Eksploitasi Tambang Ilegal Mengatasnamakan Rakyat
Daftar Isi
Penulis:
Dr. Taufik A. Rahim | Pengamat Ekonomi Politik dan Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh.
Mafia tambang merusak alam Aceh dengan dalih tambang rakyat, merampas hak dan masa depan rakyat sendiri.
koranaceh.net | Opini ‒
Maraknya praktik eksploitasi tambang ilegal atau tanpa izin telah menimbulkan
dampak luar biasa terhadap kerusakan lingkungan hidup. Ironisnya, praktik ini
seringkali dijalankan dengan dalih “demi rakyat” atau “atas nama rakyat
pemilik lahan”. Padahal, secara historis, aktivitas pertambangan rakyat
sejatinya hanya bersifat tradisional, berskala kecil, dan dilakukan dengan
cara-cara sederhana, tanpa merusak lingkungan secara masif.
Alasan klasik yang sering dikemukakan adalah kerumitan urusan perizinan
tambang. Banyak warga menganggap proses administratif dan birokrasi perizinan
tambang begitu panjang, berbelit, dan memakan waktu. Karena itu, sebagian
memilih “jalan pintas” dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa
izin resmi dari lembaga pemerintahan yang berwenang. Dalihnya: mereka hanyalah
rakyat kecil yang ingin memanfaatkan lahan sendiri.
Baca Juga:
Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal yang sangat berbeda. Berdasarkan
temuan panitia khusus pertambangan minerba dan migas DPRA, terdapat sekitar
450 titik tambang ilegal tersebar di berbagai daerah Aceh, seperti Aceh Jaya,
Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah,
dan Pidie. Tambang-tambang tersebut dikelola menggunakan sekitar 1.000 unit
ekskavator. Masing-masing unit diwajibkan menyetor Rp 30 juta per tahun kepada
oknum aparat di wilayah kerjanya. Adapun total perputaran uang dari aktivitas
ilegal ini mencapai Rp 360 miliar per tahun.
Praktik ini tidak lagi bisa disebut sebagai tambang rakyat. Sebab, eksploitasi
dilakukan secara terorganisir, menggunakan alat berat, modal besar, dan
melibatkan jaringan perantara kuat yang memiliki akses terhadap kekuasaan.
Penggunaan istilah “tambang rakyat” hanyalah kedok untuk menutupi kegiatan
mafia tambang yang sesungguhnya sedang mengeruk kekayaan alam Aceh secara
brutal dan sistematis.
Dampak lingkungan dari aktivitas ini sangat serius. Penambangan di kawasan
hutan dan daerah aliran sungai telah menyebabkan kerusakan ekosistem,
hilangnya keseimbangan alam, dan meningkatnya risiko bencana banjir bandang di
berbagai wilayah Aceh. Kerusakan tersebut juga menimbulkan efek berganda
terhadap sektor ekonomi rakyat: lahan pertanian rusak, mata pencaharian
tradisional hilang, pengangguran meningkat, dan kemiskinan semakin parah.
Lebih memprihatinkan lagi, praktik tambang ilegal ini jelas melanggar hukum
nasional. Secara yuridis, kegiatan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena
melibatkan praktik penyetoran ilegal dan penyalahgunaan kekuasaan; dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, karena menyebabkan kerusakan lingkungan yang luas dan
berkelanjutan.
Sayangnya, banyak pelaku sulit dijangkau oleh hukum. Adanya keterlibatan oknum
aparat dan kekuatan modal besar menciptakan situasi di mana kejahatan
lingkungan ini berlangsung secara arogan dan ugal-ugalan. Dengan dalih
membantu rakyat, para pemilik modal dan pelaku tambang ilegal sesungguhnya
sedang memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, sambil menghancurkan masa
depan generasi rakyat Aceh.
Baca Juga:
Padahal, untuk mengoperasikan tambang dengan alat berat dibutuhkan modal
(capital) besar, tenaga kerja profesional (labour), serta
manajemen dan keahlian (entrepreneurship) yang matang. Semua itu
menunjukkan bahwa kegiatan tersebut sama sekali bukan bagian dari tambang
rakyat tradisional, melainkan industri ekstraktif ilegal berkedok kerakyatan.
Sungguh tragis dan tercela jika kekayaan alam Aceh dijarah atas nama rakyat
yang justru menjadi korban utamanya.
Karena itu, praktik kejahatan yang mengatasnamakan rakyat ini harus
dihentikan. Pemerintah Aceh perlu menunjukkan ketegasan dalam penegakan hukum
dan pembersihan jaringan mafia tambang yang berlindung di balik istilah
“pertambangan rakyat”. Tanpa tindakan nyata, Aceh akan terus menghadapi
bencana lingkungan, krisis ekonomi, dan ketimpangan sosial yang semakin dalam.
Tambang ilegal bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga merusak moral
publik, tatanan hukum, dan keadilan sosial. Rakyat tidak boleh terus dijadikan
objek politik dan korban kebijakan yang keliru. Pengelolaan sumber daya alam
harus dilakukan dengan benar, bijaksana, dan beretika, demi menjaga
kelestarian alam, keberlanjutan hidup, dan martabat rakyat Aceh di masa depan.
❖