.312,4 Trilyun Dengan penghitungan
demikian, maka rasanya mungkin apabila melakukan local lockdown demi mencegah
penularan COVID-19 lebih lanjut.
Pengembalian sebagian uang pajak dari rakyat untuk rakyat dengan adanya
kejadian pandemi seperti ini merupakan tindakan
yang wajar. Semoga hal ini juga menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan
sedikit keringanan biaya hidup dasar 14 hari bagi masyarakat Indonesia.
3. Penyediaan alat
pelindung diri (APD) yang cukup untuk semua fasilitas pelayanan kesehatan,
terutama RS pemerintah. Ketersediaan APD yang cukup sangat penting dalam
kondisi pandemi COVID-19 untuk para tenaga medis. Bila APD tidak tersedia cukup
ditakutkan akan berdampak buruk bagi tenaga kesahatan maupun pelayanan
kesehatan yang diberikan di Indonesia. Seperti dilansir dari KOMPAS, 24 Maret
2020, presiden RI menyatakan bahwa pemerintah pusat memang telah
mendistribusikan 105.000 APD melalui pemerintah daerah (pemda).9 Namun, perlu
diingat bahwa suplai dan kebutuhan APD selama pandemi COVID-19 adalah hal yang
dinamis. Penanganan kasus kekurangan APD
oleh pemerintah RI dapat mencontoh tindakan negara lain. Kelangkaan APD di
Inggris membuat tenaga kesehatan, termasuk dokter di negara tersebut mengancam
untuk tidak melanjutkan tugas mulianya.10 Kekurangan suplai APD di Inggris
langsung direspon oleh National Health Service United Kingdom (NHS UK).
Pihaknya menyediakan nomor telepon hotline yang aktif 24 jam sehari untuk
pelaporan langkanya APD. Pelaporan dapat dilayangkan juga melalui email.11
Dalam surat pernyataannya, NHS UK menyediakan layanan antar dan dukungan
penyediaan APD 24 jam sehari selama 7 hari seminggu. Hal ini dilakukan NHS UK
untuk memastikan staf medis dalam kondisi aman. Dalam satu hari, NHS UK
mengirimkan 2,6 juta masker medis dan 10.000 hand sanitizer ke fasilitas
pelayanan kesehatan di London saja. Penyediaan APD tersebut juga dilakukan
untuk praktik klinik mandiri, dokter gigi, apotek, panti asuhan, dan panti
jompo.11 Indonesia dapat belajar dari
kejadian yang ada di negara lain. Hal ini penting demi tersedianya APD yang
cukup untuk semua fasilitas pelayanan kesehatan, terutama RS pemerintah. RS
swasta perlu juga diberikan akses untuk membeli APD dengan harga yang pantas.
4. Aturan yang sangat tegas untuk diam di rumah. Isolasi mandiri dengan cara diam di rumah
sudah dibahas di berbagai studi. Dengan tingkat kepatuhan tinggi (> 70%)
berdasarkan 16 penelitian, karantina di rumah efektif dalam memperlambat
penyebaran penyakit. Terdapat beberapa laporan kasus penyebaran virus
SARS-CoV-2 dari individu asimtomatik (tanpa gejala) maupun presimtomatik
(dengan gejala yang belum muncul).12 Banyak individu di Indonesia yang
kemungkinan besar sudah terpapar kasus positif COVID-19 di tempat umum maupun
di rumah. Dengan karantina 50% individu terpapar saja, dapat berdampak pada
penurunan jumlah kasus selama epidemic peak sebanyak 25%, serta penundaan
epidemic peak tersebut sekitar 1 minggu.13
Namun, lebih dari 500 akademisi di dunia menyatakan bahwa pembatasan
sosial (social distancing) tidak cukup untuk mengontrol penyebaran infeksi
SARS-CoV-2, sehingga yang dibutuhkan ialah tindakan pembatasan yang lebih
lanjut.13 Aturan tegas perlu diberlakukan untuk membuat rakyat tetap diam di
rumah selama periode pembatasan sosial ini. Denda spesifik diberikan untuk
setiap individu maupun perusahaan yang melanggar. Kerjasama dan koordinasi
Pemerintah seluruh elemen masyarakat
(seperti TNI, POLRI, pemimpin daerah, pemuka agama, tokoh adat) sangat dibutuhkan sehingga menjadi gerakan
sosial. Pelajaran akibat keterlambatan
dan ketidakdisiplinan dalam penerapan social distancing dari negara Italia dan
Iran, menyebabkan jumlah kesakitan dan kematian yang meningkat drastis dalam
hitungan hari. Di Australia, individu didenda AU$ 1.000 dan perusahaan juga
didenda AU$ 5.000 jika melanggar peraturan isolasi mandiri yang dikeluarkan
pihak negara bagian New South Wales. Pelanggar peraturan juga dapat diberikan
sanksi penjara maksimal 6 bulan. Untuk menegakkan peraturan tersebut, 70.000
polisi dikerahkan untuk patroli dan pemeriksaan acak di beberapa lokasi di
masyarakat. Dalam kegiatan patrolinya, pihak berwenang juga dilengkapi dengan
masker dan alat pelindung diri (APD).14 Saat ini kementerian kesehatan RI (Kemenkes
RI) telah mengeluarkan protokol isolasi mandiri yang berpotensi menjadi acuan
peraturan yang tegas. Jika diterapkan di Indonesia sesegera mungkin, hal ini
dapat membuat efek jera terhadap pelanggar peraturan dan juga menurunkan jumlah
kasus saat epidemic peak COVID-19 di Indonesia.
