Tidak Ada Dokumen, Tidak Ada Sejarah, Berikut 4 Poin Hasil Rapat Ombudsman Terkait IPAL

 


Rapat Permasalahan IPAL & Solusinya, Ombudsman RI. Senin (19/4/2021).

Banda Aceh – Menindaklanjuti rencana Ombudsman RI Perwakilan Aceh yang diketuai Dr. Taqwaddin Husin, SH, SE, MS, rapat berkenaan permasalahan IPAL dan solusinya akhirnya digelar pagi tadi, menghasilkan 4 poin hasil kajian yang diikuti oleh para undangan khusus peserta terbatas, Senin (19/4/2021).

Berbagai isu berkenaan IPAL mencapai puncak di tahun 2021, sedangkan di era 2012 pun persoalan IPAL khususnya di kawasan zona yang melingkupi TPA Gampong Jawa serta kawasan Gampong Pande telah mendapatkan opini beragam dari tokoh publik, sejarawan, ilmuan arkeologi, termasuk para tokoh pengkajian dampak lingkungan dsb.

Selain rapat fokus penelaahan IPAL secara komprehensif, Ombudsman RI Aceh juga menggerakkan bersama seluruh pihak dapat menghasilkan solusi sebagai upaya penyelamatan nilai sejarah dan ragam kajian cagar budaya yang inklud terkait pentingnya adanya pengkajian dampak pembangunan IPAL bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya Kota Banda Aceh.

Hal tersebut sebab pembangunan IPAL dengan skala prioritas tidak punya tujuan lain selain untuk menciptakan nilai tambah bagi lingkungan sekitar sebagai kepentingan pembangunan yang bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak, masyarakat sosial, perekonomian, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai peradaban manusia.

Pertemuan rapat selaku upaya nyata mandiri oleh Ombudsman RI Aceh untuk mencari solusi alternatif dilangsungkan di ruang rapat kantor Ombudsman RI Aceh, Jalan Banda Aceh-Medan, Gampong Tanjong, Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar , Senin 19 April 2021 dimulai pukul 09.30 s.d. 12.30 WIB

Berbagai soal sudah disampaikan di dalam pertemuan undangan rapat dalam upaya tindak lanjut proses investigasi atas prakarsa sendiri oleh Ombudsman RI perwakilan Aceh terkait masalah Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) di Banda Aceh.

Empat Poin Hasil Rapat Ombudsman

Adapun hasil pertemuan rapat ini menghasilkan empat poin sebagaimana disampaikan Dr. Taqwaddin Husin di hadapan sekitar 50 peserta, 29 diantaranya sebagai undangan perwakilan lembaga. Empat poin tersebut sbb;

(1) Perlunya dilakukan heritage impact assessment; (2) perlunya dibentuk tim terpadu, (3) perlunya sosialisasi dan edukasi ke warga masyarakat; (4) perlunya manajemen media.

Heritage impact assessment sangat penting sebab menjadi suatu dokumen nantinya terkait pelaksanaan program apapun yang bersentuhan dengan lingkungan dan kesejarahannya (nilai-nilai), hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Husaini Ibrahim selaku Akademisi Sejarah dan Arkeolog sebagai salah satu peserta yang hadir.

“Tidak ada dokumen tidak ada sejarah, sebagai bukti fisik dokumen sejarah bersamaan dengan arkeologi saling mendukung,” ungkap Husaini.

Terkait pentingnya pembangunan untuk disosialisasikan, dalam hal ini Pemko Banda Aceh belum maksimal melaksanakan hal tersebut, sehingga atas adanya upaya pemerintah untuk menghentikan dan atau untuk melanjutkan pembangunan IPAL, hal ini tampak terjadi di dalam problematika silang pendapat di media massa di era sekarang dalam prospek IPAL Gampong Pande.

