Rakyat Aceh Miskin Akibat Mentalitas Pemimpin Korup

Sekretaris DPW PAN Aceh Periode 2005-2010 dan 2010-2015, Pemimpin Politik Muda Indonesia Tahun 2013 dan Ketua Umum Partai Politik Lokal GRAM.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Pemimpin memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa, daerah maupun komunitas. Pemimpin juga menjadi penentu baik-buruk kondisi sosial serta berhasil atau tidak berhasilnya suatu masyarakat untuk mencapai tahapan dalam mengejar kesejahteraannya. Pemimpin juga memilik andil besar dalam membentuk karakter dan perilaku masyarakatnya.

Sebagai tolok ukur silakan Anda mendatangi suatu kampung atau komunitas, Anda akan menemukan cerminan seorang pemimpinnya dalam perilaku masyarakatnya. Jika pemimpinnya cerdas dan memiliki manajemen, maka masyarakat itu akan teratur, jika pemimpinnya bodoh maka masyarakatnya centang perenang dan teradu domba sesama, karena pemimpin bodoh hanya berpikir untuk membangun kelompoknya semata.

Teori kepemimpinan menyebutkan bahwa pemimpin yang tidak adil sesungguhnya dia zalim, karena kehadiran dia sebagai pemimpin tidak untuk rakyat tapi dia hanya berpikir untuk kelompoknya. Ini adalah kebodohan yang nyata dalam kepemimpinan meski si pemimpin bisa saja pintar dalam bidang lain misalnya mencari uang untuk dirinya tapi dia tetap saja bodoh dalam kepemimpinan.

Saat ini terlihat paradigma yang terbalik, seseorang yang terlihat berada dan kaya bisa menjadi pemimpin karena masyarakat pengikutnya dalam kesulitan dan mencari tuan tempat mereka bisa meminta bantuan ala kadarnya. Ikatan emosional beginilah yang telah menjerumuskan masyarakat dalam lingkaran kemiskinan.

Padahal kalau saja mereka bersikap sebagaimana terjadi di beberapa kecamatan di Aceh Utara yang menolak sembako pemerintah atas bantuan covid-19 tentu saja keadaannya sudah lama berubah. Karena pemimpin itu akan menjadi sorotan publik dan akan mengevaluasi diri untuk menjadi lebih baik atas sikap rakyat yang sudah paham tentang hakikat kepemimpinan.

Pertanyaan penting yang harus dijawab terkait kepemimpinan adalah, mengapa masyarakat Aceh miskin? Apakah karena pemimpin atau takdirnya? Jawabnya sesuai dengan teori kepemimpinan adalah karena mentalitas pemimpinnya korup.

Korup itu bukan hanya sebatas melakukan korupsi terhadap uang negara yang bisa dijawab mereka bahwa faktanya mereka tidak ditangkap. Tetapi dalam segala aspek, misalnya dalam perencanaan pembangunan, dalam memandang masyarakat, sistem kerja yang boros, membangun birokrasi yang tidak berorientasi pelayanan rakyat.

Korup juga dimaknai ketika seorang pemimpin membiarkan permasalahan rakyat yang tidak bisa menuntut keadilan. Korup ada jika dalam sistem politik demokrasi tetapi mereka menjalankan oligarkhi, otoritarian, primordialisme yang berujung penguatan kelompok dengan melemahkan rakyat.

Korup juga terjadi ketika pemimpin tidak mengawal demokratisasi dalam partai politik dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat karena pola hubungan kepemimpinan di pusat dan di daerah dalam partai politik secara praktis dapat menggerus dan merusak desentralisasi yang sudah diperjuangkan sebelumnya.

Ketika demokrasi berkembang maka sikap pemerintah yang tidak lazim terhadap rakyat akan disoraki, diprotes dan dikritik. Lihatlah bagaimana dampak pemborosan uang negara ketika Pemerintah Aceh memilih mengantar sembako dan mencetak 'baluem kampanye sembako' yang isinya hanya Rp.200 ribu. Bila mereka mengirim langsung melalui rekening maka masyarakat mungkin bisa menerima Rp.750 ribu atau bahkan Rp.1 juta per kepala keluarga.

Itulah korup, selama pemikiran pemimpin yang cenderung tidak berorientasi untuk membantu melayani rakyat maka selama itu pula mereka termasuk korup. Hal ini berbeda dengan cara pandang orang yang kurang memahami persoalan sosial, mereka pasti menganggap sama saja karena mereka berpikir kasar tanpa strategi membangun produktifitas rakyat dan harga diri rakyat. Padahal perbedaan itu berdampak boros luar biasa dalam kualitas kerja pemerintah.[*]