Tata Kelola Pengungsi di Indonesia Hadapi Dilema Regulasi, Anggaran, dan Sentimen Sosial
Salah seorang staf UNHCR membantu pengungsi Rohingya turun dari kapal di Aceh Selatan, pada Kamis (24/10/2024) lalu, setelah berbulan-bulan di laut. (Foto: UNHCR/Amanda Jufrian). |
Kekosongan regulasi dan anggaran dalam Perpres 125/2016 dinilai menjadi akar masalah penanganan pengungsi. Picu ketidakpastian dan penolakan sosial.
koranaceh.net | Banda Aceh – Tata kelola pengungsi luar negeri di Indonesia menghadapi krisis akibat kekosongan regulasi masa darurat, ketiadaan anggaran khusus, dan meningkatnya penolakan sosial di tingkat lokal. Serangkaian masalah ini menjadi sorotan utama dalam lokakarya daring yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa, 16 September 2025.
Bertajuk "Tata Kelola Pengungsi Luar Negeri di Indonesia: Kebijakan, Respons, dan Pembelajaran pada Kondisi Kedaruratan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia", lokakarya ini menghadirkan berbagai perspektif, mulai dari pemerintah pusat (KemenHAM), lembaga internasional (UNHCR & IOM), aparat keamanan (Polda Aceh), pemerintah daerah (Bakesbangpol Aceh), hingga masyarakat sipil (KontraS Aceh).
Staf Ahli Bidang Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya KemenHAM RI, Harniati, dalam sambutannya menegaskan bahwa Indonesia, meskipun belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, tetap memegang teguh prinsip kemanusiaan dan non-refoulement (tidak menolak paksa). Komitmen ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016.
![]() |
Staf Ahli Bidang Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya KemenHAM RI, Harniati (kiri) usai menyampaikan kata sambutan. (Foto: Tangkapan Layar BRIN). |
"Konstitusi kita menjamin hak asasi bagi ‘setiap orang’ tanpa membedakan status keimigrasian. Ini menjadi pondasi penting penanganan pengungsi di Indonesia," ujar Harniati.
Ia juga menyoroti dorongan dari komunitas internasional agar Indonesia mengambil peran kepemimpinan global dalam isu HAM.
Kendati begitu, ia mengakui adanya tantangan besar akibat menurunnya kuota penempatan pengungsi ke negara ketiga. Hal tersebut, tambahnya, membuat 12.098 pengungsi saat ini berada dalam masa tunggu yang tidak pasti di Indonesia. Harniati berharap hasil lokakarya ini dapat menjadi masukan berharga untuk revisi Perpres 125/2016.
Kondisi Pengungsi Rohingya di Lapangan
Di lapangan, tantangan terlihat dari data gelombang kedatangan pengungsi Rohingya. Dwita Aryani, Assistant Perlindungan UNHCR Indonesia, dalam pemaparannya mengatakan sejak 2020 hingga Mei 2025, sebanyak 4.922 pengungsi Rohingya telah mendarat di Aceh, Sumut, dan Riau.
Dari jumlah tersebut, 39 persen adalah anak-anak, dengan 90 di antaranya tiba tanpa pendamping. "Banyak profil yang rentan dalam setiap gelombang kedatangan," ungkap Dwita.
Menurutnya, penanganan pengungsi di Aceh dan Pekanbaru kini telah melampaui fase darurat dan memasuki masa tunggu yang berkepanjangan (protracted). Ia menjelaskan, fase darurat tersebut idealnya berlangsung maksimal sembilan bulan untuk penyaluran bantuan cepat. Akibatnya, lanjut Dwita, kebutuhan para pengungsi pun menjadi ikut bergeser.
![]() |
Dwita Aryani, Assistant Perlindungan UNHCR Indonesia, tengah memaparkan data ihwal pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh, Sumut dan Riau. (Foto: Tangkapan Layar). |
Para pengungsi, terang Dwita, tidak lagi hanya memerlukan bantuan darurat seperti makanan dan tempat tinggal sementara, tetapi sudah membutuhkan akses ke layanan publik jangka panjang seperti sekolah untuk anak-anak dan fasilitas kesehatan.