5. Rencana mitigasi
dan rencana strategis penanganan pasien suspek dan terkonfirmasi COVID-19 di
fasilitas kesehatan primer dan rumah sakit di Indonesia. Jumlah kasus COVID-19 yang diperkirakan
semakin meningkat secara eksponensial di berbagai daerah di Indonesia,
dengan perkiraan 30% kasus masih belum
terdiagnosis (underdiagnosed) di tengah masyarakat dan sekitar 8% kasus berat
yang membutuhkan perawatan intensif, akan menjadi beban masif rumah sakit baik
rujukan maupun non rujukan. Daya tampung, fasilitas, dan sumber daya rumah
sakit di Indonesia saat ini tidak sanggup menerima ledakan kasus ini. Rumah
sakit memiliki keterbatasan obat –obatan , APD, ruang isolasi, ruang perawatan
intensif, dan mesin ventilator tidak memadai, Saat ini, studi menyatakan hanya
tersedia 2 bed ICU (Intensive Care Unit) setiap 100.000 populasi di Indonesia.4
Sumber daya tenaga kesehatan dan tenaga penunjang sangat terbatas, ditambah
lagi dengan tingginya jumlah tenaga medis yang terinfeksi bahkan meninggal
akibat virus korona ini. Data di Jakarta
sendiri menunjukkan sekitar 42 orang (11,8%)
dari 355 positif Covid-19 adalah tenaga kesehatan. Hal ini menjadi
ironis karena tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dalam penanganan
infeksi Covid-19. Solusi untuk masalah ini adalah rencana strategis mitigasi
pasien suspek dan positif corona dengan membagi perawatan pasien menjadi
sebagai berikut : - Pasien ODP dilakukan perawatan di rumah dengan pemantauan
ketat dari Puskesmas domisili tempat tinggal melalui sistem telekomunikasi
tidak langsung telpon, whatsapp, video call maupun pengawasan secara langsung
dengan protokol yang ketat dan terstruktur, di bawah koordinasi/ pengawasan
Dinas Kesehatan setempat, pemeriksaan diagnostik dan pengobatan dilakukan
melalui kunjungan rumah oleh tim lapangan - Pasien PDP ringan hingga sedang
dilakukan perawatan di RS darurat COVID-19 seperti Wisma Atlit atau RS darurat
lain yang ditunjuk Pemerintah. - Pasien PDP berat yang memerlukan perawatan
intensif atau pengawasan ketat dirawat di rumah sakit rujukan Covid-19 yang
sudah ditunjuk dan dilengkapi dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang
memadai.
Usulan rencana penguatan sistem pelayanan kesehatan : -
Selain memperkuat RS rujukan Pemerintah,
perlu diperhatikan pula kesiapan dan ketersediaan sarana dan fasilitas serta
SDM di RS swasta karena pasien juga sudah mulai berdatangan ke rumah
sakit-rumah sakit swasta. Kebutuhan akan tenaga yang kompeten dan sarana
fasilitas serta APD perlu dilengkapi - Sistem penyangga (perimeter) untuk
mendukung tenaga medis covid-19 juga perlu diperhatikan seperti petugas
ambulans, pemulasaraan jenazah dan pemakaman, petugas telpon, call center,
pengelola website dan networking, petugas IT, listrik dan air sehingga
diperlukan kerjasama lintas sektor. - Perlu diadakan asuransi khusus untuk
tenaga kesehatan dan penunjangnya, misalnya dari BPJS Tenaga Kerja sebagai
jaminan risiko adanya penyakit akibat kerja.
Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan jaringan RS di
Indonesia untuk membangun sistem networking hospital dan ICU network khusus Covid-19 yang bisa diakses secara
online dan saluran hotline 24 jam supaya
tenaga kesehatan dapat melakukan alokasi atau rujukan pasien dapat berjalan
dengan lancar dan beban rumah sakit dapat merata.
6. Koordinasi yang baik antar kementerian dan
lembaga-lembaga terkait sangat diperlukan agar pelaksanaan di lapangan menjadi
lebih terarah dan terlaksana dengan baik.
7. Dalam pengambilan keputusan seyogyanya berbasis bukti
(Evidence based) dan melibatkan para pakar di bidangnya, termasuk ahli
komunikasi masyarakat.
Referensi: 1. CEBM. Global Covid-19 Case Fatality Rates.
2020 [cited 2020 Mar 25]. Available from:
https://www.cebm.net/global-Covid-19-case-fatality-rates/ 2. Commitment,
transparency pay off as South Korea limits COVID-19 spread. 2020 [cited 2020
Mar 25]. Available from:
https://www.euractiv.com/section/coronavirus/news/commitment-transparency-pay-off-assouth-korea-limits-Covid-19-spread/
3. South Korea, a model in the fight against Covid-19 thanks to its people.
2020 [cited 2020 Mar 25]. Available from:
http://www.asianews.it/news-en/South-Korea,-a-model-in-thefight-against-Covid-19-thanks-to-its-people-49605.html.
4. Reuters. Indonesia's health system on the brink as coronavirus surge looms.
2020 [cited 2020 Mar 25]. Available from:
https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirusindonesia-response-idUSKBN21C0J6
5. Cyarsnoski D. What China’s coronavirus response can teach the rest of the
world.Scientifi Reports Nature Research. 17 March 2020. Available at :
https://www.nature.com/articles/d41586-020-00741-x#ref-CR2 6.Wells C, Sah P,
Moghadas SM, Pandey A, Shoukat A, et al. Impact of international travel and
border control measures on the global spread of the novel 2019 coronavirus
outbreak.PNAS.2020. Available at :
https://www.pnas.org/content/early/2020/03/12/2002616117 7. Tian H, iu Y, Li Y,
Wu CH, Chen B, Kraemer M, Li B, et al. The impact of transmission control
measures during the first 50 days of the COVID-19 epidemic in china.Medrxiv.
2020.Available at:
https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.01.30.20019844v2?versioned=true 8. Parmet WE, Sinha MS. Perspective : Covid-19-the
law and limits of quarantine. N Engl J Med.2020. 9. KOMPAS. Jokowi Minta Pemda
Segera Distribusikan APD ke Rumah Sakit [Internet]; Jakarta, ID: KOMPAS; 2020
[updated 2020 Mar 24; cited 2020 Mar 25]. Available from:
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/24/18235971/jokowi-minta-pemda-segeradistribusikan-apd-ke-rumah-sakit.
10. The Guardian. Doctors threaten to quit NHS over shortage of protective kit
| World news | The Guardian [Internet]; United Kingdom: The Guardian; 2020
[updated 2020 Mar 24; cited 2020 Mar 25]. Available from:
https://www.theguardian.com/world/2020/mar/24/doctorsthreaten-to-quit-over-protective-equipment-shortage.
11. National Health Service UK. Guidance on supply and use of Personal
Protective Equipment (PPE). United Kingdom: National Health Service UK; 2020
12. Yuen KS, Ye ZW, Fung SY, Chan CP, Jin DY. SARS-CoV-2 and COVID-19: The most
important research questions. Cell Biosci. 2020; 10: 40. doi:
10.1186/s13578-020-00404-4 13. Mahtani KR, Heneghan C, Aronson JK. What is the
evidence for social distancing during global pandemics? A rapid summary of
current knowledge. Oxford COVID-19 Evidence Service[serial on the internet].
2020 [cited 2020 Mar 25]; [about 9 p.]. Available from:
https://www.cebm.net/what-is-the-evidence-for-social-distancing-during-global-pandemicsa-rapid-summary-of-current-knowledge/.
14. Thomas S, Nguyen K. Coronavirus social distancing breaches could lead to
fines and jail time, NSW Police announces [Internet]; Australia: ABC News; 2020
[updated 2020 Mar 25; cited 2020 Mar 25]. Available from:
https://www.abc.net.au/news/2020-03-25/nsw-policewill-fine-breaches-for-coronavirus-social-distancing/12089732.
Hormat kami,
Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Prof. DR.dr Siti Setiati, SpPD, K-Ger, MEpid, FINASIM
Tembusan :
1. Kepala Gugus
Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
Tidak ada komentar