Abuya Habibi: Boleh Konser Musik di Aceh Selama Konteks Isi Tidak Menyalahi Hukum
Banda Aceh - Konteks yang disampaikan melalui konser musik harus sesuai dan tidak melanggar hukum, utamanya hukum Allah dan Sunah Rasul, hal tersebut disampaikan Abuya Habibi Muhibbudin Waly Al Khalidi saat menjadi salah seorang narasumber Kajian aktual Tastafi Banda Aceh bertajuk Perdukunan & Konser Musik; Malapetaka buat nanggroe Aceh? di Kyriad Muraya Hotel, Sabtu (17/9/2022).
Kajian yang berbentuk pengajian dengan tema perbincangan Perdukunan & Konser Musik tersebut berlangsung Kamis malam, 15 September 2022 dilaksanakan oleh Tastafi Banda Aceh dan dukungan lembaga lainnya; DPP ISAD Aceh, HIPSI Aceh, DPP ISKADA, juga Ikatan Pemuda Aceh Utara-Banda Aceh disiarkan live streaming di fanspage FB theacehpost juga FB Jambo Budaya .
Menurut Abuya Habibi putra dari ulama Aceh alm. Abuya Prof. Muhibuddin Waly, dirinya yang juga telah membuat buku terkait pertanyaan yang dibahas pada pengajian yang dihadiri sekitar 100 orang peserta tamu undangan pengajian, dalam bukunya 100 Tanya Jawab Lengkap Seputar Islam, dipaparkan juga Apakah Dukun dan Konser Musik Menjadi Malapetaka bagi Nanggroe Aceh?.
Kekhilafiahan, perbedaan pandangan terkait bolehkah musik atau tidak, hal itu menurut Abuya Habibi akan terus berlangsung hingga akhir zaman oleh para alim ulama, untuk menjawab apakah hukum dari musik, dipahami terlebih dahulu definisi musik, termasuk dari kamus KBBI.
"Definisi musik adalah kumpulan nada dan suara yang dikomposisikan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi irama, dari definisi ini, muncullah dua hukum, pertama hukumnya boleh, kedua tidak boleh," paparnya.
Mengutip riwayat dari Hadist Imam Ibnu Majah, suatu masa Nabi Muhammad SAW memasuki Kota Madinah, ada seorang wanita sedang memainkan rebana (tambo) dan bernyanyi, ketika nabi melewatinya, wanita itu lalu menyanyikan syair 'Ya Allah jadikanlah Muhammad sebagai tetanggaku,' menanggapi hal ini, kata Nabi 'Kalau engkau mencintai aku, maka Allah lebih mengetahui bahwa aku mencintaimu juga' ujar nabi.
Lantunan yang disampaikan oleh wanita tersebut dianggap boleh, tidak diharamkan hukumnya. Nabi tidak melarang seorang perempuan memujinya dan mengharap berdoa kepada Allah agar nabi bisa menjadi tetangganya.
Demikian juga dalam dua Hadist Sahih Riwayat Imam Al-Bukhari, ketika ada seorang perempuan sahabat nabi hendak merayakan hari pernikahannya, mengundang nabi dan beberapa anak-anak perempuan memukul rebana melantunkan syair 'Kami sedang bersama dengan orang mulia,' nabi Muhammad mendengar lantunan mereka dan tidak melarang.
Hadist kedua, meriwayatkan Rasulullah didatangi oleh seorang budak perempuan lalu berbicara kepada nabi 'Ya Rasulullah saya bernazar jika Engkau pulang dengan selamat dari perang, maka saya akan memukul rebana dan bernyanyi memujimu, boleh nabi?', 'silakan' kata nabi, nabi tidak melarangnya.
Kemudian peristiwa itu pun terjadi, bahkan para sahabat nabi ikut memukul rebana, namun sahabat nabi Umar Bin Khatab mengambil rebana malah mendudukinya, lantas nabi pun berkomentar 'Wahai Umar, sangatlah cocok bahwa setan sangat menakutimu'.
Mengutip riwayat kerajaan Aceh terkait musik, Sultan Malikul Zahir bin Sultan Malikul Saleh bersama Imam Batutah dalam sejarah Aceh dijelaskan terkait musik.
Sultan Malikul Zahir pada hari Jumat mengundang orang yang melantunkan syair saat hadir Imam Batutah (penjelajah dunia selama 29 thn), demikianlah sehingga dalam Kitab Rihlah Imam Batutah (versi Arab/hal. 37-38), ia sangat memuji ulama yang juga sultan Aceh sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah dan dekat dengan rakyat dan paham perintah Allah.
"Dengan demikian, nenek moyang orang Aceh telah memberi ilmu bahwa musik itu dibolehkan" ungkapnya.
"Musik berhukum boleh jika kita menggunakan musik untuk menyampaikan dakwah, boleh menggunakan musik jika untuk menyampaikna pesan kepada rakyat yang bermanfaat, digunakan untuk memuji-muji baginda Nabi Muhammad SAW," jelasnya.
Kalau musik menggunakan kata-kata, syair yang bermaksud untuk menyesatkan orang lain, mengajarkan kepada orang lain tentang cinta dunia, cinta lawan jenis, apalagi musik-musik yang tidak jelas maksudnya, maka dapat dikategori sebagai tidak dibolehkan musik.
