Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh: Sebuah Refleksi dari Saksi Mata
![]() |
Ilustrasi. |
Hamdan Budiman,
*Pemred Koran Aceh
Peringatan 20 tahun tsunami menjadi momentum untuk mengenang korban, menghormati ketahanan masyarakat Aceh, dan mendoakan kedamaian bagi mereka yang telah tiada.
koranaceh.net | Saat peringatan 20 tahun tsunami Aceh, suatu peristiwa yang hingga kini masih membekas dalam memori, suasana hati saya terasa berbeda.
Dulu, setiap kali mengenang tragedi itu, rasa sedih yang mendalam menyelimuti jiwa. Namun, seiring dengan berlalunya waktu, mungkin trauma itu sedikit demi sedikit tergerus.
Momen-momen yang tertanam dalam benak, seperti mayat-mayat anak kecil yang tersangkut di pagar dekat kampus UIN Ar-Raniry dan ribuan jenazah yang terkapar di lapangan kampus Unsyiah, kembali menghantui ingatan saya.
Hari itu, 26 Desember 2004, adalah hari yang mengguncang dunia, terlebih bagi masyarakat Aceh.
Tsunami yang Melanda Mengubah Segalanya Dalam Sekelebat
Saat tragedi itu terjadi, banyak yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Masjid Raya Baiturrahman, yang biasanya dipenuhi dengan suara azan, kini menjadi saksi bisu bagi mayat-mayat yang terbujur kaku.
Di tengah kegelisahan itu, terlihat juga mereka yang sekarat, tergeletak tanpa ada bantuan. Semua orang mengalami musibah, dan kami tidak tahu pasti bahwa peristiwa ini dinamakan tsunami, sesuai dengan istilah yang dipakai di Jepang.
Saya masih ingat bagaimana dalam keadaan panik, saya sempat berbincang dengan sahabat karib saya, yang kini telah tiada.
Dalam keadaan itu, saya berusaha menjelaskan kepadanya bahwa apa yang kami alami adalah hal yang disebut tsunami.
Ketika air laut mulai surut setelah gempa, saya merasakan bahwa nama tersebut sebenarnya sah dan tepat.
Kami melakukan evakuasi di Rumah Sakit Zainal Abidin, yang hancur parah tengah merawat ribuan pasien, termasuk Ibu saya yang tengah dirawat berhasil kami evaluasi ditengah genangan air yang mencapai dada orang dewasa, pagi minggu itu.
Di pagi, siang, maupun malam, segala upaya kami lakukan untuk mencari sanak saudara, melintasi jalan-jalan yang dipenuhi lumpur, pepohonan yang tumbang, serta reruntuhan bangunan.
Jalan Banda Aceh-Tapaktuan, Peukan Bada, Banda Aceh-Kreung Raya, dan Banda Aceh-Medan adalah beberapa rute yang kami telusuri demi menemukan keluarga kami. Sampai ke Lambaro Kapee, tempat di mana mayat-mayat dikumpulkan sebelum dikebumikan secara massal di Siron, kami tidak pernah menemukan kepastian.
Hingga kini, kubur mereka yang menjadi korban tsunami tersebut masih menjadi misteri bagi saya. Kami tidak mengetahui di mana mereka dikebumikan.
Refleksi ini tidak sekadar tentang kehilangan, tetapi juga tentang harapan. Saya berharap semua jiwa yang telah pergi akibat bencana itu mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya.
Semoga setiap kenangan pahit ini dapat menjadi pengingat akan kekuatan dan ketahanan masyarakat Aceh. Aamiin!
Peringatan ini bukan sekadar mengenang tragedi, tetapi juga merayakan keberanian dan harapan baru bagi mereka yang masih bertahan.
Tidak ada komentar