Seni Aceh Antara Kritik, Empati dan Resolusi




Membaca Din Saja (Baca Puisi), Fuadi S. Keulayu (Biola Aceh)
dan Sarjev Hirzi (Krak Coustic)

Oleh Muhammad, M. Pd*

Seni Aceh adalah sebuah karya cipta yang dilabeli identitas norma, agama juga iktikad yang mendasari perilaku keseharian masyarakat Aceh.

Melalui karya cipta kesenian Aceh, para senimannya berupaya mengunjuk penciptaan sistem nilai lewat seni sebagai upaya sadar dan terhormat mewarisi kebermaknaanke-Acehan.

Bagaimanapun keterikatan dalam mencipta karya seni di Aceh, para seniman di dalamnya membuat semacam penggugah, pengampu bahkan kadangkala lebih meruang ke dalam bentuk kritik, empati dan resolusi.

Kesadaran menghasilkan karya seni yang menuai pemikiran alternatif untuk mengelola kehidupan masyarakat oleh seniman Aceh selanjutnya dapat dipandang sebagai oase di tengah kejenuhan dan kelaparan (haus) pemuas jiwa.

Rasa dari jiwa seni para seniman selanjutnya mendapat tampilan ragam yang etnik, meskipun pada waktu-waktu tertentu sebuah karya seni tidak terlalu memikirkan alih bahasa semacam formalisme karya seni pada tataran nasional, namun seni Aceh tetap membuahkan perhatian luas masyarakat nasional bahkan dunia.

Naskah-naskah seniman Aceh jika ditilik mendalam akan dapat membuat penikmat karya seni menyadari mengapa manusia Aceh bergerak seiring kesadaran etika dan norma yang terikat pada simbolitas pengenalnya.

Dapat dikatakan hampir tidak ada pelaku seni di Aceh yang berhasil mencapai kemajuan berkesenian jika hanya mengedepankan performans tanpa nilai, dan nilai-nilai ini selalu saja menjadi rujukan ketika pemenuhan hasrat berkesenian telah memilih arah yang sesuai sebagai empati kepada kebenaran, resolusi terhadap persoalan sosial, budaya, politik, hukum dan sebagainya.

Melahirkan kritik dalam ruang seni adalah juga sesuai dengan elemen kemajuan berpikir dan upaya sadar mengoreksi kekhilafan, sebab orang-orang seni pada saat berkarya selalu saja menyingkap jiwa yang sukar diberitahu, sehingga melalui karya seni yang halus dalam mengajak pemerhatinya kembali kepada kesadaran, ruang bawah sadarlah yang terus menerus digali potensinya oleh seniman.

Ketika ilmu pengetahuan telah menjamah akal kesadaran manusia hanya pada tataran otak, maka ruang rasa di hati manusia tetap harus diketuk melalui karya seni, sebab hati adalah pembeda manusia dengan makhluk hidup lainnya.

Hati yang mampu disentuh melalui karya seni adalah hati yang memiliki empati, kemauan digerakkan dan terbuka celah dalam soal-soal pengabdian sebagai rangsangan kesadaran jiwa karsa.

Seni Kritik Tiga Seniman Aceh

Din Saja adalah sosok seniman sastra dengan karya puisi-puisinya  yang selalu hangat dibicarakan di Aceh juga Jakarta. Din Saja membawa sajak-sajaknya tidak hanya sebagai lambang perlawanan atas pembungkaman hasrat mengkritik kebijakan, bahkan dengan bahasa-bahasanya yang sederhana, penyair campuran Padang-Aceh tersebut kerap membuat penikmat sastra puisi terperangah dengan diksi-diksi berani.

Penyair ini melalui puisi yang dibacakannya kerap mengisi kompilasi bahasa verbal dengan artikulasi terjaga dan tegas, sebagai pengeksekusian tulisannya sendiri, Din Saja ternyata memang lebih sering tampil ekspresif dan berpanggung dalam kondisi sesederhananya seorang petualang kritik.

Bagian-bagian bait dalam puisi-puisinya sering sekali mendapat pencermatan dengan pertimbangan tipografi puitikal jenis orasi, walaupun banyak juga puisi Din Saja yang memerlukan permenungan untuk mendalami makna ‘dalam’ atas apa yang ingin diungkap sebenarnya lewat bahasa simbolik.

Fuadi S Keulayu bagi kalangan muda yang lebih mengenalnya dapat membincangkan permukaan tanda dalam suara-suaranya yang khas, selain pandai mengarang lirik untuk kebutuhan musik etnik, lelaki dari Pidie Jaya ini memanfaatkan kemampuan bermain biola maupun gitar untuk tujuan-tujuan lain diluar bermusik, yakni berhikayat.