Mengutip Fatwa Syeih Muhammad Abbas (Tengku Chik Kuta Karang), "Apabila di Nanggroe Aceh terjadi kemaksiatan yang sudah sangat sulit dihentikan dan telah dianggap biasa (maklum) maka akan lahir azab di atas, azab di bumi, dan azab di laut," kutipnya.
Dari fatwa tersebut dapat langsung dirasakan imbas dari kemaksiatan yang dimaksudkan Tgk. Chik Kuta Karang, ketiga-tiga jenis azab itu sudah terjadi di Aceh, puncaknya terjadi ketika Aceh sudah kacau balau, jelasnya.
Abuya Habibi juga mengutip berbagai riwayat lainnya guna menegaskan kebaikan yang mendasari niat bermusik dan nilai faedah di dalam bermusik adalah sebagai pedoman dibolehkan atau tidak diharamkannya musik di Aceh.
Namun jika musik tidak lagi mengandung kebaikan dan nihil faedah, musik menjadi tidak dibolehkan, diharamkan, sebab sebagai wujud perbuatan maksiat kepada Allah yang dapat menjadi sebab kehancuran dan turunnya azab bagi nanggroe Aceh.
Selain pemaparan 'boleh konser musik' oleh Abuya Habibi, hadir juga tokoh publik sebagai narasumber; Prof. H. Syamsul Rijal Perwakilan Majelis Adat Aceh yang menyorot soal 'keramaian', pengaturan agar dampak keramaian dari diselenggarakan konser musik di Aceh sepatutnya dapat ditangani secara baik dan tertib agar tidak terjadi pelanggaran syariat di saat konser musik dilangsungkan.
Demikian juga narasumber Tgk. Amer Hamzah perwakilan dari praktisi seni selaku praktisi seni Aceh, ia mengutarakan pengalaman kunjungan dan perbandingannya terhadap beberapa negara yang menerapkan konser musik dan pelarangannya,
Tokoh lainnya yang juga turut diundang menjadi narasumber, Muhammad Faisal perwakilan dari MPU Aceh (mewakili Abu Sibreh Ketua MPU Aceh), menjelaskan terkait apa dan bagaimana Fatwa MPU Aceh telah mengatur konser musik.
MPU Aceh hanya sekedar mengeluarkan fatwa, siapa yang akan melaksanakan (mengeksekusi)-nya, pihaknya telah menyerahkan kepada pemerintah sebab pemerintahlah yang memiliki kewenangan izin konser musik.
"Kewenangan MPU Aceh terbatas, hanya menyampaikan kepada pemerintah, sebaiknya pemerintah dengan perangkatnya yang melaksanakan," papar Muhammad Faisal.
"MPU Aceh tidak berhak mengeluarkan izin keramaian, MPU Aceh hanya menyampaikan fatwa dan tausyiah, agar bagaimana fatwa bisa diikut oleh pemerintah dan masyarakat, bagaimana kita bisa melaksanakan apa yang sudah difatwakan oleh MPU Aceh, agar bisa terlaksana," jelasnya.
Kajian yang berlangsung hampir tiga jam sejak dimulai pukul 08.00 WIB diikuti para santri, mahasiswa dan unsur EO maupun pengusaha sound system, juga diikuti para seniman Aceh antaranya; Syeh Gazali, Moritza Taher, Sarjev, Dindin Achmad, Muhrain, Apa Gense, Bang Joni, Cut Ratna, Erlinda Sofyan, sebagian besar seniman Aceh terlihat menyampaikan pertanyaan dan informasi guna merespon tema yang disuguhkan panitia.
Kesimpulan Menurut Abuya Habibi Muhibbudin Waly Al Khalidi
Konser musik itu ada yang boleh ada yang tidak, kita semua menyukai musik, yang tak suka ayo kita sukai selama tidak menyalahi Al-Qur'an dan Hadist, dalil-dalil telah dipapar-jelaskan duduk pangkal, menurut Abuya Habibi.
Ada satu hal yang kurang untuk disampaikan sebagai kesimpulan menanggapi pemaparan para narasumber, peserta pengajian yang berbentuk diskusi.
"Kita tidak pernah mengganggap Aceh ini kebersamaan, di Aceh sedang ada musibah, bisakah kita sedih bersama, di Aceh sedang ada maksiat, bisakah kita sakit bersama, ini yang masih menjadi penyakit sebagaimana disebut oleh Sultan Iskandar Muda sebagai 'musuh besar' orang Aceh" jelasnya.
"Ayo, kita semua setuju, konser itu setuju, lakukan terus, selama diridhai oleh Allah dan rasul, apa sih yang tidak boleh dalam konser, datang pada ulama, kita semua milik Allah, apakah kita tidak kembali pada Allah?," urainya.
Ia menganjurkan agar proses pelaksanaan konser musik itu dapat dilaksanakan dengan merujuk pandangan-pandangan ulama demi terselenggaranya hiburan di Aceh yang tidak mengundang musibah.
"Ayok kita bersama, jika Aceh sedang banyak sekali maksiat, harus turut sakit bersama, Aceh punya bersama, bukan punya ulama, Aceh bukan punya sastrawan, ayoklah kita bekerjasama," tutupnya.
Tidak ada komentar