Bek Che’h-Cho’h: Jargon Identitas Paslon Mualem-Dek Fadh di Aceh

Ilustrasi Muzakir Manaf.

Hamdan Budiman,
*Pemred Koran Aceh

"Bek Che’h-Cho’h" efektif membangun identitas politik, mendekatkan pasangan calon dengan masyarakat, dan meningkatkan daya tarik dalam pemilu.

Dalam dunia politik, penciptaan jargon atau istilah yang mudah diingat dapat menjadi salah satu strategi efisien untuk meningkatkan kesadaran pemilih terhadap suatu pasangan calon. 

Di Aceh, istilah “Bek Che’h-Cho’h” yang diperkenalkan oleh Mualem dalam debat perdana kandidat Gubernur Aceh menciptakan gelombang baru dalam terminologi lokal. 

Istilah ini menjadi viral di media sosial, bukan hanya sekadar kata atau frasa, tetapi juga menjadi identitas bagi pasangan calon Mualem-Dek Fadh. 

Momen ini menunjukkan betapa pentingnya bahasa dan komunikasi dalam meraih dukungan politik, terutama di daerah dengan budaya dan bahasa lokal yang khas.

Secara harfiah, padanan kata che’h-cho’h dalam bahasa Indonesia memang sulit ditemukan. Namun, maknanya yang mengisyaratkan “berisik” bek Che’h Cho’h jangan berisik atau “tenang” memberi konteks yang menarik. 

Dalam debat tersebut, Mualem menggunakan jargon ini untuk mengingatkan masyarakat agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh suara-suara gaduh yang bisa menyesatkan dalam menjalani proses demokrasi. 

Frasa ini dengan cepat menyebar di kalangan pemilih, menjadi bahan perbincangan dan memes yang mengundang tawa sekaligus kedekatan dengan konteks lokal.

Jargon Bek Che’h-Cho’h  telah mengingatkan para pemilih kepada karakter dan visi dari Paslon 02. 

Melalui pemanfaatan bahasa yang sarat akan makna dan identitas lokal, Mualem dan Dek Fadh berhasil menggugah rasa kepemilikan dalam masyarakat. Ini sangat penting di Aceh, di mana faktor budaya dan tradisi sangat berpengaruh terhadap pola pemikiran dan keputusan politik masyarakat. 

Dengan menciptakan sebuah label yang mudah diingat dan terasosiasi positif dengan calon, hal ini dapat menjadi keunggulan yang signifikan dalam merebut perhatian publik menjelang pemilihan.

Adapun kekuatan dari jargon ini juga terletak pada kemampuan untuk tetap relevan dalam diskusi sehari-hari di kalangan masyarakat Aceh. 

Ketika pemilih mulai menggunakan istilah ini dalam percakapan mereka, secara tidak langsung mendukung pengenalan dan menginternalisasi pasangan calon yang menjadikan istilah tersebut sebagai simbol dari kampanye mereka. 

Di era media sosial saat ini, di mana informasi cepat dan interaksi intens berlangsung, jargon ini berpeluang besar untuk bertahan dan menjadi salah satu pengingat dalam pemungutan suara.

Lebih jauh lagi, pemanfaatan Bek Che’h-Cho’h tidak hanya menciptakan efek viral, tetapi juga menangkap perhatian banyak pemilih yang mungkin dulunya pasif atau ragu-ragu. 

Kehadiran jargon ini bisa memicu diskusi lebih lanjut tentang apa yang diusung oleh Mualem dan Dek Fadh, mendorong masyarakat untuk lebih mengenal dan menilai perangkat dan visi mereka dalam pemerintahan. Bisa jadi salah satu potensi menjadi kunci sukses dalam menjangkau hati para pemilih.

Dengan semua faktor tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Bek Che’h-Cho’h telah berhasil menjadi jargon yang tidak hanya menyentuh aspek linguistik tetapi juga menyentuh jiwa politik masyarakat Aceh. 

Dalam konteks pemilihan Gubernur Aceh 2024, bisa jadi istilah ini akan menjadi pengingat yang kuat, yang membuat pemilih teringat akan pasangan calon Mualem-Dek Fadh dan, pada akhirnya, berkontribusi pada kemenangan Mualem - Dek Fadh.

Tentu saja frasa, bek Che’h - Cho’h, karu , itopiq wo idayah, beda dengan kata ironi, sinisme, bahkan sarkasme, mereka tak sekolah.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.