Aceh Benar Daerah Rawan atau Hanya Sekadar Narasi Politis ?
Hamdan Budiman,
*Pemred Koran Aceh
Label 'daerah rawan' pada Aceh sering kali lebih merupakan warisan konflik masa lalu dan alat propaganda politik daripada realitas objektif
Aceh, sebagai salah satu provinsi di Indonesia, sering kali diidentikkan dengan status "daerah rawan" atau "daerah merah" selama pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Masyarakat dan pengamat politik sering menciptakan narasi ini, tetapi pertanyaannya adalah apakah Aceh benar-benar layak mendapat julukan tersebut atau apakah ini hanya merupakan isu yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu?
Sejarah Aceh yang penuh gejolak, termasuk konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, telah menciptakan stigma di masyarakat.
Konflik tersebut mengakibatkan banyak kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidakstabilan sosial-politik yang menciptakan citra Aceh sebagai daerah berbahaya.
Meskipun perdamaian telah terjalin melalui MoU Helsinki pada tahun 2005, masih ada sisa-sisa ketegangan yang dapat memicu kekerasan, terutama saat momen-momen penting seperti pemilu dan pilkada.
Namun, perlu dicatat bahwa situasi di Aceh sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan masa lalu. Setelah perdamaian, berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun kembali infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memperkuat demokrasi lokal.
Untuk itu, penting untuk mengkaji lebih lanjut apakah label "daerah rawan" ini masih relevan dalam konteks saat ini.
Isu keamanan selama pemilu di Aceh sering kali diwarnai oleh praktik intimidasi, dan ancaman, serta adanya kelompok-kelompok yang mencoba mengeksploitasi ketidakpuasan masyarakat untuk kepentingan politik.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai laporan mengenai kekerasan politik, penganiayaan terhadap aktivis, dan dugaan kecurangan pemilu juga semakin mencuat.
Hal ini, seolah-olah, memberi justifikasi bagi mereka yang berpendapat bahwa Aceh masih merupakan daerah rawan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak juga elemen politik yang memanfaatkan stigma ini untuk menguatkan narasi mereka demi kepentingan pribadi atau partai.
Politisi menjadikan isu keamanan sebagai alat propaganda, menyebarkan ketakutan untuk menarik simpati publik atau mengalihkan perhatian dari masalah-masalah mendesak lainnya, seperti korupsi dan ketidakadilan sosial.
Hal ini menciptakan kondisi di mana persepsi tentang satu daerah ditentukan oleh kepentingan politik tertentu, bukan oleh kenyataan yang ada di lapangan.
Di sisi lain, banyak masyarakat Aceh yang telah bertransformasi dan berkomitmen untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi dengan cara yang konstruktif.
Mereka ingin membangun Aceh yang lebih baik melalui pemilihan yang adil dan damai. Adanya pertumbuhan kesadaran politik dan partisipasi masyarakat dalam pemilu menunjukkan bahwa Aceh tidak hanya merupakan daerah rawan, tetapi juga sebagai kawasan yang berpotensi untuk kemajuan.
Meski ada elemen-elemen yang menimbulkan ketidakstabilan di Aceh, label "daerah rawan" sering kali lebih merupakan produk politik ketimbang realitas objektif.
Persepsi ini perlu ditanggapi dengan serius, namun juga harus disikapi dengan objektivitas dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Aceh, dengan segala potensi dan tantangannya, berhak mendapatkan kesempatan untuk berkembang tanpa stigma yang menghambat.
Tidak ada komentar