Namun, ketiadaan lokasi penampungan yang pasti menjadi kendala. Hal ini, tuturnya, mempersulit perencanaan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkelanjutan. "Tantangan utama saat ini yang masih dihadapi adalah belum adanya lokasi yang dapat ditetapkan sebagai lokasi penampungan jangka panjang," kata Dwita.
Selain soal lokasi, tantangan lain yang dihadapi UNHCR adalah kesulitan penggalangan dana, serta maraknya kasus penculikan dan penipuan. Meski begitu, Dwita mengapresiasi kolaborasi yang baik antara semua pihak di lapangan.
Aspek Keamanan dan Dampak Sosial
Berbagai tantangan tersebut beririsan langsung dengan aspek keamanan dan dinamika sosial di tingkat lokal, sebagaimana dipaparkan Kapolda Aceh, Irjen Pol Marzuki Ali Basyah. Ia mengungkap data ihwal hilangnya para pengungsi dari tempat penampungan resmi. Kini, hanya sebanyak 423 orang di tempat pengungsian dari jumlah yang sebelumnya hampir mencapai 6.000 orang.
"Sejak 2009, dibayangkan saja sudah sekitar 5.719 yang bisa kita katakan tidak berada di Aceh lagi. Mungkin bisa meninggal dunia, kabur, berpindah ke tempat lain, berbaur dengan masyarakat, mungkin berkeluarga, dan sebagainya," ujarnya.
Sebagai langkah penegakan hukum, ia menambahkan bahwa pihaknya juga aktif menindak jaringan penyelundupan manusia. Sejak 2015 hingga 2024, Polda Aceh telah memproses 34 kasus dengan total 75 tersangka.
![]() |
Kapolda Aceh, Irjen Pol Marzuki Ali Basyah, saat sedang memaparkan data pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh sejak 2009. (Foto: Tangkapan Layar). |
Marzuki juga menyoroti perubahan tajam sentimen masyarakat Aceh. Awalnya, kata dia, warga menerima dengan prinsip "pemulia jame" (memuliakan tamu). Namun, seiring waktu, terjadi konflik dan penolakan, salah satunya dipicu oleh insiden pengungsi yang membuang bantuan makanan dari warga pada 2024.
"Sering dengan perjalanan waktu, pada tahun 2024 kalau tidak salah itu, terjadi konflik antara pengungsi dengan masyarakat karena ditolaknya makanan-makanan, dibuang-buangnya makanan," jelasnya. Ia khawatir jika tidak diantisipasi, bisa terjadi konflik fisik.
Akar Masalah: Kekosongan Regulasi dan Anggaran
Menanggapi berbagai persoalan keamanan dan sosial tersebut, perspektif pemerintah daerah dan masyarakat sipil mengerucut pada satu akar masalah, yakni kekosongan regulasi dan ketiadaan anggaran.
Kepala Bidang Penanganan Konflik Bakesbangpol Aceh, Dedi Andrian, dalam pemaparannya menyatakan bahwa Perpres 125/2016 tidak mengatur secara spesifik mekanisme pendanaan dari APBN untuk penanganan di daerah.
"Bagaimana mungkin kita menangani hal seperti ini tanpa ada pelaporan penganggaran yang jelas. Selama ini memang itu hanya bisa dilakukan oleh UNHCR dan IOM," ujar Dedi.
Hal ini kemudian berimbas pada Satgas Penanganan Pengungsi di daerah. Satgas di daerah, kata dia, tidak memiliki anggaran dan kewenangan yang jelas, bahkan beberapa di antaranya sudah dibubarkan.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, sepakat bahwa ketiadaan definisi masa darurat yang jelas dalam Perpres menyebabkan penanganan menjadi berlarut-larut. Ia merekomendasikan agar Indonesia belajar dari sistem penanggulangan bencana.
"Kami mengusulkan, kita belajar dari rezim kebencanaan dengan memberikan durasi [darurat] yang jelas, misalnya 14-30 hari, yang bisa diperjangkau dengan indikator terukur," kata Husna. Ia juga mendesak agar status darurat bisa ditetapkan di level bupati atau wali kota untuk mempercepat respons penanganan.
Baik Bakesbangpol Aceh maupun KontraS Aceh sama-sama mendorong revisi Perpres 125/2016 untuk memperkuat dasar hukum, menginstitusionalkan Satgas dengan dukungan anggaran, serta mendefinisikan peran daerah secara lebih jelas. [msr]
Tidak ada komentar