Arun Habis, Aceh Masih Harus Mengemis?

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh

Ketika hasil bumi habis disedot, mengapa pengelolaan sisa lahannya pun masih harus meminta izin

koranaceh.net Sejarah selalu menyimpan jejak luka dan harapan. Dari Aceh, kita mengenal Arun—nama yang dulu harum di kancah energi dunia, sebuah kilang LNG raksasa yang sejak 1978 menyumbang devisa triliunan rupiah bagi Indonesia.

Gas dari perut bumi Aceh diekspor ke Jepang, Korea, dan berbagai negara lain, menjadikan PT Arun NGL sebagai salah satu mesin penggerak ekonomi nasional.

Tetapi ketika cadangan gas itu habis pada 2015, Aceh tidak mewarisi kejayaan, melainkan lahan kosong, aset terbengkalai, dan ironi besar: bekas ladang emas yang meninggalkan rakyat tetap miskin.

Kini, dari “remah-remah” sisa PT Arun NGL itulah Aceh kembali mengajukan permintaan. Pemerintah Aceh, melalui Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) dan jajaran, meminta Presiden Prabowo Subianto memberi mandat pengalihan aset eks-PT Arun yang masih dikuasai Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).

Harapannya, aset itu dapat dihidupkan kembali melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang sudah ditetapkan sejak 2017.

Harapan ini bukan sekadar retorika. Studi awal menunjukkan bahwa potensi sewa lahan ±1.689 hektar di kawasan itu bisa menghasilkan Rp12,67 triliun dalam 10 tahun.

Bahkan pada tahun-tahun awal dengan okupansi rendah, proyeksi pendapatan tetap ratusan miliar rupiah per tahun. Belum lagi ribuan lapangan kerja yang dapat tercipta, serta peluang menjadikan Lhokseumawe sebagai simpul logistik dan energi baru di jalur strategis Selat Malaka—salah satu rute perdagangan paling sibuk di dunia.

Namun di balik potensi itu, kita kembali menyaksikan wajah lama perlakuan negara terhadap Aceh: ambivalen, penuh penundaan, dan setengah hati. Saat PT Arun masih berjaya, hasil gas Aceh mengalir deras ke kas negara, tetapi manfaat langsung yang dirasakan rakyat Aceh sangat terbatas.

Kini ketika hanya tersisa aset mati, Aceh justru harus mengemis agar diberi kewenangan mengelola tanahnya sendiri.

“Dari kilang raksasa ke ladang kosong, sejarah Arun adalah cermin perlakuan negara terhadap Aceh.”

Inilah paradoks besar dalam hubungan pusat dan daerah. Pemerintah pusat sering menyebut Aceh sebagai daerah istimewa dengan status otonomi khusus, tetapi dalam praktik, ruang kedaulatan Aceh terhadap sumber dayanya sendiri tetap sempit. 

Aset yang seharusnya menjadi modal masa depan justru dikunci oleh birokrasi pusat. Padahal, jika benar-benar diberi mandat, Aceh bisa mengubah sisa-sisa Arun menjadi mesin baru pembangunan, bukan hanya bagi Aceh, tetapi juga untuk Indonesia bagian barat.

Lebih dari sekadar angka triliunan, pengalihan aset eks-Arun adalah ujian moral dan politik: apakah negara belajar dari sejarah panjang penghisapan sumber daya Aceh? Apakah “perdamaian Helsinki” benar-benar bermakna pembangunan, atau hanya kesepakatan dingin tanpa keadilan ekonomi?

Aceh tidak meminta belas kasihan, melainkan hak yang rasional: mengelola kembali apa yang pernah diambil habis-habisan oleh negara. Dari remah-remah PT Arun NGL, kita bisa melihat jelas wajah perlakuan Indonesia terhadap Aceh. 

Dan dari remah-remah itu pula, sejarah memberi kesempatan bagi Presiden Prabowo untuk menulis bab baru: apakah hubungan pusat–Aceh akan tetap berjalan di jalan lama penuh ketidakadilan, atau berbelok menuju jalan baru yang memberi ruang martabat, kemandirian, dan keadilan ekonomi bagi rakyat Aceh?[*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.