RI yang Menumpang Tapak: Dari Linggarjati hingga KMB

Hamdan Budiman
* Pemred Koran Aceh

RI 1945–1950 rapuh secara politik dan teritorial, namun berhasil berkembang dari tapak Yogyakarta hingga menjelma menjadi NKRI melalui diplomasi dan ekspansi.

koranaceh.netSejarah Republik Indonesia (RI) sejak 1945 hingga 1950 sering dipahami sebagai periode penuh heroisme dan perjuangan fisik. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, periode ini juga menunjukkan betapa rapuhnya posisi politik RI di mata internasional maupun di dalam negeri sendiri.

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, RI memang menyatakan diri merdeka. Akan tetapi, fakta di lapangan jauh berbeda. Kedaulatan teritorial nyaris nihil. RI tidak memiliki wilayah yang benar-benar solid, kecuali ketika Kesultanan Yogyakarta dengan legowo memberikan tapak kekuasaan bagi republik muda itu. Dengan kata lain, sejak awal RI menumpang pada tanah yang dipinjamkan oleh kedaulatan lokal.

Perundingan demi perundingan dengan Belanda—Linggarjati (1946), Renville (1948), Roem-Royen (1949), hingga Konferensi Meja Bundar (1949)—semakin memperlihatkan lemahnya posisi RI. 

Belanda secara konsisten menciutkan ruang Republik. Hasil-hasil perundingan itu menempatkan wilayah RI hanya di sebagian Pulau Jawa: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. 

Ironisnya, justru wilayah-wilayah ini pun menolak dominasi RI. Penolakan tersebut menunjukkan bahwa “Republik” bukanlah representasi tunggal seluruh Nusantara, melainkan salah satu entitas politik di antara banyak kekuatan yang ada pasca-kemerdekaan.

Pada titik inilah, RI masuk ke dalam struktur Negara Republik Indonesia Serikat (NRIS). Posisi RI di NRIS bahkan tidak lebih dari “paket kecil” yang bertumpu pada tanah Yogyakarta. NRIS sendiri adalah hasil kompromi politik kolonial: sebuah federasi buatan Belanda yang merangkul negara-negara bagian eks-Hindia Belanda. Namun, justru melalui NRIS inilah RI mendapat peluang baru untuk memperluas legitimasi.

Momentum besar terjadi pada 15 Agustus 1950. Dengan memanfaatkan kekosongan kekuasaan pasca-perang serta warisan aparat militer Jepang, Inggris, Australia, dan NICA Belanda, RI secara bertahap “mencaplok” wilayah-wilayah eks-Hindia Belanda. 

Dari tapak sempit di Yogyakarta, RI menjelma menjadi NKRI dengan klaim menyeluruh atas seluruh bekas jajahan Belanda.

Sejarah ini memperlihatkan bahwa NKRI bukanlah entitas yang otomatis lahir pada 17 Agustus 1945, melainkan hasil dari proses politik, diplomasi, dan—tidak jarang—kekuatan militer yang memanfaatkan momentum. 

Legitimasi awal yang lemah akhirnya ditutup dengan langkah ekspansi yang berhasil membalikkan keadaan. Dari menumpang di Yogyakarta, Republik menjadi penguasa atas hampir seluruh kepulauan bekas Hindia Belanda.

Perjalanan RI 1945–1950 adalah kisah tentang rapuhnya negara baru yang hampir tidak memiliki tanah, tetapi kemudian berhasil menjelma menjadi kekuatan politik dominan. 

Bukan semata karena heroisme rakyat, melainkan juga karena kecerdikan memanfaatkan celah internasional dan warisan kolonial. Dari sini, NKRI berdiri bukan di atas tanah kosong, tetapi di atas riwayat tarik-menarik kepentingan antara Belanda, kekuatan asing, negara-negara bagian, dan republik itu sendiri.[*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.