Krisis Kepercayaan: Jurnalistik di Tengah Badai
Daftar Isi
![]() |
| Ilustrasi. (Foto: kompas.id/Rony Ariyanto Nugroho). |
Jurnalisme ibarat kompas yang retak—ia harus ditempa ulang dengan etika, transparansi, dan keberanian agar kembali menunjuk arah yang benar.
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
*Pemred Koran Aceh
koranaceh.net | Editorial ‒
Krisis kepercayaan terhadap media dan jurnalisme telah menjadi isu yang
semakin mendesak dalam beberapa tahun terakhir. Dengan cepatnya perkembangan
teknologi informasi dan manipulasi berita, masyarakat kini lebih skeptis
terhadap sumber informasi yang mereka konsumsi.
Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi bagaimana jurnalisme
menghadapi tantangan ini dan mencari cara untuk membangun kembali kepercayaan
publik.
Penyebab Krisis Kepercayaan
Masyarakat dihadapkan pada arus informasi yang tidak terfilter dari berbagai
platform, terutama media sosial. Misinformasi (informasi salah tanpa niat
merugikan) dan disinformasi (informasi salah yang disebarkan dengan niat
merugikan) sering kali menyamarkan fakta yang benar.
Selain itu, polarisasi dan bias media. Media massa sering kali dituduh memihak
dan menunjukkan bias dalam penyajian berita. Ketika berita dilihat dari sudut
pandang ideologis tertentu, hal ini dapat memperburuk polarisasi dalam
masyarakat, sehingga memperdalam ketidakpercayaan terhadap media.
Selanjutnya kualitas jurnalistik yang menurun. Dalam upaya untuk memenangkan
persaingan di era digital, beberapa outlet berita cenderung
menyesuaikan konten mereka dengan apa yang dianggap menarik bagi audiens,
bukan berdasarkan fakta atau kualitas jurnalistik. Kualitas laporan yang
menurun ini turut berkontribusi pada krisis kepercayaan.
Baca Juga :
Krisis kepercayaan ini kemudian berdampak pada penurunan audiens. Banyak
outlet berita mengalami penurunan jumlah pembaca dan penonton.
Ketidakpercayaan ini menyebabkan audiens berpaling ke sumber informasi
alternatif yang mungkin tidak terverifikasi.
Tak hanya itu, krisis kepercayaan juga dapat menyebabkan ketidakpastian
politik dan sosial. Ini menjadi konsekuen sebab masyarakat tidak mampu
menentukan mana informasi yang dapat dipercaya, mengarah pada polaritas yang
lebih dalam dalam opini publik. Hingga akhirnya menjadi ancaman bagi
demokrasi.
Jurnalisme yang berkualitas adalah pilar demokrasi. Ketika kepercayaan
terhadap media menurun, dampaknya dapat meluas pada partisipasi masyarakat
dalam proses demokratis. Tentu perlu adanya upaya untuk memperbaiki
kepercayaan, antara lain dengan transparansi dalam jurnalisme.
Jurnalis dan lembaga media perlu berkomitmen untuk lebih transparan tentang
sumber informasi yang digunakan, serta metode dan proses peliputan yang
diadopsi.
Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami cara menilai informasi secara
kritis. Program literasi media yang ditujukan untuk meningkatkan pemahaman
tentang jurnalisme dan etika berita dapat membantu mengurangi efek
misinformasi.
Baca Juga :
Pendekatan yang lebih ketat terhadap kode etik dan praktik jurnalistik yang
baik perlu diterapkan. Jurnalis harus diarahkan untuk memprioritaskan akurasi
dan integritas dalam setiap laporan.
Krisis kepercayaan dalam jurnalisme adalah tantangan kompleks yang tidak hanya
membutuhkan perubahan dari media itu sendiri, tetapi juga kolaborasi dengan
masyarakat.
Dengan pendekatan yang tepat, edukasi, dan komitmen terhadap transparansi dan
etika, jurnalisme dapat mengatasi badai ini dan membangun kembali kepercayaan
publik. Sebuah media yang dapat dipercaya adalah fondasi penting bagi
masyarakat yang sehat dan demokratis.
Wartawan di Antara Bisnis Media dan Objektivitas Berita
Dunia jurnalistik saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga
objektivitas berita di tengah tekanan bisnis media. Wartawan diharapkan dapat
menyajikan berita yang akurat, objektif, dan tidak memihak, namun seringkali
mereka harus berhadapan dengan kepentingan bisnis yang dapat mempengaruhi isi
berita.
Bisnis media memiliki pengaruh besar terhadap isi berita. Banyak media yang
dimiliki oleh perusahaan besar atau individu yang memiliki kepentingan
tertentu. Hal ini dapat menyebabkan wartawan merasa tertekan untuk
mempromosikan kepentingan pemilik media atau sponsor.
Baca Juga :
Wartawan seringkali menghadapi dilema antara menjaga objektivitas berita dan
memenuhi kepentingan bisnis media. Mereka harus memilih antara menyajikan
berita yang akurat dan objektif, atau mempromosikan kepentingan tertentu untuk
memenuhi tuntutan bisnis.
Tekanan bisnis media dapat menyebabkan beberapa akibat negatif, seperti
kurangnya objektivitas. Berita yang disajikan tidak objektif dan memihak
kepentingan tertentu.
Pembaca atau pemirsa kehilangan kepercayaan terhadap media karena berita yang
disajikan tidak akurat atau objektif. Media yang tidak menjaga objektivitas
berita dapat merusak reputasi dan kehilangan kredibilitas.
Untuk mengatasi dilema ini, tentu saja perlu meningkatkan independensi agar
tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Kesadaran pentingnya menjaga
objektivitas berita dan tidak terpengaruh oleh tekanan bisnis. Tunduk pada
kode etik yang jelas dan tegas untuk menjaga objektivitas berita.
Dengan demikian, wartawan dapat menyajikan berita yang akurat, objektif, dan
tidak memihak, serta menjaga kepercayaan pembaca atau pemirsa.
