Beredar Surat Terbuka Terkait Tolak Permintaan Bebas Tugas Akhir dan Uang Kuliah Mahasiswa Sebab Pandemi Covid-19



Banda Aceh - Beragam reaksi muncul di Indonesia di tengah situasi sulit hari ini akibat pandemi covid-19, salah satu reaksi muncul dari kalangan akademisi, termasuk dari Ikbal Afzal selaku Ketua Umum UKK Riset dan Publikasi Ilmian UIN Ar-Raniry Banda Aceh terkait tanggapannya kepada peristiwa Penandatanganan Petisi Online “Mahasiswa Tingkat Akhir” yang meminta opsi bebas tugas akhir dan bebas uang kuliah, Rabu (8/4/2020).

Ikbal dalam tulisan Surat Terbuka kepada Mahasiswa yang disiar melalui media online serta rilis disampaikan kepada koranaceh.net mempertanyakan alasan yang mendasari apa sebabnya dua opsi diajukan kalangan mahasiswa, tujuan dari gagasan tersebut, serta dampak signifikan bilapun dua opsi itu disetujui Kemendikbud.

Ironisnya, apa yang disampaikan melalui harapan besar kalangan mahasiswa agar dibebaskan tugas akhir juga dibebaskan uang kuliah bagi mahasiswa tingkat akhir tadi justru oleh Ikbal dianggap rancu dan tidak layak.

Menurutnya, sepatutnya kalangan mahasiswa yang kelak menjadi tulang punggung intelektual bangsa di masa depan juga kelak terlibat menyelesaikan persoalan bangsa harusnya memiliki senjata intelektualisme, namun justru lewat permintaan yang menurut Ikbal agak mengada-ngada, kalangan mahasiswa malah berpikir terbalik dari yang seharusnya dalam bereaksi di tengah pandemi covid-19 dunia.

Lewat Surat Terbukanya, Ikbal menganalisa bahwa ternyata dari penelusuran diketahui alasan para mahasiswa membuat gagasan pembebasan uang kuliah dan penghapusan tugas akhir ini adalah sentimental terhadap penghapusan Ujian Nasional kepada pelajar Sekolah Menengah Atas oleh Kemendikbud.

Bahkan Ikbal menganggap mereka para mahasiswa menggunakan alasan “sulitnya mengerjakan skripsi di tengah pandemi ini” sedangkan diketahui sampai sejauh ini tidak ada argumen yang kritis, rasional, tajam dan fundamental untuk mendukung gagasan mereka itu, ungkapnya.

Berikut cuplikan Surat Terbuka Ikbal:

[Mengenai penghapusan biaya kuliah, mungkin kawan-kawan semua berdiri di barisan itu karena alasan reaksioner dari kebijakan beberapa kampus yang memberikan subsidi beberapa ratus ribu rupiah uang kuliah kepada mahasiswanya.

Seharusnya, kita bukan terikut arus kebijakan tanpa adanya kritisisme terlebih dahulu terhadap kebijakan itu. Jika kita bandingkan sejenak, manakah yang lebih membutuhkan dukungan finansial antara mahasiswa yang kuliah online dengan jutaan manusia Indonesia yang berpotensi terserang pandemi covid-19?

Kuliah online yang hanya beberapa menit (kebijakan diambil dengan mengurangi waktu belajar dari waktu SKS seharusnya) melalui media sosial itu, paling jauh hanya memakan beberapa megabite kuota saja.

Bagaimana dengan kelakuan kita yang scrolling Instagram berjam-jam, bermain game sampai lupa kuliah, streaming youtube berjam-jam, ‘dengerin’ lagu online, atau bahkan video call dengan pacar yang tiap hari ketemu berjam-jam di kamar? Bukankah itu lebih memakan banyak energi internet? Ayolah kawan, coba kritis sedikit!]

Ikbal menyatakan lewat tulisannya bahwa situasi negara saat ini seharusnya semua kalangan lebih berpikir secara aktif terkait potensi serangan wabah covid-19, karena siapapun dapat saja terkena.

Ia mengusul sebaiknya seluruh kalangan di kampus mendorong untuk mendukung financial untuk penanganan wabah ini, dengan asumsi dana pemotongan uang kuliah dari mahasiswa dialokasikan untuk mendukung penanganan covid-19.

Karenan menurutnya, hal itu lebih memberikan signifikasi yang baik untuk percepatan penanganan wabah ini, terlebih lagi beberapa waktu yang lalu Pengurus Pusat Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran (ISMKI) sudah menyatakan sikap untuk turut serta membantu penanganan wabah ini (vide pernyataan Juru Bicara Presiden RI).

Ikbal, mengapresiasi langkah ISMKI khususnya mahasiswa kedokteran serta sosial untuk turut serta terjun ke lapangan untuk membantu penanganan wabah ini.

Berbeda pula dengan dua opsi yang diminta oleh kalangan mahasiswa di Aceh, persoalan penghapusan tugas akhir mahasiswa atau skripsi dianggapnya hanya beralasan sentimental terhadap penghapusan Ujian Nasional oleh Kemendikbud.

“Nampaknya kawan-kawan tidak memahami konteks disparitas signifikasi ilmiah antara Ujian Nasional dengan tugas akhir atau skripsi,” ungkapnya.

Penghapusan Ujian Nasional menurut Ikbal adalah untuk menjaga kesehatan pelajar supaya tidak tertular wabah ini, menurutnya hal tersebut adalah keputusan yang tepat dari pemerintah.

