Penegakan Hukum Pemilu: Regulasi Pro Penguasa
Oleh : Khaliza Zahara, SH*
Menghadapi pemilu tahun 2024 mendatang secara serentak di Indonesia termasuk di Kabupaten Pidie lakukan optimalisasi proses penegakan hukum.
Panwaslih Kabupaten Pidie menggelar Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Pemilu 2024 berlangsung di Sekretariat Panwaslih Kabupaten Pidie pada tanggal 03 November 2022 lalu.
Regulasi yang diperbincangkan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) merupakan dasar hukum utama untuk menangani secara represif pelanggaran Pemilihan Umum (Pemilu).
Ketentuan Pasal 455 ayat (1) dan Pasal 476, mengatur bahwa pelanggaran Pemilu meliputi: pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilu, serta pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan lainnya yang bukan pelanggaran pemilu, bukan sengketa pemilu dan bukan tindak pidana pemilu yang diproses dan diselesaikan oleh lembaga pengawas Pemilu.
Secara kelembagaan, berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedudukan Bawaslu berwenang menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilu, memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran administrasi pemilu, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang.
Dari hasil Rakor Penegakan Hukum Pemilu banyak yang dipaparkan salah satunya Akademisi Unimal Lhoksemawe Mulyadi menerangkan kepemiluan pada tahun-tahun sebelumnya baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.
Terdapat lima belas standar pemilu demokratis yaitu (1) stukturisasi kerangka hokum; (2) sistem pemilu; (3) penetapan daerah pemilihan/unit pemilu; (4) hak memilih dan dipilih; (5) lembaga penyelenggara pemilu; (6) pendaftaran pemilih dan daftar pemilih; (7) akses suara bagi partai politik; (8) kampanye pemilu yang demokratis; (9) akses media dan keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat; (10) dana kampanye dan pembiayaan kampanye; (11) pemungutan suara; (12) perhitungan suara dan tabulasi; (13) peran keterwakilan partai politik dan kandidat; (14) pemantau pemilu; (15) kepatuhan dan penegakan hukum pemilu.
Mulyadi menerangkan yang menjadi permasalahan fakta di lapangan berdasarkan pengalaman dan benar adanya bahwa pemungutan suara dan perhitungan suara/tabulasi adalah pemicu konflik paling ekstrem baik antara peserta pemilu, peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu.
Terdapat banyak pelajaran yang perlu ditarik dari pengalaman dalam menyelenggaraan Pemilu 2019 yaitu persoalan fundamental terkait desain sistem penegakan hukum pemilu maupun persoalan-persoalan teknis penegakan hukum.
Hal tersebut dapat dirasakan bersama pada penegakan hukum pemilu, penyelenggara pemilu lebih banyak menggunakan atau mendominasi pendekatan sanksi pidana, hal ini diperparah dengan meningkatnya ketentuan pemilu yang mengatur bentuk tindak pidana dan ancaman sanksinya dalam UU Pemilu.
Norma pengaturan tentang bentuk tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 diatur dalam 14 ayat (Pasal 72 dan 73), dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 norma pengaturan terkait ancaman pidana meningkat menjadi 4 pasal yang terdiri atas 26 ayat (pasal 137-140).
Selain itu pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 ketentuan pidana pemilu meningkat drastis menjadi berjumlah 51 pasal (pasal 260-311).
Jumlah norma pengaturan tentang tindak pidana pemilu dalam UU Nomor 8 tahun 2012 sedikit menurun menjadi 48 pasal, namun kenaikan jumlah norma pengaturan tentang bentuk-bentuk tindak pidana pemilu kembali terjadi dalam UU Nomor 7 tahun 2017 yang berjumlah 66 pasal (Pasal 488-554).
Sanksi pidana yang pada dasarnya merupakan ultimum remidium justru terlihat diposisikan sebagai alat utama untuk mengancam pihak-pihak yang melanggar dalam penyelenggaraan pemilu.
Pengutamaan pendekatan sanksi pidana dalam pemilu ini layak diperdebatkan mengingat sebagai sebuah kompetisi politik, sanksi administrasi yang dapat berupa pembatalan status kepesertaan pemilu hingga pembatalan status keterpilihan/kemenangan peserta pemilu-lah yang paling ditakuti oleh kontestan dalam pemilu.
Pidana badan dengan ancaman hukuman yang ringan, dengan alternatif denda, dan apalagi dibuka ruang bagi hukum percobaan tidak akan mampu secara efektif memunculkan efek jera.
Di sisi lain, ketentutan pidana yang diatur dalam UU Pemilu masih banyak mengandung norma dan frasa yang multitafsir, beberapa bersifat kepada delik materiil misalnya ancaman pidana terkait penghilangan hak pilih yang membutuhkan pembuktian fakta hilangnya hak pilih pada hari pemungutan suara, sehingga menyebabkan tidak semua norma ancaman pidana secara empirik dapat diproses oleh Bawaslu.
