Operasi Persepsi di Balik Apresiasi: Ketika Intelijen Bicara Soal Tambang Aceh

Daftar Isi

Hamdan Budiman
*Pemred Koranaceh.net
Dalam terminologi intelijen, ini disebut soft influence operation: tidak langsung menentang kebijakan, tapi menanamkan keraguan terhadap legitimasi moralnya.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Pernyataan pengamat intelijen Sri Radjasa MBA, yang mengaitkan penertiban tambang ilegal dengan “perut rakyat,” tampak seperti apresiasi terhadap langkah tegas Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf (Mualem).

Namun di balik pujian bersayap itu, tersimpan aroma operasi persepsi—upaya halus membelokkan makna kebijakan publik menjadi wacana empati sosial, padahal tambang yang disebut “rakyat” itu justru dikuasai mafia modal besar dan jaringan aparat.
Di tengah ancaman lingkungan dan korupsi tambang yang merajalela, pernyataan intelijen ini menimbulkan tanya: apresiasi tulus atau strategi menggagalkan penertiban?

“Negara harus menjadi jembatan antara hukum dan perut rakyat, bukan tembok di antara keduanya,” kata pengamat intelijen, Sri Radjasa, MBA, dalam satu kutipan yang beredar luas di media daring.

Pernyataan yang tampak filosofis itu sontak menarik perhatian publik Aceh, terutama karena konteksnya bersinggungan dengan kebijakan Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem), yang baru-baru ini menginstruksikan penghentian total seluruh aktivitas tambang ilegal di Aceh. Sri Radjasa menilai langkah Mualem berani dan strategis, namun belum diiringi dengan “strategi transisi yang matang” bagi masyarakat kecil yang menggantungkan hidup pada tambang rakyat. Sebuah pandangan yang, sekilas, terdengar empatik terhadap rakyat kecil.

Namun jika ditelisik lebih dalam, muncul pertanyaan serius: rakyat kecil yang mana? Karena dalam laporan Pansus Tambang DPRA, disebutkan bahwa tambang-tambang yang beroperasi di hutan dan pegunungan Aceh itu dikuasai oleh mafia berjejaring aparat, pejabat, dan pengusaha besar, bukan penambang tradisional.

Antara Apresiasi dan Arah Bayangan

Pernyataan Sri Radjasa bisa dibaca dalam dua lapis makna. Di satu sisi, ia tampak mengapresiasi keberanian politik Gubernur Aceh. Di sisi lain, ia menyelipkan pesan ambigu tentang “perut rakyat” — sebuah diksi yang membuka ruang tafsir, seolah-olah kebijakan penertiban tambang ilegal akan menekan nafkah masyarakat bawah.

Padahal, berdasarkan fakta di lapangan, keuntungan tambang ilegal di Aceh tidak pernah benar-benar menyentuh masyarakat miskin. Laporan resmi Pansus Tambang DPRA mencatat potensi setoran gelap dari sektor tambang ilegal mencapai Rp 360 miliar per bulan, dengan rata-rata Rp 10 juta per unit alat berat (beko) disetor sebagai “uang keamanan”.

Uang itu tidak masuk ke kas daerah, melainkan mengalir ke kantong oknum tertentu — sebagian di antaranya, justru berasal dari lingkar kekuasaan dan aparat. Dalam lanskap seperti ini, seruan tentang “perut rakyat” tampak lebih seperti pembenaran moral atas status quo daripada advokasi sosial yang tulus.

Antara Intelijen dan Persepsi

Menariknya, Sri Radjasa bukan sosok baru dalam pusaran isu politik Aceh. Dalam wawancara yang sempat viral di TikTok, ia menyebut ASNLF sebagai “musuh tradisional GAM kelompok Muzakir Manaf”. Ia bahkan menirukan gaya bicara Mualem dalam narasi yang seolah mengandung keakraban personal, sekaligus menyentuh wilayah sensitif hubungan antara politik lokal, eks kombatan, dan jaringan intelijen.

Maka ketika sosok seperti Sri Radjasa kembali muncul dalam isu tambang ilegal, sulit untuk tidak membaca pernyataannya sebagai bagian dari operasi persepsi — sebuah manuver lembut untuk memengaruhi opini publik, menciptakan ambiguitas moral antara penegakan hukum dan kepentingan sosial. Dalam terminologi intelijen, ini disebut soft influence operation: tidak langsung menentang kebijakan, tapi menanamkan keraguan terhadap legitimasi moralnya.

Antara Hukum dan Perut

Kutipan pembuka Sri Radjasa sesungguhnya mengandung kebenaran universal—bahwa hukum memang seharusnya tidak memisahkan diri dari kebutuhan rakyat. Namun, dalam konteks Aceh hari ini, justru hukumlah yang selama ini kalah oleh “perut” para pemangsa sumber daya, yang mengatasnamakan rakyat kecil untuk menutupi tambang ilegal yang dikendalikan jaringan modal besar.

Di titik ini, kebijakan Mualem untuk menertibkan tambang ilegal menjadi ujian kepemimpinan dan keberanian politik. Apakah ia sanggup menegakkan hukum di tengah tekanan dari para “raja kecil” tambang yang selama bertahun-tahun menikmati rente tanpa kontribusi terhadap daerah?

Apresiasi Sri Radjasa terhadap Mualem seolah manis, namun juga mengandung racun halus: pesan bahwa kebijakan berani itu harus “dilunakkan” dengan alasan sosial. Padahal yang dibutuhkan Aceh saat ini bukan lagi kompromi moral, melainkan keberanian menegakkan keadilan ekologis dan fiskal.

Sebab, jika tambang ilegal dibiarkan atas nama perut rakyat, maka sejatinya negara sedang memberi makan mafia, sementara rakyat hanya kebagian debu dan banjir lumpur.[]