Pandangannya, bahwa signifikasi ilmiah yang dihasilkan dari Ujian Nasional ini juga tidak begitu berarti bagi keilmuan, paling jauh Ujian Nasional adalah bahan evaluasi nasional terhadap proses pembelajaran di sekolah. Maka dari itu, Kemendikbud dari jauh-jauh hari juga sudah menggagas wacana penghapusan Ujian Nasional pada 2021.

Ia beranggapan bahwa tugas akhir (skripsi) bukan hanya sebagai syarat kelulusan semata, justru skripsi adalah juga memiliki esensi penelitian dan pengembangan mahasiswa di dalam dunia keilmuan.

Ikbal malah curiga, dan berujar bahwa jangan-jangan para mahasiswa  yang ingin opsi penghapusan tugas akhir itu adalah karena mereka sudah tidak sanggup menjadi mahasiswa hanya karena tak mampu mengerjakan penelitian?

Padahal menurutnya, justru penelitian itu adalah energi perkembangan kehidupan dan peradaban, melalui riset kita itulah muncul ratusan ribu gagasan sebagai dasar munculnya terobosan maupun teknologi baru yang berguna bagi kehidupan masyarakat di kemudian hari.

Berdasarkan data SCImago dari tahun 1996 sampai tahun 2016 saja, publikasi terindeks global kita hanya 54.146 publikasi. Coba bandingkan dengan Singapura, Thailand dan Malaysia, kita jauh tertinggal, paparnya.

Di tahun 2016, kita di urutan 45 dunia untuk dokumen publikasi internasional, di Asia kita urutan 11, di ASEAN kita hanya memiliki 4.604 kutipan, dibandingkan Singapura yang mencapai 32.504 kutipan (citation).

Lebih parah lagi, jika kita melihat jumlah rasio peneliti dan penduduk. Di Singapura, terdapat 7 ribu peneliti setiap 1 juta penduduk.

Di Malaysia, terdapat 2.590 peneliti dalam 1 juta penduduk. Sedangkan Indonesia hanya 1.071 peneliti dalam 1 juta penduduk. Hal ini menunjukan bahwa dunia riset kita harus banyak dibenahi. 

'Hal ini sangat berbanding terbalik dengan gagasan mahasiswa untuk menghapuskan riset akhir mahasiswa. Terang saja, ini akan mendegradasi dunia penelitian Indonesia', tulisnya.

Setelah menguraikan beberapa data terkait rendahnya jumlah penelitian akademik di Indonesia, Ikbal justru mempertanyakan kembali apa sebenarnya yang mendasari keinginan diajukannya opsi hapus tugas akhir oleh kalangan mahasiswa.

Ia beranggapan semua alasan untuk mewacanakan penghapusan tugas akhir oleh mahasiswa adalah upaya mengada-ngada untuk tidak mengerjakan skripsi, hanya kehendak main-main serta kemalasan budaya membaca dan menulis yang masih menjangkiti dunia mahasiswa saat ini, atau malah ada situasi yang mempersulit mahasiswa dalam melakukan tahapan pengerjaan skripsi di lembaga akademik?

Di bagian akhir Surat Terbukanya, Ikbal menyampaikan seruan ke berbagai pihak selain kepada para mahasiswa yang enggan menulis tugas akhir juga berharap uang kuliah dihapus, seperti ini lengkapnya;

[Teruntuk seluruh stakeholder pendidikan di seluruh negeri, sudah sepantasnya kita mengambil kebijakan cepat dan terukur di dalam situasi yang genting ini.

Mahasiswa, dorong kampus untuk mengalokasikan dana kuliah kepada percepatan penanganan wabah corona, dukung ISMKI untuk turun ke lapangan membantu penanganan wabah di Indonesia, kerjakan skripsi kalian!

Kepada Yth. Dekan ( Terkhusus se-lingkungan UIN Ar-Raniry), mohon untuk menginstruksikan kemudahan penelitian kepada dosen pembimbing, kepala bagian/departemen, dan/atau pihak terkait. Karena sesungguhnya kawan-kawan saya di tingkat akhir (sebahagian) bukan tidak ingin melakukan penelitian. Tapi karena sulitnya melakukan komunikasi kepada dosen pembimbing atau kepada bagian yang eksklusif.

Kepada Yth. Rektor di seluruh kampus, mohon untuk mengambil kebijakan re-alokasi dana pendidikan kepada percepatan penanganan wabah di seluruh penjuru negeri. Kampus harus menjadi garda terdepan, kita punya ratusan bahkan ribuan mahasiswa kedokteran, pak. Dorong mereka untuk terjun ke lapangan membantu penanganan wabah ini, berikan APD yang sebaik-baiknya. Dokter-dokter tua, profesor sudah banyak yang meninggal, saatnya anak muda yang turun (meskipun dengan segala keterbatasan).

Kepada Yth. Mendikbud, mohon untuk tidak mendengarkan kicauan penghapusan tugas akhir, bahkan seharusnya kita melakukan penelitian yang komprehensif terhadap virus ini supaya kita dapat menemukan jalan keluar penanganan virus ini. Apakah itu melalui riset pembuatan antivirus, obat-obatan atau bahkan kebijakan lainya yang mendorong percepatan penanganan wabah ini.

Karena kondisi ini adalah tanggungjawab kita semua!

Semoga wabah ini segera berakhir, dan Indonesia kembali membaik.].

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.