Hikayat bagi seniman yang kerap tampil dalam komunitas ini mempunyai ornamen (isi) kisah panjang konflik, bencana alam dan bencana sosial. Fuadi yang lihai bertamasya dengan sejarah seni Aceh melalui Biola Aceh secara pertunjukan sering pula membuat decak tawa karena kemampuannya menyisip kritik dengan cara leluasa penuh lelucon yang ironik.

Beraksi dengan alat musik asal Eropa, Fuadi tanpa sungkan meneriakkan teks-teks berdarah dalam nuansa pengingat dan kabar lama yang mesti terus diingat, tetapi pembedanya bukan pada karakter vokal nyanyian ataupun tipikal sosok Aceh dengan bahasa Aceh (dialek)-nya yang khas, Fuadi memberi lebih banyak penekanan bahwa Aceh dalam karyanya adalah ideologi puncak kelu dari tipu.

Sering sekali tanpa disadari pelantun hikayat Aceh tersebut orang-orang yang hadir menikmati pertunjukannya menagih perang sebagai perburuan kemerdekaan, tentu saja perang dalam makna seni perlawanan atas kekuasaan Jakarta dan tunggangan politik di daerah modal yang selalu dia anggap tekor (merugi).

Sarjev Hirzi bukanlah seniman yang dibatasi ruang kekaryaan, sosok ini selain berpanggung di Aceh, Medan, Jakarta juga mengupayakan terobosan berpanggung di luar Asia. Karya-karyanya dikenal identik dengan Aceh masa kejayaan, perpaduan keetnikan yang dipadu dengan kreasi masa kini baginya selalu mendapat jalan, dikenal juga sebagai penerobos hambatan dalam membangkitkan kesenian di daerah agar dapat secara kolosal dipertunjukkan. Seniman multitalend tersebut identik dan lebih tepat jika disebut sebagai Trah Persekutuan The Krak.

Seniman kelahiran Lhokseumawe ini adalah sosok yang akrab dengan orang-orang politik, sejak bergelut di Pulau Jawa dan sekitarnya, Sarjev dikenal dengan pendobrak seni Aceh atas batas-batas yang diciptakan oleh pikiran ke-Acehan yang sempit.

Berbagai even lahir dari tangannya yang dingin. Tercatat paling sering berpergian ke luar Asia, Seniman Blues Aceh ini juga merupakan penghasil film-film terkemuka yang digarap secara konsisten hingga mampu menyaingin para sineas nasional.

Dirinya musisi yang tak hanya mampu memainkan alat musik seperti gitar, rapai juga harmonika, Sarjev yang khas dengan rambut panjangnya tersebut setiap kesempatan menampilkan cita rasa Aceh dalam musik yang liriknya ketara dengan kritik melalui bahasa sarkastik sebagai gaya khasnya, tipikal penyanyi serba bisa tersebut juga tampak dalam penampilan kesehariannya yang khas pula.

Resolusi Lewat Seni

Jika Din Saja memilih jalur puisi untuk memaparkan kontemplasi Aceh yang mandiri dan sanggup mengurus ide dan pikirnya sendiri, maka Fuadi  S. Keulayu justru memuaskan kehendak penikmatan berhikayat sambil menanamkan nilai-nilai ke-Acehan dalam rantauan sejarah konflik panjang yang mengingatkan manusia Aceh agar tidak terlena dengan janji-janji Jakarta sebagai berhala sesembahan para penjilat yang seolah bijak.

Sedangkan, Sarjev Hirzi membawa muatan Aceh di dunia seni layak menampilkan pentas mendunia, seringkali dalam perjalanan karyanya, mempertimbangkan monumentalnya sebuah karya yang aktualitasnya tidak semata untuk dinikmati oleh Indonesia namun juga Eropa (luar Asia).

Aceh dalam kesenian ketika menyebutkan tiga nama tersebut dapatlah sekurang-kurangnya memberikan suatu tanda denyut nadi ke-Acehan dalam ruang dan waktu etape seni sastra dan seni musik Aceh di awal membuka abad ke-21 masehi.

Ketiganya boleh jadi simbol sebagai lokomotif seniman Aceh terhadap kesanggupan sikap melawan dengan karya dan memberikan resolusi melalui argumentatif wujud karya seni vokal,puisi, lirik, musik dan kolaboratif ketiganya. 

*Penulis adalah Pengamat Seni. Menamatkan S2 Bidang Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah 2017.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.