Terkait IPAL ini segenap pihak masih sangat berkesempatan menguatkan data dan fakta. Pentingnya kajian terstruktur merupakan suatu upaya secara hierarki penelitian kesejarahan, kearkeologian, maupun perlindungan terhadap kemungkinan adanya situs seperti batu nisan aceh, diwai, struktur bangunan sejarah (benteng, pasar, dsb). 

Sehingga apabilapun nanti pertemuan diskusi yang disponsori oleh Ombudsman RI Aceh menghasilkan keputusan yang mengikat untuk melanjutkan IPAL atau menghentikannya maka nilai-nilai hirarki penelitian tersebut dapat menjadi wacana yang konstruktif untuk masa depan pembangunan di Aceh dalam berbagai sektor lainnya yang tipikal kasusnya mirip.

Analisa Amdal

Sosialisasi kebijakan Pemko Banda Aceh terkait akan melakukan proses lanjutan terhadap pembangunan IPAL di kawasan Gampong Pande menurut jumlah zonasi yang tercover ternyata masih diperlukan kajian Amdal, lanjutan ini disebabkan oleh jumlah areal kawasan proyek IPAL yang ternyata lebih luas dari yang diperuntukan. 

Hal ini menyebabkan diperlukan kajian lanjutan terkait ranah kebutuhan adanya Analisa Amdal di dalamnya, serta tahap-tahap yang berkaitan dengan hal tersebut.

Hasil penelitian Geo Radar yang pernah dilakukan oleh Prof. TA. Sanny dianggap cukup spesifik sebagai sebuah materi kajian ilmiah guna pemetaan zonasi kawasan sejarah peradaban Gampong Pande dan sekitarnya.

Diketahui pula dari kajian ini berupa pergeseran atau sebaran titik zonasi lokasi pusat peradaban di era sebelum kawasan Gampong Pande-Gampong Jawa sekitarnya masih utuh belum terdampak pengikisan abrasi, turunnya permukaan tanah, efek Tsunami sebelum tahun 2004, sehingga pemetaan zonasi IPAL nantinya dapat sekaligus dipertegas kebenarannya atas adanya anggapan bahwa IPAL dibangun di atas wilayah kerajaan Aceh atau tidak di kawasan tersebut.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, telah adanya penghentian pembangunan IPAL dilakukan oleh Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman, dan penghentian tersebut pun telah menjadi perhatian bersama Pemko Banda Aceh dengan Dewan Perwakilan Daerah Kota Banda Aceh.

Dasar kajian keputusan penghentian tersebut disebutkan sebagai tambahan waktu bagi pentingnya melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) mengacu survey yang dilakukan atas tanah sebagaimana kutipan pikiranmerdeka.co

Said Fauzan dalam website tersebut menyebutkan; “Langkah yang kita ambil cukup sangat hati-hati, Kita melibatkan semua elemen dari pemerintahan, para warga, Tim Arkeologi, TACB (Tim Ahli Cagar Budaya), BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Aceh, Keuchik Gampong Pande Amiruddin, Pewaris Kerajaan dan para tokoh masyarakat,” kata Said Fauzan.

Perwakilan DLHK menyampaikan bahwa kegiatan pembangunan IPAL memiliki manfaat serta tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. 

MPU Kota Banda Aceh yang diwakili oleh Dr. Damanhuri selaku Ketua MPU Kota Banda Aceh memaparkan bahwa pihaknya baru mengetahui persoalan IPAL pada 8 April 2020, 

"Kami hanya mengetahui di ujung berita, secara psikologis. Setelah melihat langsung ternyata tidak bermasalah," ungkap Damanhuri.

Secara historis tidak mungkin Banda Aceh lahir tanpa sejarah, dari sisi sosiologis telah banyak tulisan yang menyampaikan bahwa kawasan Gampong Pande merupakan peninggalan yang berpengaruh bagi masyarakat menyangkut nilai leluhur yang perlu dilindungi, lanjut Damanhuri.

