MAJALAH NEUROK; Resmi Dilaunching Hari Ini, Perjalanan Panjang Sebuah Cinta Aceh dan Bahasanya




Banda Aceh –
Berbagai pihak sudah menantikan launching resmi Majalah Neurok, satu-satunya majalah berbahasa Aceh dengan diakritik (penanda bunyi secara fonetik) di Aceh di era kekinian, pada saat diluncurkan di Gedung PWI Aceh, Banda Aceh, berbagai pihak antusias atas peluncuran secara resmi ke publik, Senin (12/10/2020).

Hadir dalam peluncuran perdana Majalah Neurok, Prof. Yusni Sabi, P. HD selaku pengarah juga Dr. Husaini Ibrahim, acara launching dibuka dengan paparan Nab Bahany AS mewakili pimpinan umum majalah ini Ayah Panton yang berhalangan hadir sebab sakit.

“Majalah 'Neurok' sebuah majalah berbahasa Aceh, edisi perdananya, siang tadi kami luncurkan dalam suatu acara peluncuran khusus, di Gedung PWI Aceh, Banda Aceh.

Kehadiran majalah berbahasa Aceh ini, kita harapkan, setidaknya dapat mempertahankan keaslian bahasa Aceh yang sudah diambang kepunahan” ujar Nab Bahany AS yang selain dikenal budayawan Aceh juga wartawan senior.

Sebuah perjalanan panjang telah dirintis Ayah Panton terhadap pesatnya perubahan situasi penggunaan Bahasa Aceh di seluruh kawasan, paling tidak sejak 2005, niat untuk menghasilkan karya media massa dengan memakai Bahasa Aceh utuh di seluruh bagian seperti halnya majalah Neurok kali ini baru kesampaian.

Namun demikian, tercatat majalah Neurok sempat hampir terbit pada era 2015, saat itu Ayah Panton telah mengulas dami (naskah) Neurok di hadapan Wali Nanggroe Aceh PYM Teuku Malik Mahmud Al-Haytar berbagai hal diulas secara 100 persen independen tentang Aceh utamanya adat, hukum, qanun, reusam dan peukateun dan peyasan orang Aceh. 

Perjalanan penerbitan majalah dimaksud di era 2015 tersebut kini mencapai tahap perubahan dan dukungan signifikan dari berbagai pihak, tak terkecuali Pemerintah Aceh dalam hal ini Plt. Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT telah merekomendasi penerbitan Neurok, dan Wali Nanggroe Aceh pun tetap memberikan support secara proaktif sebagaimana terdahulu. 

Bagian-bagian pokok sejarah kebahasaan Bahasa Aceh sebelumnya telah direfleksikan serta dengan pedoman ilmiah sekaligus tanpa menghindari popularisme Bahasa Aceh masa kini pada akhirnya menjadikan pencetus Neurok (Ayah Panton) menguatkan pola penulisan sebagaimana artikulasi pengucapan yang relevan antara tulisan dan pembacaan (diakritik). 

Hal ini sekaligus menjadi wahana bacaan bagi seluruh dunia dalam mempelajari bahasa Aceh, seluruh kepentingan penerbitan majalah Neurok ini sendiri telah disepakati tidak mengandung unsur-unsur kontroversi baik tata Bahasa maupun isi. 

“Pada 2005 tidak sempat terbit tetapi hanya dami Neurok yang dapat kita siapkan ketika berkordinasi dengan Wali Nanggroe Aceh PYM Teuku Malik Mahmud Al-Haytar” Ungkap Ayah Panton saat dihubungi via WhatsApp. 

“Sepatutnya berbagai pihak dapat menjunjung tinggi nilai-nilai Bahasa suatu bangsa, suku, etnik dan lainnya, karena itu, kami mengingini eksistensi bahasa Aceh dalam konsep yang lebih menyemai benih regenerasi berbahasa, khususnya menulis dan membaca,” paparnya. 

Tampak dominasi para undangan saat lounching Neurok hadir dari para awak media, jurnalis, editor, ilmuan bahasa dan ilmuan sejarah. Para undangan juga memiliki kesempatan langsung mendapatkan Neurok secara perdana di lokasi. 

”Kita distribusi Neurok ke seluruh dunia, jadi bagi siapa pun dan asal negara manapun silakan menghubungi kami untuk berkesempatan memiliki majalah Aceh tersebut,” ujar Hamdan Budiman selaku Ketua Panitia Lounching Neurok. 

Untuk diketahui, perihal bahasa Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Bab XXXI terkait Kebudayaan, telah ada dua pasal berkaitan erat dengan persoalan bahasa Aceh agar menjadi pedoman dalam pelaksanaan. 

Sebagaimana amanat Pasal 221 ayat (3) ; bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal, ayat (5) yang menyatakan ’Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) serta (4) diatur dengan qanun. 

Demikian pula halnya bunyi Pasal 222 UUPA tersebut, bahwa; ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh memelihara dan mengusahakan pengembalian benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dan merawatnya sebagai warisan budaya Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 Pasal (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh. 

Melihat pokok-pokok kewenangan Pemerintah Aceh dalam menjunjung tinggi kebudayaan Aceh khususnya soal bahasanya yang termaktub dalam UUPA tersebut, kehadiran majalah Neurok secara kontributif publik patut mendapat sokongan seluruh pihak, utamanya pemerintah dan masyarakat luas, sebab prakarsa terbitnya media massa berbahasa Aceh seperti halnya Neurok penting sebagai signal opitimisme. 

”Pertanyaannya adalah, apakah qanun-qanun sebagaimana perintah Pasal 221 dan Pasal 222 UUPA sudah diqanunkan?” ungkap Ayah Panton sebagai sebuah refleksi bagi urgensi pemertahanan bahasa Aceh di masa kini.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.