Ada Apa dengan Rasisme di Amerika; George Floyd Effect?
![]() |
Ilustrasi dari berbagai sumber. |
Hampir sepekan, Amerika negeri Paman Sam bergolak, warga di sana sudah turun ke jalan, menyuarakan pekikan anti pemerintah, respon publik dunia sontak menggema, rasisme di negeri pemuja demokrasi ini tiba-tiba seperti bom waktu, tak terbayangkan sepanjang belahan kota sefederasi Amerika bergolak, target warga adalah polisi dan pihak keamanan.
Isu rasisme yang dilakukan oleh oknum polisi Ameria Serikat terhadap pria berkulit hitam bernama George Floyd lantas menjadi isu global, respon berbagai negara menyatakan, sungguh amat disayangkan, negeri pengembar-gembor demokrasi yang bahkan hendak jadi polisi dunia malah mengalami crisis kepercayaan, seorang George Floyd harus kehilangan nyawanya akibat kaki polisi Amerika. George Floyd Effect pun menggema di berbagai media.
Tragedi ini, tulis AFP, bermula saat Floyd ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai US$ 20 (Rp 292 ribu) untuk melakukan transaksi di sebuah toko kelontong. Lewat video viral memperlihatkan bahwa leher Floyd ditindih oleh seorang polisi berkulit putih bernama Chauvin.
Durasi video ini hampir sembilan menit, akibat perlakuan tidak manusiawi, Floyd pun dinyatakan meninggal dunia. Meninggalnya Floyd dianggap pemicu tunggal terjadinya kerusuhan besar di Amerika Serikat.
Mulai dari masyarakat biasa hingga artis ternama sepeti Shawn Mendes dan Ariana Grande ikut turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan. Namun disayangkan, demo yang dilakukan warga malah menjadi anarkis bahkan hingga merusak dan menjarah counter dengan merk ternama seperti Louis Vuitton, Apple, Nike, dan lain-lain.
Suasana memanas ketika ditambah dengan beredarnya video kekejaman polisi Amerika yang tak segan-segan melakukan perlawanan kepada demonstran seperti menabrakkan mobil polisi pada kerumunan demonstran, menyemprotkan bubuk merica kepada seorang anak kecil, mendorong demonstran (baik laki-laki maupun perempuan) dengan keras hingga terjatuh.
Berita cnbcindonesia.com menyiarkan hasil survei 2018 yang dilakukan Politico dan Morning Consult yang menginformasikan bahwa rasisme di AS memang makin buruk saat Trump menjadi pemimpin. Diketahui bahwa 55% warga AS yang disurvei mengakui hal tersebut, sementara 18% tidak.
Rasisme merupakan suatu doktrin yang menyatakan perbedaan biologis yang melekat pada manusia menentukan pencapaian budaya atau individu suatu ras tertentu dan ras tertentu dapat memandang rendah ras lainnya. Kepergian seorang warga bernama George Floyd merupakan salah satu bentuk ketidakadilan ras di Amerika Serikat.
Diskriminasi sosial terjadi di berbagai belahan dunia akibat nilai rasisme yang mendorongnya. Selain di Amerika Serikat, rasis dapat terjadi dimana saja termasuk seperti yang ada pada lingkungan sekitar kita.
Ketika masih ada anggapan bahwa seseorang lebih rendah dari orang lain hanya disebabkan adanya perbedaan ras, suku, agama dapat membuat seseorang telah melakukan rasis kepada orang yang lainnya.
Rasisme dalam bentuk apapun merupakan hal yang sepantasnya dilawan. Berjuang melawan rasisme atau bersikap anti rasis merupakan hal yang harus dilakukan karena seluruh manusia berkedudukan sama dan setara di mata Tuhan.
![]() |
Puri Tasya Ramadani, penulis adalah mahasiswi UIN Ar-Raniry, sumber foto: asatu.top |
Manusia memiliki hak-hak yang sama tanpa perlu dibedakan dengan melihat dari latar belakang ras, warna kulit, agama, keturuanan maupun bangsa, dengan demikian nilai-nilai peri kemanusiaan dan sikap adil dapat lebih kuat dorongannya untuk dicapai di masa depan.
*Penulis adalah mahasiswi UIN Ar-Raniry, Jurusan Sosiologi Agama.
Tidak ada komentar