Logika–Logika yang Cacat dari Pemerintah Iliza–Afdal
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
koranaceh.net ‒ Di Banda Aceh, logika tampaknya sudah resmi pensiun lebih cepat dari jadwal. Pemerintah Kota yang mengaku sedang “sesak napas” karena utang puluhan miliar, justru tega membeli mobil dinas baru seharga Rp3 miliar.
Ironinya, kata “rasionalisasi anggaran” terus diulang-ulang seperti mantra sakti, padahal yang dirasionalisasi hanya program rakyat, bukan nafsu gengsi pejabat.
Rakyat disuguhi janji efisiensi, sementara pejabat menikmati aroma jok kulit mobil mewah. Di tengah defisit, citra dibeli dengan ratusan juta, buzzer diberi makan, dan publik diminta percaya bahwa semua ini demi kepentingan bersama. Kalau ini namanya logika, mungkin logika itu sudah benar-benar tersesat di jalan.
Logika Defisit tapi Hedonis
Illiza sendiri mengakui bahwa Pemko Banda Aceh tengah menghadapi persoalan berat: utang yang diwariskan Rp39,8 miliar dan potensi beban baru sebesar Rp56 miliar akibat penambahan PPPK. Logika sederhana seharusnya berkata: jangan menambah beban dengan belanja mewah yang tak prioritas.
Namun, di tengah krisis fiskal, Pemko justru menganggarkan Rp3 miliar untuk pembelian mobil dinas baru bagi wali kota. Ini adalah kontradiksi terang benderang: bicara hemat, tapi belanja boros.
Logika Efisiensi yang Palsu
Pemerintah sering menegaskan bahwa mereka melakukan rasionalisasi anggaran. Kata “rasionalisasi” terdengar cerdas, tapi menjadi kosong ketika prakteknya dipakai untuk menjustifikasi belanja seremonial.
Mengurangi program masyarakat demi “efisiensi,” tapi di saat yang sama menganggarkan mobil dinas miliaran rupiah, jelas adalah efisiensi semu. Efisiensi hanya berlaku bagi rakyat kecil, bukan bagi elite penguasa.
Logika Citra Mengalahkan Realitas
Rp679 juta dikucurkan untuk mengelola citra dan komunikasi politik. Alih-alih menjadi jembatan transparansi, anggaran ini justru membuka ruang bagi “virus buzzer” yang kini menyebar dari istana pusat hingga ke balai kota.
Logika yang dipakai: menjaga citra berarti menjaga kepercayaan publik. Tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah citra dibeli, bukan lahir dari prestasi. Citra hanyalah kamuflase, sementara defisit tetap menghantui rakyat.
Logika Transfer Beban
Illiza mengatakan bahwa utang adalah warisan dari periode sebelumnya. Secara logika, ini adalah pengalihan isu — menunjuk pihak lain untuk menutupi masalah inti.
Memang benar warisan itu ada, tapi keputusan menambah beban melalui pengadaan mobil dinas tetap lahir dari kepemimpinan saat ini. Membenarkan salah langkah dengan menunjuk masa lalu hanyalah retorika yang melemahkan integritas.
Logika Kekuasaan di Atas Kepentingan Publik
Logika terakhir yang cacat adalah logika feodal: kekuasaan dianggap pantas diberi fasilitas, meski rakyat menjerit. Mentalitas ini berakar pada pemahaman jabatan sebagai “hak istimewa,” bukan amanah. Dalam logika publik, fasilitas negara harus digunakan demi pelayanan, bukan gengsi pejabat.
Rakyat Kenyang oleh Logika Palsu
Pada akhirnya, rakyat Banda Aceh tidak membutuhkan mobil dinas baru, apalagi buzzer yang sibuk memoles citra. Yang dibutuhkan hanyalah logika lurus: mengutamakan kebutuhan warga di atas gengsi kekuasaan.
Tetapi tampaknya, di Balai Kota, kalkulator anggaran dipakai bukan untuk menghitung uang, melainkan untuk menghitung cara paling indah menutupi defisit dengan retorika.
Jika pemerintah terus berpegang pada logika yang cacat ini, jangan salahkan bila rakyat suatu hari hanya akan menjawab dengan satu kalimat singkat namun pedih: “Kami sudah kenyang, terima kasih atas logika palsu Anda.” [*]
Tidak ada komentar