Kali Ini Kita Bicara Janji-Janji Palsu Terowongan Geurutee
Oleh Hamdan Budiman
Pemred Koran Aceh
Kini, kali ini di tahun 2025, kita bicara lagi usulan lama dan usulan yang sama kembali dihidupkan oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf.
Ia mengulang narasi lama: tingginya angka kecelakaan, pentingnya konektivitas Barsela, urgensi keselamatan. Menteri PPN menyambut baik, Menteri PUPR mencatatnya.
Tapi rakyat sudah paham betul irama ini. Mereka sudah kenyang dengan kata-kata “akan dipertimbangkan”, “akan diperjuangkan”, atau “sedang dalam kajian.” Kata-kata itu tak pernah bisa menahan batu yang longsor atau menghentikan mobil yang tergelincir ke jurang.
Kesabaran rakyat Aceh menghadapi janji-janji palsu ini adalah ironi. Mereka yang paling menderita karena kondisi jalan, justru diminta untuk menunggu paling lama.
Mereka yang kehilangan keluarga karena kecelakaan, hanya bisa menguatkan diri dengan kalimat, “mungkin tahun depan sudah ada terowongan.” Tetapi tahun depan selalu berubah menjadi tahun depan lagi, tanpa kepastian kapan akhirnya tiba.
Refleksi dari kisah terowongan Geurutee ini lebih dalam dari sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah cermin tentang bagaimana negara memperlakukan rakyat di pinggiran.
Keselamatan masyarakat seakan kalah penting dibandingkan proyek-proyek mercusuar yang lebih terlihat di pusat kekuasaan.
Padahal satu terowongan di Geurutee bukan hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial di wilayah yang selama ini dipandang jauh dari mata.
Rakyat Aceh sudah terlalu sabar menunggu. Kesabaran itu bukan kelemahan, melainkan daya tahan. Tapi jika kesabaran terus dipermainkan dengan janji-janji palsu, maka yang lahir bukan lagi kepercayaan, melainkan kekecewaan yang membeku menjadi ketidakpedulian.
Saat itu terjadi, terowongan Geurutee tidak hanya menjadi simbol infrastruktur yang gagal dibangun, tetapi juga monumen dari rusaknya ikatan antara janji negara dan harapan rakyatnya.
Ada sebuah ungkapan lama di Aceh: “Rakyat sudah terlalu sering diberi harapan, tapi jarang diberi kepastian.” Ungkapan ini seolah menemukan wujud paling nyata dalam kisah panjang terowongan Geurutee—sebuah janji pembangunan yang lahir sejak awal 2010-an, tumbuh di atas harapan keselamatan rakyat, tetapi hingga kini masih mengendap dalam tumpukan dokumen usulan.
Gunung Geurutee bukan sekadar jalur pegunungan yang indah, tempat orang berhenti untuk menikmati laut lepas dari ketinggian. Ia adalah jalur maut yang menyimpan deretan kisah duka: kendaraan yang terperosok ke jurang, longsor yang menutup jalan, dan keluarga-keluarga yang kehilangan orang tercinta hanya karena infrastruktur yang tak kunjung diperbaiki.
Sejak lama rakyat Aceh tahu, bahwa jalur Banda Aceh–Barsela ini adalah urat nadi. Putusnya jalur berarti terputus pula denyut ekonomi, pendidikan, bahkan pelayanan kesehatan bagi mereka yang tinggal di pesisir barat selatan.
Maka, ketika usulan pembangunan terowongan Geurutee pertama kali muncul lebih dari satu dekade lalu, masyarakat menyambutnya dengan penuh harapan.
Tahun 2013–2014, kajian awal bahkan sudah ada. Lalu di era Gubernur Zaini Abdullah, suara itu dibawa langsung ke telinga Presiden Jokowi. Janji tindak lanjut pun terlontar. Namun, seperti biasa, janji itu menguap bersama angin, meninggalkan rakyat kembali berhadapan dengan jurang dan longsor.[]
Tidak ada komentar