“20 Tahun Mengecewakan”: MoU Helsinki Dipertanyakan, Aceh di Persimpangan Jalan
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Dari tangis Muzakir Manaf hingga tuntutan pisah dari pusat, suara rakyat Aceh kian nyaring di hadapan diplomat Uni Eropa
koranaceh.net ‒ Tanggal 15 Agustus 2025 menjadi momen reflektif bagi Aceh. Dua puluh tahun sudah penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
MoU itu dulunya menjadi titik balik sejarah, mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun yang menguras darah, air mata, dan harta rakyat Aceh. Namun, di usia dua dekade, perjanjian itu kembali dipertanyakan: apakah janji-janji yang tertulis di atas kertas benar-benar terwujud di tanah rencong?
Suasana duka bercampur amarah mewarnai peringatan itu. Mantan Panglima GAM, Muzakir Manaf (Mualem), tak kuasa menahan tangis saat menyebut MoU Helsinki sebagai “20 tahun yang mengecewakan.” Kalimat itu bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan gema kekecewaan kolektif dari mayoritas rakyat Aceh yang merasa kesepakatan perdamaian tidak sepenuhnya dijalankan.
Ledakan suara politik pun kian nyaring. Ketua DPRA, Zulfadhli, dalam sebuah aksi mahasiswa tanggal 1 September 2025, secara terbuka menggaungkan tuntutan “Aceh pisah dari pusat.” Sontak massa aksi menyambut dengan teriakan “Merdeka, Merdeka, Merdeka”—sebuah simbol bahwa luka lama dan ketidakpuasan belum sepenuhnya sembuh.
Diplomasi Uni Eropa: Antara Nostalgia dan Harapan
Di tengah gejolak itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, H.E. Denis Chaibi, bersama Antoine Ripoll, hadir di Banda Aceh pada 9 September 2025. Kunjungan mereka bukan tanpa makna: Uni Eropa pernah menjadi aktor penting melalui Aceh Monitoring Mission (AMM), yang pada 2005–2006 mengawasi pelucutan senjata GAM dan penarikan pasukan non-organik TNI/Polri.
Namun, kali ini suasananya berbeda. Wakil Gubernur Aceh, H. Fadhlullah, yang juga mantan kombatan GAM, secara tegas menyampaikan kegelisahan: regulasi yang dijanjikan dalam MoU Helsinki belum sepenuhnya diwujudkan oleh pemerintah pusat. Ia meminta Uni Eropa menyuarakan hal ini ke Jakarta, agar penyempurnaan regulasi tidak terus tertunda.
Kunjungan Dubes Uni Eropa membawa nostalgia tentang peran internasional dalam perdamaian Aceh, sekaligus membuka ruang diplomasi baru. Pertanyaannya: apakah Uni Eropa akan kembali memainkan peran aktif, atau sekadar menghadiri seremoni dua dekade perdamaian?
Antara Kekecewaan dan Cita Kemerdekaan
Benarkah rakyat Aceh kini bersatu menuntut kemerdekaan penuh? Pertanyaan ini sulit dijawab secara sederhana. Aceh memang memiliki sejarah panjang perlawanan dan identitas yang khas, namun realitas politik dan ekonomi hari ini jauh lebih kompleks.
Secara politik, Aceh berada dalam pusaran tarik-menarik kepentingan pusat dan daerah. Secara ekonomi, Dana Otsus yang besar belum sepenuhnya memberi kesejahteraan, justru memperlihatkan wajah oligarki lokal. Sementara secara geopolitik, dunia sedang berada dalam ketegangan: perang di Timur Tengah, rivalitas Amerika–China, hingga arus globalisasi energi dan sumber daya alam.
Dalam konteks ini, isu kemerdekaan Aceh memang bisa menggema, tetapi jalannya tidaklah mudah. Dukungan internasional belum tentu hadir, apalagi jika melihat kepentingan strategis negara-negara besar terhadap stabilitas Indonesia sebagai kekuatan di Asia Tenggara.
Menatap Masa Depan: Antara Realitas dan Mimpi
Dua puluh tahun MoU Helsinki mengajarkan bahwa perdamaian bukan sekadar penandatanganan dokumen, tetapi proses panjang membangun kepercayaan, menegakkan keadilan, dan menyejahterakan rakyat. Kekecewaan yang muncul saat ini adalah alarm keras bahwa pemerintah pusat harus serius menyelesaikan janji-janji MoU, bukan membiarkannya menjadi catatan sejarah yang digerogoti waktu.
Uni Eropa, yang dahulu hadir sebagai mediator, kini kembali mendapat panggilan moral. Apakah mereka akan membantu mengawal penyempurnaan MoU, atau sekadar hadir dalam seremoni peringatan?
Bagi rakyat Aceh, masa depan perdamaian masih berada di persimpangan jalan. Antara menerima “setengah hati” dari MoU yang belum sempurna, atau terus menggaungkan cita-cita yang lebih besar: kemerdekaan penuh. Namun, pada akhirnya, pilihan itu akan ditentukan oleh sejauh mana keadilan, kesejahteraan, dan penghormatan terhadap Aceh benar-benar diwujudkan. [*]
Tidak ada komentar