Kecerdasan Politik Aceh
  Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Dibentuk oleh sejarah perjuangan dan tekad mengubah nasib, kecerdasan politik Aceh menjadi cerminan semangat untuk bangkit dari bayang-bayang kekuasaan pusat.
  koranaceh.net | Aceh, daerah yang terletak di ujung barat
  Indonesia, tidak hanya dikenal karena kekayaan budaya dan alamnya, tetapi juga
  karena perkembangan kecerdasan politik yang unik. 
  Kecerdasan politik Aceh dapat dilihat sebagai kemampuan masyarakatnya dalam
  memahami, menganalisis, dan berpartisipasi dalam proses politik yang
  berlangsung, sejak zaman perang dan setelah periode konflik yang
  berkepanjangan. 
Kita akan membahas berbagai aspek yang membentuk kecerdasan politik Aceh, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial dan politik di kawasan ini.
Baca Juga:
Dibalik Berita
Akankah Mualem Berhasil Mewujudkan Harapan Wali Nanggroe?
  Pertama-tama, penting untuk mengakui sejarah panjang Aceh yang dipenuhi oleh
  perjuangan dan resistensi. 
  Dalam konteks ini, kecerdasan politik Aceh dibentuk oleh pengalaman kolektif
  masyarakatnya terhadap ketidakadilan dan kekuasaan. 
  Masyarakat Aceh memiliki kesadaran politik yang tinggi, terutama setelah
  konflik bersenjata yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
  pemerintah Indonesia. 
  Perjanjian Damai Helsinki 2005 menjadi titik balik, di mana masyarakat Aceh
  mulai memahami pentingnya partisipasi politik dalam mengklaim hak-hak mereka.
  
  Kecerdasan politik ini terbentuk melalui pendidikan, diskusi publik, dan media
  massa yang semakin berkembang.
Baca Juga:
Sycophant Dalam Deferensiasi: Sebuah Pendekatan
Kebakaran Hebat di California dan Pesan dari Tuhan
  Aspek lain yang mendukung kecerdasan politik di Aceh adalah keberadaan
  lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif dalam advokasi hak asasi
  manusia dan pengawasan terhadap pemerintah sejak masa DOM.
  Dimasa-masa konflik, LSM-LSM seringkali berperan sebagai mediator antara
  masyarakat dan pemerintah, memberikan informasi dan pelatihan kepada
  masyarakat tentang cara berpartisipasi dalam proses politik. 
  Mereka juga membantu meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kritis yang
  mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti, HAM, korupsi, penyalahgunaan
  kekuasaan, dan transparansi pemerintahan.
  Dampak dari kecerdasan politik ini dapat dilihat dalam partisipasi pemilih
  yang terus tinggi dalam pemilihan umum di Aceh. Yang sebelumnya resistensi
  terhadap kekuasan politik pusat.
  Setelah Perjanjian Damai yang ditandatangani di Helsinki, Filandia, masyarakat
  Aceh menunjukkan antusiasme yang besar dalam memilih pemimpin mereka, dan ini
  mencerminkan keinginan untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi.
  
  Dalam beberapa pemilihan terakhir, angka partisipasi pemilih di Aceh terus
  meningkat, setelah dulu atau pemilu tahun 1999 lalu berada dititik nadir,
  sehingga lahir istilah “wakil hantu”. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
  Aceh tidak hanya ingin menjadi penonton, tetapi juga agen perubahan bagi nasib
  daerahnya.
  Namun, tetap ada tantangan yang dihadapi oleh kecerdasan politik Aceh.
  
  Meskipun masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi, masih banyak yang perlu
  dilakukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Aceh. 
  Isu-isu seperti politik uang, manipulasi suara, dan ketidakadilan dalam
  pemilihan masih sering terjadi. 
Baca Juga:
OCCRP, Jokowi dan Kita
Kekuatan Media Online: Antara Manfaat dan Tantangan
  Oleh karena itu, pembangunan kapasitas dan pendidikan politik yang
  berkelanjutan menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa kecerdasan politik
  ini dapat terus berkembang dan berkontribusi terhadap kemajuan Aceh.
  Kecerdasan politik Aceh adalah hasil dari sejarah perjuangan dan keinginan
  masyarakat untuk mengubah nasib mereka, agar tidak selalu dibawah tekanan
  Jakarta.
  Dengan terus mengembangkan kesadaran politik, memperkuat lembaga-lembaga
  masyarakat, dan mendorong partisipasi aktif, Aceh dapat melanjutkan perjalanan
  menuju demokrasi yang lebih baik dan lebih berkeadilan. 
Kecerdasan politik ini tidak hanya akan membawa perubahan bagi Aceh, tetapi juga dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia dalam menghadapi tantangan serupa.[]