Hal ini diperparah banyaknya putusan yang dijatuhkan hakim dalam bentuk pidana percobaan pada pemilu tahun 2019 sehingga kurang menimbulkan efek jera.
Persoalan lain terkait penegakan hukum pemilu yaitu rumitnya desain sistem Penegakan Hukum Pemilu Konstruksi yang berlapis-lapis dan terkesan saling mengunci sehingga sering menghasilkan ketidakjelasan.
Desain yang saat diterapkan masih menggambarkan sangat banyak pintu birokrasi penegakan hukum pemilu, terutama dalam penegakan pidana Pemilu, hal ini tidak sesuai dengan prinsip penegakan hukum pemilu yang sederhana, cepat, dan bersifat binding.
Meskipun berbagai upaya perbaikan telah dicoba, misalnya dengan memasukkan unsur kepolisian dan kejaksaan dalam lembaga pengawas pemilu pada tahun 2004, hingga membentuk sentra Gakkumdu pada tahun 2009-2019, namun tidak ada jaminan hingga mampu memuluskan proses penanganan pidana pemilu yang diberi jangka waktu penyelesaian yang sangat pendek.
Konteks penegakan hukum pidana pemilu, seringkali terjadi ketidaksepahaman antar tiga lembaga yaitu Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu.
Keberadaan Sentra Gakkumdu yang diharapkan menjadi forum koordinasi antar ketiga representasi lembaga Bawaslu, Kepolisan, dan Kejaksaan sering gagal berperan dengan baik, keputusan yang telah diambil di forum Sentra Gakkumdu tidak jarang kemudian kandas saat proses pembahasan kedua untuk menentukan layak tidaknya dugaan kasus pelanggaran tindak pemilu di teruskan ke tahap penyidikan.
Seperti pada pemilu serentak Tahun 2019 lalu terkhusus di
Kabupaten Pidie Provinsi Aceh, ukuran penegakan hukum (law enforcement) dilihat
dari data kuantitatif Bawaslu RI tentang penanganan pelanggaran yang diproses
Bawaslu pada tahun 2019, total pelanggaran Pemilu sebanyak 7.299 kasus.
Terdiri
dari 392 pelanggaran pidana, 5225 pelanggaran administrasi, 127 pelanggaran
kode etik, 758 bukan pelanggaran, 97 pelanggaran masih dalam proses, 709
pelanggaran perundang-undangan lainnya, sedangkan jumlah kasus yang ditangani
Bawaslu Kabupaten Bulukumba sepanjang tahapan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019
sebanyak 50 kasus yang terdiri dari 23 laporan
dan 27 temuan.
Komisioner Panwaslih Pidie Junaidi Ahmad M.H dan Mukhtar Al Falah S.E juga mengatakan terkait penegakan hukum pemilu memang perlu ada perbaikan terkait regulasi atau peraturan yang mengatur tentang pemilu terkhusus penegakan hukum.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Lawrence M Friedman dengan teorinya tentang Sistem hukum (legal system), bahwa inti dari teori tersebut yaitu "bahwa efektif atau tidaknya terhadap proses penegakan (penindakan) hukum dipengaruhi (determinasi) oleh struktur hukum (legal structur), substansi hukum (legal substance), budaya hukum (legal cultur)”.
Pemikir hukum Indonesia Soerjono Soekanto menambahkan satu indikator yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, yakni sarana dan pra sarana hukum (legal facilities), sedangkan dalam perspektif pembangunan hukum (law development), selain indikator diatas, ada penambahan indikator yakni pelayanan hukum (law service).
Jika hal tersebut dapat diterapkan dalam melahirkan peraturan terkait pemilu maka peraturan atau “Regulasi Pro Penguasa” akan mustahil terjadi dalam pelaksanaan pemilu mendatang.
Kapolres Pidie dalam hal ini diwakili oleh Kasat Reskrim Iptu Rangga Setyadi S.Tr.K M.H juga memaparkan bahwa penegakan hukum pemilu dapat berjalan dan adil apabila semua unsur saling bersinegritas dalam menjalankan tugasnya masing-masing serta kecepetan dalam informasi juga berita hoaxs dapat dihindarkan dari konsumsi-konsumsi masyarakat.
Ilmu praktek hukum (legal practice) penegakan hukum
adalah menegakkan hukum materiil (substantive justice) dengan menggunakan hukum
formil (hukum acara). Penegakan hukum dengan hukum acara sangatlah penting
karena menghindari tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) oleh para pihak
pelanggar hukum.
Oleh karenanya, pada penyelenggaraan pemilu serentak Tahun 2024 setidaknya
sudah bisa ditelesik terkait beberapa tantangan penegakan hukum yang berpotensi
menghiasi proses penyelenggaraan pemilu serentak tersebut di antaranya struktur
hukum, tantangan regulasi dan budaya hukum di masyarakat.
*Penulis merupakan
Tidak ada komentar