Ketua MPU tersebut menyatakan "IPAL tetap jalan, situs tetap selamat agar dapat dilakukan pemantauan, segala yang disampaikan di dalam rapat ini disaksikan oleh Allah SWT. Bahwa MPU tidak pernah menolak, jika terpaksa dibangun IPAL maka kepentingan situs seberapa jauh dapat dilakukan penyelamatan harus diprioritaskan," tutupnya.

Kajian Cagar Budaya Banda Aceh

Pembangunan IPAL di Gampong Pande khususnya yang termasuk di dalam zonasi ternyata belum memiliki verifikasi secara lengkap berdasarkan pengakuan BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Kota Banda Aceh, dari adanya temuan pihak mereka belum ada tim khusus yang memenuhi standar kelayakan sebagai arkeolog.

Dari pihak BPCB Aceh-Sumatera memaparkan; (a) Banda Aceh sarat dengan sejarah,  banyak peninggalan arkeologi di kawasan pesisirnya karena banyak bencana alam hingga menyebabkan situs arkeologi terdeposit dalam tanah; 

(b) Sebuah situs baru dapat diakui setelah di-SK-kan, untuk situs di Banda Aceh belum ada SK tim yang bersertifikat, tim ini diperlukan agar bisa menetapkan kawasan cagar budaya (SK tim bersifat sebagai ahli cagar budaya).

(c) Harus ada SK Walikota Banda Aceh untuk penetapan cagar budaya sehingga dapat disesuaikan dengan pembangunan nantinya, sedangkan saat ini situs-situs yang ada di kawasan IPAL hanya baru diduga cagar budaya.

Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, T. Arif Khalifah menyampaikan bahwa semua pihak memiliki semangat yang sama guna menyelamatkan situs sejarah yang ada dimanapun dalam kawasan Banda Aceh, karenanya tidak benar jika ada berita di medsos yang menyampaikan bahwa walikota maupun DPRK ingin menghancurkan situs sejarah.

"Kami menyampaikan kepada Ombudsman RI Aceh yang telah memfasilitasi forum rapat terkait IPAL ini, perlu diketahui pemerintah mempunyai sistem (SOP)," ungkapnya.

"Pada 2017 tim dari Pemko menyampaikan ke DPRK terkait dihentikannya pembangunan IPAL sambil menunggu kajian-kajian terkait, saat ini Pemko berbicara berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan jika ada penelitian lain dapat kita sandingkan, namun ternyata belum ada," lanjut pihak DPRK tersebut.

Tindak Lanjut Ombudsman 

Berbagai rapat telah digelar diinisiasi oleh berbagai pihak, kali ini, Ombudsman RI Aceh melaksanakan rapat terkait IPAL masih dalam pengkajian yang sama terkait menelusuri duduk pangkal masalah yang menyebabkan pembangunan IPAL menjadi tersiar silang pendapat tanpa adanya kejelasan fungsi kelembagaan yang lebih luas, silang pendapat yang makin mengkhawatirkan sehingga meresahkan banyak pihak.

Taqwaddin selaku Ketua Ombudsman Aceh dalam kesempatan rapat IPAL juga menyampaikan bahwa tindak lanjut dari hasil 4 poin pertemuan rapat tetap dilaksanakan, dengan memberi waktu paling cepat selama 14 hari usai rapat digelar, dan sampai batas 60 hari berikutnya.

Tindak lanjut tersebut nantinya sekaligus menjadi pertimbangan formal Ombudsman RI Aceh kepada pusat terkait kajian konfrehensif yang telah dimulai oleh Ombudsman RI Aceh sebagai langkah menguak secara jelas dan faktual IPAL Gampong Pande dan kawasan sekitar sebagai dokumen resmi yang mengikat yuridis dan akademis.

Ombudsman RI Aceh akan melahirkan solusi, saran, rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh Pemko Banda Aceh, jika tidak, maka walikota akan diberhentikan selama 6 bulan.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.