DPRA Bersama Komisi I DPRK Se-Aceh Rekomendasikan 5 Hal Terkait Pilkada Serentak 2022
Banda Aceh – Komisi I DPRA bersama unsur
nyelenggara Pemilu, Pemerintah Aceh, serta Komisi I DPRK seluruh Aceh,
menyepakati pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap pada 2022. Kesepakatan itu tertuang dalam pernyataan yang ditandatangani
bersama dalam rapat koordinasi Komisi I DPRA, Pemerintah Aceh, KIP, dan
Panwaslih Aceh, serta Komisi I DPRK se-Aceh di gedung utama DPRA, Senin
(29/06/2020).
Dalam rapat koordinasi dipimpin Ketua DPRA,
Dahlan Jamaluddin, ditegaskan Pilkada Aceh pada 2022 berpedoman pada
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau dikenal
dengan sebutan UUPA.
"UUPA menyebutkan pilkada di Aceh digelar
lima tahun sekali. ini merupakan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Selain
itu, pelaksanaan pilkada Aceh juga sudah diatur dalam Qanun Aceh nomor 12 tahun
2016, bahwa pilkada terakhir di Aceh terdiri pemilihan gubernur serta pemilihan
20 bupati, wali kota dan wakil digelar serentak pada 2017," kata Dahlan
Jamaluddin.
Semetara itu, Ketua Komisi I DPRA, Tgk Muhammad
Yunus M Yusuf mengatakan rapat koordinasi ini diladakan sebagai tindaklanjut
terhadap pertemuan-pertemuan yang dilakukan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk
menyatukan persepsi pilkada di Aceh berlangsung pada 2022.
"Pertemuan ini menyatukan persepsi karena
ada dinamika berkembang pilkada secara nasional berlangsung pada 2024, tapi
UUPA memerintahkan pilkada di Aceh dilaksanakan lima tahun sekali. Dan ini
jelas diamanahkan UUPA," ujarnya.
Senada dengan itu, anggota Komisi I DPRA, Fuadri, S.Si., M.Si menambahkan,
keliru apabila ada yang beranggapan bahwa DPRA tidak serius terkait pilkada
2022. Setidaknya sudah empat kali pertemuan dilakukan dengan berbagai pihak sejak
dilantik, dan ditetapkan ketua beserta anggota Komisi I DPRA.
Justru yang harus dipertanyakan adalah pihak eksekutif pemerintah
Aceh. Sebab, menurutnya belum terlihat tanda-tanda keseriusan itu. Sebagai contoh,
apakah anggaran untuk tahapan di tahun 2021 sudah dimuat dalam usulan yang akan
dibahas pada 2020 ini? Dan sejauh mana komunikasi dengan pusat.
Selain itu Fuadri menilai eksekutif pemerintah Aceh masih terlalu
lemah dalam hal komunikasi dan koordinasi dengan pusat terkait banyak hal. Misalnya,
hak usulan untuk rumah ibadah dan sebagainya sudah tidak dibolehkan lagi untuk
Aceh. Sedangkan Aceh memiliki hak khusus melaksanakan syari’at Islam. Begitupun
dengan status Plt yang masih menggantung, padahal keputusan Mahkamah Agung
sudah keluar.
Tidak ada komentar