BLT Muncul Membuat Masyarakat Ricuh

Maisyura Nurika, mahasiswi Ushuludin dan Filsafat di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Foto: Ist.

Oleh: Maisyura Nurika 


Guna menghadapi krisis bidang kesehatan pasca diumumkannya corona virus telah memakan korban di Indonesia, Pemerintah Indonesia terus memantau dan mengeluarkan kebijakan dalam menghadapi pandemi covid-19 dan pemerintah juga telah berupaya mengatur sedemikian rupa berkaitan tentang kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Namun di samping bidang kesehatan dan pendidikan, publik secara ekonomi mengalami goncangan, hal ini lalu menjadi masalah utama yang tak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia selama adanya pandemi covid-19.


Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi diutamakan pada kalangan fakir miskin dan masyarakat kurang mampu, karenanya, pemerintah lalu mengambil keputusan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang jumlahnya 600 ribu Rupiah per KK, tanpa harus ada syarat yang memberatkan masyarakat.

Tetapi adanya bantuan BLT tersebut tidak sesuai dengan pemikiran atau bayangan masyarakat. Masyarakat berfikir bantuan langsung tunai dibagi secara sama rata bagi masyarakat kurang mampu juga masyarakat yang tidak bekerja di bagian pemerintahan.

Ketidakberhasilan penyaluran BLT pun lalu menjadi pemberitaan harian di Indonesia, misalnya sebagaimana yang dikutip dari kompas.com di Kabupaten Musirawas, seorang kepala dusun berinisial AM dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berinisial E dari Desa Banpres, Kecamatan Tuah Negeri, Sumatera Selatan, ditangkap polisi.

Kepala dusun dan anggotan BPD tersebut diduga telah memotong dana bantuan langsung tunai (BLT) milik warga yang terdampak Covid-19. Oleh sebab itu munculnya kericuhan sesama masyarakat permasalahan yang datanya dikumpulkan tidak sesuai atau pun tidak menyeluruh.

Masalah seperti ini banyak terjadi di setiap desa atau pun daerah terutama di Aceh. Meskipun bantuan tersebut diwajibkan untuk masyarakat kurang mampu tetapi tetap saja banyak masyarakat yang tidak dapat bantuan tersebut.

Jika penerapan pembagian BLT tersebut tidak dilakukan sesuai aturan yang sudah ditetapkan, maka kericuhan mudah terjadi di dalam masyarakat dan juga dengan demikian stigma buruk terhadap penerapan penyaluran BLT sangat dianggap beralasan.

Kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah pasti ada kekurangan atau kelebihan yang berarti kebijakan tetap tidak ada yang sempurna.

Lain lagi dengan yang terjadi di Jambi, dikutip dari laman independent.co.id, pembagian BLT juga mengalami kericuhan. warga Desa Seling Kecamatan Tabir, mengamuk. Mereka menghancurkan peralatan aula kantor desa. Informasinya, ini karena warga meminta bantuan itu dibagi rata.

Hasan, Kades Seling saat dikonfirmasi mengatakan, masyarakat meminta BLT dibagi rata. Malah kata dia, di antara yang protes itu ada warga mampu, dan tidak masuk dalam kriteria penerima manfaat BLT.

Sepertinya kendala transparansi dan pemerataan penyaluran bantuan BLT yang sirkulasinya tidak secara baik dilaksanakan tersebut perlu dievaluasi, agar kecemburuan sosial dan bisa jadi muncul pula korupsi dan kolusi juga nepotisme para petugas penyalur BLT tidak malah membuat kebijakan pemerintah yang sudah diatur sedemikian rupa tersebut malah menjadi bumerang bagi semua pihak, apalagi fakir miskin dan para warga yang paling terdampak mengalami goncangan ekonomi masa pandemi ini.

Oleh sebab itu bantuan BLT seharusnya diberikan kepada masyarakat miskin maupun masyarakat yang tidak bekerja di pemerintahan secara menyeluruh agar kericuhan sesama masyarakat tidak terjadi.

Pemerintahan sebaiknya menyelidiki secara bijak tentang bagaimana sesungguhnya situasi kehidupan masyarakat di masa pandemi, agar masyarakat yang kurang mampu atau miskin benar-benar mendapatkan bantuan dengan merata dan selayaknya.


*Penulis adalah mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.